JAKARTA, KOMPAS - Pada dasarnya semua manusia punya sisi kebutaan. Jika yang buta melihat sejauh yang ia pikirkan, maka yang tidak buta hanya bisa memikirkan sejauh yang ia lihat. Seorang tunanetra melalui perenungannya bisa mengolah puisi atau sajak dari posisi dan perspektifnya yang unik sehingga menjadi karya seni yang indah, berbeda, dan menyentuh.
Hal itu mengemuka dalam diskusi peluncuran buku Angin pun Berbisik, Kumpulan Sajak Cinta Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa Yurihana di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (23/1) petang. Pembicara yang tampil adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta dan sastrawan Joko Pinurbo, serta seorang penanggap, sastrawan Eka Budianta.
Setelah peluncuran buku dilanjutkan dengan pertunjukan teater, baca puisi, dan musikalisasi puisi, serta musik oleh Skolastika Ansambel.
Penerbitan buku Angin pun Berbisik merupakan bagian dari gerakan ”Seribu Buku untuk Tunanetra”, yang diluncurkan sejak 30 Januari 2006. Sebagian dari penjualan buku, kata Irwan, digunakan untuk membiayai sosialisasi gerakan yang memungkinkan tunanetra mendapatkan akses ke dunia literasi. Menurut Kepala Bagian Humas Yayasan Mitra Netra, Aria Indrawati, sejak 2006 gerakan ini telah berhasil menghimpun 521 file buku, dari relawan, penerbit, dan penulis yang secara bertahap akan diolah menjadi buku Braille.
Melani Budianta menilai buku Angin pun Berbisik sebagai buku kumpulan sajak yang unik karena ditulis oleh satu keluarga, Irwan Dwi Kustanto (42) yang tunanetra, Siti Atmamiah (42, istri), dan Zeffa Yurihana (12, anak). (NAL)
Sumber: Kompas, Jumat, 25 Januari 2008
No comments:
Post a Comment