Monday, January 14, 2008

Memelihara Perbedaan, Budaya Kekerasan Telah Mengakar

Semarang, Kompas - Mendesain suatu kehidupan yang beragam tidaklah dengan memperlawankan satu dengan lain dalam sikap yang berhadap-hadapan. Strateginya, bagaimana mempertemukan titik-titik kesamaan sebagai identitas kultural, memelihara serta membiarkan perbedaan-perbedaan spesifikasinya sesuai dengan alam kehidupannya sendiri.

Demikian dikatakan Prof Dr Mudjahirin Thohir MA pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar antropologi budaya Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, berjudul Kekerasan Sosial di Indonesia, Suatu Pendekatan Sosial Budaya, Sabtu (12/1) di Semarang.

"Meskipun kita berbeda, tetapi tetap satu adalah sebuah keniscayaan untuk dapat hidup dalam kemajemukan yang berarti. Dari sini, upaya mempertemukan perbedaan yang berpotensi konflik diubah menjadi berpotensi sinergi. Pola penyelesaian masalah secara damai dan berefek pada produktivitas menjadikan acuan penyelesaian masalah bangsa Indonesia ke depan," kata Mudjahirin.

Mudjahirin dikukuhkan bersama penyair dan seniman Prof Drs Darmanto Jatman SU yang menjadi guru besar Fakultas Psikologi Undip. Pengukuhan mereka dilakukan dalam rapat senat terbuka yang dipimpin Ketua Senat Prof Dr dr Susilo Wibowo MS Med SpAnd, yang juga Rektor Undip.

Darmanto Jatman, yang sejak 12 Juni 2007 lumpuh akibat terkena stroke, hadir menggunakan kursi roda. Darmanto didampingi istrinya, Sri Mulyati, dan anak-anaknya.

Darmanto hanya menyampaikan pidato tertulis berjudul Ilmu Jiwa Pribumi dan tidak dibacakan dalam rapat senat terbuka tersebut.

Pengukuhan kedua guru besar itu bertema "Multikulturisme dan Nyeni". "Nyeni" karena dimeriahkan arak-arakan kesenian. Kesenian yang ditampilkan mulai dari tradisi terbangan pondok pesantren, barongan, kuda kepang, serta kesenian rakyat Papua dan Hindu Bali, yang merupakan sumbangan para seniman yang didukung Dewan Kesenian Jawa Tengah.

Mengakar

Mudjahirin menguraikan, di balik kemegahan Candi Borobudur tersimpan cerita kekerasan, intrik, ambisi, dan pengkhianatan di antara penguasa Nusantara. Budaya kekerasan pun mengakar, berlanjut ke masa kesultanan, penjajahan, dan semakin ganas di era Orde Baru sampai saat ini.

Dalam sejarah Indonesia, konflik yang kemudian diselesaikan secara kekerasan sudah ada sejak zaman Ken Arok di Singosari sampai dengan Amangkurat I dan Amangkurat II di Mataram. Pada masa kolonial, pemerintah kolonial melakukan sejumlah tindak kekerasan dengan berbagai cara adu domba dan intrik. Mengadu domba para raja dan keturunannya, antara kerabat kerajaan dan rakyat. Mengadu domba dengan cara membuat pemilahan sosial warga bangsa, seperti bangsa Eropa, warga Asia, dan pribumi.

"Kekerasan berlanjut di era Orde Lama melalui kekerasan skala besar dengan bergolaknya PKI dan juga ketika menumpas G30S/PKI. Pada Orde Baru, kekerasan berlanjut dengan mata rantai militerisasi dalam hubungan sipil-militer yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI," katanya.

Mengenai kekerasan agama, menurut dia, timbul karena tiga hal. Pertama, karena agama dibawa oleh negara dan penguasa untuk menjustifikasi dan melegitimasi keputusan politik. Kedua, lembaga agama memanfaatkan agama untuk mengembangkan sayap kekuasaan. Ketiga, sejumlah individu menghentikan kekerasan, kemaksiatan, dan berbagai keburukan lain dengan kekerasan. (WHO)

Sumber: Kompas, Senin, 14 Januari 2008

No comments: