Saturday, January 26, 2008

Ajip Rosidi: Manusia "Bebas Aktif"

-- Irfan Anshory*

Usia tiga dua
tak djadi apa!
Adakah masih djauh
perdjalanan jang kan kutempuh?


DEMIKIANLAH antara lain isi hati Ajip Rosidi pada sajaknya "Mendjelang Usia 32" dalam majalah Budaja Djaja bulan Agustus 1970. Ternyata, berkat rahmat Allah, perjalanan hidup yang ditempuh sastrawan kondang kelahiran 31 Januari 1938 itu sudah melampaui life expectancy rata-rata orang Indonesia.

Ketika Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya menerbitkan majalah Konfrontasi, dalam edisi perdana Juli-Agustus 1954 dimuat beberapa sajak seorang penyair muda berusia 16 tahun yang bernama Ajip Rossidhy. Pada kata pengantarnya Takdir menulis, "Rossidhy telah sangat mudah mengutjapkan perasaannja…. Ia mempunjai bakat untuk mendjadi penjair jang berarti."

Ramalan Takdir benar. Dan bukan hanya puisi atau sajak yang dihasilkan putra Jatiwangi, Majalengka ini. Dia juga penulis yang paling produktif dengan spektrum sangat luas, sajak, cerita pendek, esai bahasa dan sastra nasional, bahasa dan sastra daerah, masalah keislaman, dan masalah politik kenegaraan.

Kiprah Ajip Rosidi bukan semata-mata di Indonesia saja. Dia cukup banyak melanglang buana ke berbagai pelosok dunia. Sajak dan cerita pendeknya banyak yang diterjemahkan ke bahasa-bahasa asing. Cukuplah di sini disebutkan bahwa ketika Universitas Cornell di Amerika Serikat menerbitkan majalah tengah-tahunan Indonesia, yang kini merupakan majalah ilmiah tentang keindonesiaan yang sangat bergengsi, dalam nomor perdananya (No.1, April 1966) dimuat cerita pendek Ajip Rosidi, "Among the Family", terjemahan dari naskah asli "Di Tengah Keluarga" yang ditulis Ajip ketika muda remaja.

Menarik untuk dicatat bahwa di masa mudanya dia menggunakan nama yang rada ngepop, Ajip Rossidhy. Pada September 1954, Menteri PP dan K Muhammad Yamin pernah menegurnya, "Naha nulis ngaran téh maké y sagala?" Dengan tangkas Ajip muda membalas, "Apan nurutan Pa Yamin!" Mendengar jawaban itu, Yamin tertawa ngakak.

Entah kapan Ajip kembali ke "khittah" dengan menulis namanya Rosidi. Saya tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Barangkali awal tahun 1960-an. Yang jelas, nama Ajip Rossidhy masih dipakainya ketika menulis sajak "Djante Arkidam" dalam majalah Sastra Indonesia terbitan BMKN pada Januari 1958. Lalu pada tulisannya "Muhammad Yamin: Tanah Air" dalam majalah Basis bulan Mei 1962 dia sudah memakai nama Ajip Rosidi.

***

JIKA kita ingin mendeskripsikan Ajip Rosidi dengan istilah sesingkat mungkin, dia adalah "manusia bebas-aktif". Istilah yang diciptakan Mohammad Natsir ketika menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia tahun 1950 untuk menjelaskan sifat politik luar negeri negara kita, kiranya sangat tepat kita gunakan untuk menjelaskan sifat Ajip Rosidi.

Ajip Rosidi betul-betul manusia "bebas". Dia tidak pernah terikat dalam birokrasi pegawai negeri. Dia tidak merasa berkewajiban untuk menyelesaikan suatu pendidikan formal, bahkan dengan bangga menyatakan diri "hidup tanpa ijazah". Meskipun jiwa Islamnya sangat kuat, dia sejak mudanya tidak berminat untuk menjadi anggota suatu organisasi keislaman. Dia bergaul bebas dan akrab dengan semua kalangan dari berbagai spektrum ideologi, dari tokoh-tokoh santri sampai tokoh-tokoh komunis.

Di sisi lain, Ajip Rosidi betul-betul manusia "aktif". Di samping aktif menulis puluhan buku dan ratusan karya tulis, baik bidang sastra-budaya maupun bidang-bidang lain, dia juga aktif melahirkan hal-hal yang memperkaya budaya Indonesia, antara lain menerbitkan Ensiklopedi Sunda yang merupakan eksiklopedi etnis pertama di Indonesia, mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancagé yang setiap tahun memberikan hadiah bagi buku-buku sastra berbahasa Sunda, Jawa, dan Bali yang dinilai terbaik, serta mendirikan berbagai lembaga penerbitan. Bahkan, Ajip Rosidi sangat aktif dalam arti fisik. Meskipun berdiam di Pabelan, Jawa Tengah, setiap bulan dia mondar-mandir Bandung-Jakarta sehingga banyak yang bertanya-tanya obat kuat apakah gerangan yang dikonsumsi Ajip agar tetap energetik dalam usianya yang tujuh puluh tahun.

***

SALAH satu obsesi Ajip Rosidi adalah menjadikan bahasa Sunda sebagai wahana penyebaran ilmu pengetahuan. Tegasnya, bahasa Sunda harus mampu dipakai untuk penulisan karya-karya ilmiah. Tetapi kenyataannya, seperti kata Ajip sendiri, "Nepi ka ayeuna basa Sunda tacan bisa dipaké nulis karya ilmiah, da tacan aya nu nyoba nuliskeun élmu ku basa Sunda." (Cupumanik No.3, Oktober 2003). Pada tulisannya yang lain, "Sanajan réa urang Sunda anu jadi sarjana tatanén, kadokteran, farmasi, arsitéktur, téknik sipil, ékonomi, élmu politik, jllna, tapi tacan aya anu nulis buku dina basa Sunda ngeunaan widang kaélmuanana. Padahal lamun réa nu nulis dina basa Sunda, tanwandé harkat basa Sunda téh baris unggah." (Cupumanik No.26, September 2005).

Saya merasa tertantang oleh tulisan-tulisan Ajip di atas, sehingga memberanikan diri menulis beberapa tulisan ilmiah populer dalam bahasa Sunda untuk dimuat di majalah Cupumanik. Ternyata, hal itu tidaklah sederhana seperti semula saya duga. Saya mengalami kesulitan dalam menyundakan istilah-istilah ilmiah. Teman-teman seprofesi tidak mampu membantu, bahkan ada yang menganggap saya mengada-ada. Apa boleh buat, saya terpaksa melakukan "ijtihad" membuat istilah-istilah sendiri berdasarkan Kamoes Basa Soenda karya Satjadibrata (1948) dan Sundanese English Dictionary karya Rabindranat Hardjadibrata (2003).

Maka, dalam beberapa tulisan di majalah Cupumanik saya mencoba memperkenalkan istilah-istilah ilmiah dalam bahasa Sunda, seperti wiati (atmosfer), beledug rongkah (dentuman akbar, big bang), gagancang (kecepatan, velocity), panjang galura (panjang gelombang), beubeungeut (permukaan), kabeueusan (kelembaban), renggenek (tetapan, konstanta), panceg (stabil), réaksi gigir (reaksi samping, side reaction), simpay hidrogén (ikatan hidrogen), walatra (distribusi), titik kimpel (titik beku), dan sebagainya.

Sudah tentu saya hanya mampu menekuni istilah ilmiah yang berhubungan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Adapun istilah ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial sudah sewajarnya ditangani oleh para pakar di bidang tersebut. Itulah sebabnya, pada ulang tahun ke-70 Ajip Rosidi sekarang, kita mengimbau Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini Dinas Pendidikan serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, agar segera menyelenggarakan suatu pertemuan ilmiah yang dihadiri para ilmuwan Sunda dari berbagai disiplin ilmu untuk membakukan istilah-istilah ilmiah dalam bahasa Sunda.

Jika kita telah punya semacam kamus istilah ilmiah bahasa Sunda, mudah-mudahan banyak ilmuwan yang terstimulasi untuk menyebarkan pengetahuan dalam bahasa Sunda. Dengan demikian, salah satu cita-cita Ajip Rosidi (dan tentunya cita-cita kita semua) untuk menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa ilmiah insya Allah akan tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama. ***

* Irfan Anshory, Aktif di Pusat Studi Sunda

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Januari 2008

No comments: