Saturday, January 05, 2008

Sastra Sejarah: Kawinnya Bahasa dan Pikiran

-- Edy A Effendi*

MEMPERSOALKAN sastra yang bersandar pada peristiwa-peristiwa sejarah selalu menarik untuk dibincangkan. Sastra yang bersandar pada sejarah tak ubahnya mengungkap peristiwa-peristiwa kelam dalam realitas kekinian, yang dikemas dalam dunia fiksi.

Seperti kita tahu, alur cerita-cerita fiksi yang bersandar pada persoalan sejarah yang disodorkan ke wilayah publik setidak-tidaknya ikut serta merekonstruksi peristiwa sejarah yang terjadi di ranah publik.

Kritikus George Lukacs pernah mensinyalir, sastra sejarah harus mampu menghidupkan masa silam; masa silam harus dekat kepada realitas kita dan kita dapat menyelami kenyataan yang sebenarnya terjadi pada masa silam. Pernyataan George Lukacs mengundang beberapa pertanyaan mendasar dan layak dijawab.

Pertanyaan itu merujuk pada klaim, apakah teks-teks sejarah masih menyimpan ruang-ruang kosong, yang memiliki berbagai ragam dimensi kebenaran sehingga bisa dihibahkan dalam teks-teks fiksi? Kenapa hingga kini masih saja sering terdengar perdebatan antara pengetahuan sejarah dan realitas sejarah yang sejatinya memiliki perbedaan yang cukup jauh?

Penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah dua hal yang berbeda.

Perihal posisi penulisan sejarah dan peristiwa sejarah, dan memeriksa kembali kegemparan perdebatan intelektual pada abad ke-19, menjadi sangat menarik jika kita mengikuti pikiran yang dikembangkan Immanuel Wallerstein.

Perdebatan intelektual pada abad itu menjurus pada keretakan epistemologis. Antara pendekatan nomotetik yang berdasarkan pada hukum-hukum obyektif dan universal yang dikembangkan dalam ilmu alam, dengan pendekatan idiosinkretik, yang disandarkan pada keunikan masing-masing kejadian sejarah.

Wallerstein, sejarawan dan Direktur Braudel Center Binghamtom University, berdiri pada posisi "tengah" di antara gejolak "pertikaian epistemologis" itu.

Hukum alam dan kreativitas


Wallerstein ingin memperlihatkan ketidakpastian terhadap ilmu-ilmu alam, akibat dari ketidakpuasan teori-teori ilmiah yang lebih tua. Ini untuk menawarkan solusi-solusi yang masuk akal terhadap kesulitan-kesulitan yang muncul ketika para ilmuwan mencoba memecahkan fenomena yang jauh lebih kompleks. Ia mencoba melakukan pembenaran terhadap statement-nya dengan mengambil garis pikiran yang dikembangkan Ilya Progogine.

Menurut ilmuwan terakhir itu, ketika dunia disemarakkan dengan berbagai gejolak, maka dibutuhkan penjelasan yang lebih kompleks: sebuah dunia yang harus dideskripsikan secara agak berbeda. Dari sinilah secara sadar, Wallerstein ingin menawarkan solusi bahwa ilmu-ilmu sosial dapat menjadi "kendaraan" untuk memecahkan masalah realitas yang ada.

Kondisi semacam ini tidak berarti menafikan asumsi-asumsi yang telah dikembangkan para ilmuwan terdahulu—termasuk di dalamnya Newton. Tetapi, dalam batas-batas tertentu, sistem-sistem yang dikembangkan para ilmuwan, seperti sistem-sistem waktu yang reversibel (yang dapat dibalikkan), hanyalah merepresentasikan suatu segmen realitas yang khusus dan terbatas.

Dengan demikian, ilmu-ilmu alam membutuhkan keselarasan hukum-hukum alam yang cocok dengan gagasan tentang peristiwa, tentang sesuatu yang baru, dan tentu tentang kreativitas.

Di sisi lain, Wallerstein juga berdiri di pihak "komunitas" idiosinkretik dengan menawarkan perangkat-perangkat ilmu sosial.

Pendekatan yang diterapkan Wallerstein mencoba merekomendasi pendekatan historis yang sering kali "tertinggal" ketika memunguti beberapa peristiwa sejarah. Tampaknya Wallerstein ingin memperlihatkan beberapa tradisi ilmu sosial yang mampu menawarkan peralatan-peralatan spesifik untuk membangun "ilmu sosial historis", atau "ilmu sosial kritis".

Sejarah dan sosial

Sebenarnya perkawinan dan kerja sama ilmu sejarah dan ilmu sosial baru terjadi saat memasuki dekade 1960-an. Para sejarawan mulai mempertimbangkan apakah beberapa generalisasi yang diusahakan oleh para ilmuwan sosial nomitetis mungkin tidak membantu menjelaskan pemahaman mereka mengenai masa lalu. Maka perubahan-perubahan fundamental di dalam disiplin ilmu sejarah terus-menerus mendapat dukungan dengan bantuan ilmu-ilmu sosial.

Dalam tataran ini, terlihat keinginan Wallerstein bahwa ada hubungan dialektis antara pengetahuan dan realitas. Pengetahuan yang dikonstruksikan dari realitas pada gilirannya memengaruhi realitas itu sendiri; dan perubahan di dalam realitas akan mampu memberi vibrasi dalam merekonstruksi pengetahuan.

Pada situasi seperti inilah, sebenarnya, sastrawan memiliki peran. Sebuah peran yang bisa memberikan kontribusi positif bagi penulisan sejarah dalam bentuk fiksi. Dan inilah yang antara lain diinginkan Asvi Warman Adam (Kompas, 22/12).

Salah satu fakta yang bisa diapungkan dalam konteks sastra sejarah adalah kehadiran sastrawan Nur Sutan Iskandar. Iskandar pada kurun tahun 1934 memberi bukti mungkinnya penulisan novel sejarah yang berpijak pada keselarasan antara bahasa dan pikiran, antara realitas teks sastra dan realitas teks sejarah.

Tengoklah novel Hulubalang Raja dan novel Mutiara yang ditulis Nur Sutan Iskandar. Atau novel AA Pandji Tisna, I Swasta Setahun di Bedahulu, yang cukup berhasil mengangkat zaman Udaya yang mengambil latar lokal Bali. Juga novel Zaman Gemilang dan Cincin Permata dari Kamboja yang ditulis Matu Mona tentang Raden Wijaya dan sekitar kisah awal kerajaan Majapahit. Bahkan, cerita yang disodorkan Matu Mona mampu menjadi pendorong rakyat untuk mengusir bala tentara Kublai Khan.

Pramoedya Ananta Toer juga bisa dicatat sebagai sastrawan yang mampu melampirkan teks-teks sejarah ke dalam teks-teks sastra. Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia adalah contoh penting di mana bahasa mampu berfungsi dalam mendefinisikan kehidupan dirinya dalam dua dunia; sastra dan sejarah.

Ternyata jawaban untuk konteks sastra sejarah terletak pada kemampuan mengelola bahasa dan pikiran yang selalu berdiri dalam dua petak yang berbeda. Fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Pada titik inilah sebagian sastrawan Indonesia yang menulis fiksi yang bersandar pada realitas sejarah tak cukup cermat mengawinkan kedua faktor penting itu.

* Edy A Effendi, Pengajar Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; dan Direktur Eksekutif Lab Teater Syahid

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 05 Januari 2008

1 comment:

Edy A Effendi said...

tulisan saya dimuat di kompas bukan di media indonesia