Sayang, Walaupun aku buta, photomu tetap menggema Terlukis pada garis tanganku Mengalun pada ruang-ruang bahuku Dan menjelmakan kehidupan Hingga Surga dan Neraka tak lagi ada, Kecuali Cinta
Irwan Dwi Kustanto (kanan) dan istrinya, Siti Atmamiah tengah membaca puisi dalam peluncuran buku kumpulan puisi "Angin pun Berbisik". (sp/fery kodrat)
Itulah bait terakhir dari puisi karya seorang tunanetra Irwan Dwi Kustanto (41 tahun) yang berjudul Photo. Puisi ini menjadi salah satu kekuatan dari antologi puisi Irwan dan keluarganya yang berjudul Angin pun Berbisik. Meskipun dalam kegelapan, Irwan cukup piawai mengukir bahasa cinta dengan puitis.
Buku kumpulan puisi Angin pun Berbisik tidak hanya berisi puisi-puisi yang penuh cinta, emosi jiwa, dan kegelisahan seorang Irwan. Tetapi, juga puisi-puisi kerinduan istrinya, Siti Atmamiah (41 tahun) dan kepolosan anak perempuannya, Zeffa Yurihana (11 tahun).
Setelah membaca dan mengamati seluruh puisi dalam buku ini, Profesor Melani Budianta yang mengajar Multikulturalisme, Cultural Studies, dan Teori Sastra di Universitas Indonesia, menuturkan kekuatan cinta terhadap keluarga menjadi inspirasi ketiga anggota keluarga ini untuk mengguratkannya ke dalam puisi.
Melani yang membacakan sepenggal puisi Irwan di akhir bedah antologi puisi yang dilaksanakan di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (23/1) menuturkan, bagi keluarga Irwan, cinta adalah hal terpenting. Mereka tidak memandang surga atau neraka. Yang ada dalam hari mereka hanyalah cinta.
"Karena dengan cinta yang tulus inilah mereka telah memberikan surga bagi orang lain," kata Melani.
Selain Melani, diskusi bedah antologi ini juga menghadirkan sastrawan Joko Pinurbo dengan moderator M Fajrul Rahman. Menurut Melani, kalau sudah bicara cinta, tingkat estetika dari puisi begitu dalam dan indah. Harus diakui, cinta dalam keluarga ini begitu suci, sehingga puisi demi puisi yang dibuat oleh Irwan, istrinya, dan anak perempuan mereka, memiliki keterikatan cinta yang kuat.
Hal itu tercermin dari buku Angin pun Berbisik yang seluruhnya berintikan kerinduan dan kegelisahan seorang Irwan. Tidak berlebihan bila Melani menyebut antologi puisi karya Irwan memang unik dan langka karena ditulis oleh satu keluarga. Keluarga yang mempunyai talenta khusus. Irwan sebagai "penggedor" hadirnya puisi-puisi di tengah keluarganya.
Dukungan keluarga menjadi suatu bisikan cinta terhadap keluarga yang begitu kuat dan dalam. Bukan itu saja, puisi-puisi Irwan juga dinilai memiliki sinestesia, yaitu apa yang didengar berbaur dengan indra penglihatan, penciuman dan lain-lain, sehingga menghasilkan sesuatu yang unik. Tetapi sebenarnya, imajinasi pendengaran tetap menjadi yang terkuat dalam setiap bait demi bait puisinya.
Kekuatan Dialog
Sementara itu, Joko menilai, puisi-puisi karya Irwan, Siti, dan Zeffa memberikan kekuatan adanya dialog di antara mereka. Sebagai seorang istri, puisi-puisi Siti telah mengimbangi kerinduan, kegelisahan, dan cinta dari indahnya kata, simbol, bunyi, dan asosiasi puisi-puisi Irwan. Sementara puisi-puisi Zeffa merupakan karya yang mandiri, tidak terimbas sejarah hidup kedua orangtuanya.
"Saya menilai, puisi-puisi Siti lebih bersifat empati. Lewat puisinya, Siti mengajak kita untuk memiliki kesabaran dalam mengarungi kehidupan yang keras ini seperti puisi berjudul Jakarta," kata Joko.
Irwan tidak menampik kalau buku kumpulan puisi mereka didominasi oleh kerinduan terhadap sesama keluarga. Dia ditinggalkan istri dan anak-anak tercinta ke Tulangagung, Jawa Timur, untuk merawat mertuanya yang sudah tua. Sementara, Irwan tetap di Jakarta untuk menjalankan aktivitasnya di Yayasan Mitra Netra, Jakarta.
Selain kerinduan, Irwan menjelaskan, ada juga puisi yang diilhami pengalaman hidupnya yang pahit sebagai orang buta, serta puisi yang merupakan sebuah monolog yang mempertanyakan keadaan diri pada puisi Seandainya.
"Bagi saya, puisi-puisi ini sebagai alat komunikasi antara saya dengan keluarga," ujar bapak tiga anak jebolan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, jurusan Filsafat Agama ini.
Buku kumpulan puisi seorang tunanetra Anginr pun Berbisik dengan 164 halaman ini terdiri dari 72 puisi karya Irwan, 27 puisi karya Siti, dan 23 puisi karya Zeffa yang dibuatnya sejak kelas 3 sekolah dasar. Setelah bedah antologi Angin pun Berbisik, buku itu pun diluncurkan yang disertai pembacaan puisi oleh Rieke Dyah Pitaloka, Jodhi Yudono, Dewi Lestari, Joko Pinurbo, dan Melani Budianta. [F-4]
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 24 Januari 2008
No comments:
Post a Comment