-- BSW Adjikoesoemo*
NASIB kaum perempuan Indonesia di tengah dominasi budaya patriarkhi dapat ditelusur sejak roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli yang terbit pada masa pra-Pujangga Baru. Menjadi representasi dari keadaan zamannya, dalam novel itu perempuan digambarkan dalam posisi yang lemah dan menjadi 'korban' kepentingan orang tua, adat, dan nafsu lelaki. Untuk melunasi hutang ayahnya, Siti Nurbaya harus menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki tua yang sudah bau tanah.
Meskipun ditulis oleh pengarang lelaki, dan tidak secara jelas membela kaum perempuan, novel tersebut sebenarnya dapat dimaknai sebagai suatu 'kesaksian zaman' tentang nasib kaum perempuan. Karena itu, dalam jangka panjang kesaksian itu dapat mengundang empati terhadap nasib kaum perempuan, dan pada akhirnya akan mengundang pembelaan. Kenyataannya, pada pasca-kolonialisme, Siti Nurbaya cukup memberi inspirasi untuk mendorong kebangkitan kaum perempuan agar tidak bernasib seperti Siti Nurbaya.
Namun, pada kenyataannya pula, dalam rentang sejarah sastra Indonesia yang cukup panjang, lebih banyak karya sastra Indonesia, karya para penulis Muslim atau bukan, lebih banyak menempatkan perempuan dalam posisi tertindas. Kondisi tersebut, jelas memberikan pencitraan negatif pada perempuan sebagai 'mahluk kelas dua' yang lemah dan gampang dikuasai oleh kaum lelaki. Hingga kini, tokoh-tokoh perempuan kerap ditulis menjadi korban kekerasan, penindasan, perkosaan, dan bahkan pengucilan.
Potret buram nasib perempuan dalam sastra itu terentang sejak masa Siti Nurbaya, dan novel sezamannya, seperti Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, serta karya-karya para penulis Indo-Belanda dan peranakan Cina yang cukup marak pada abad sebelumnya (1890-an), seperti Nyai Dasima (1890) karya G Francis, Nyai Isah karya F Wiggers, Nona Leonie karya HFR Kommer, dan Rosina karya FDJ Pangemanan. Meski tokoh-tokoh utamanya dilukiskan sebagai perempuan tegar, kaum perempuan di sekitarnya cenderung digambarkan bodoh, miskin, lemah, dan jadi korban budaya patriarkhi. Dalam Surat-Surat Kartini, meskipun ada pesan emansipatoris, perempuan (Kartini), juga digambarkan lemah dan jadi korban budaya patriarkhi.
Ditarik seabad lebih ke masa terkini, potret buram kaum perempuan miskisn, bodoh, dan cenderung jadi korban masih terlihat pada banyak karya sastra Indonesia, termasuk yang lahir dari para penulis Muslimah, seperti Dianing Widya Yudhistira dalam novel Sintren (2007). Tokoh utamanya, Saraswati, adalah gadis cantik yang lemah, bodoh, dan miskin, yang harus menjadi penari sintren dan 'dikorbankan' untuk kekuasaan lelaki. Dalam cerpen Jaring-jaring Merah, Helvy Tiana Rosa juga memotret kaum perempuan Aceh yang menjadi korban kekerasan kaum lelaki di tengah konflik bersenjata antara TNI dan GAM. Dalam novel Matahari di Atas Gilli karya Lintang Sugianto, meskipun ada semangat emansipatoris, kaum perempuan rata-rata juga digambarkan lemah, tidak terdidik, dan banyak yang meninggal saat melahirkan.
Tentu tidak terlalu meleset untuk mengatakan bahwa gambaran tentang perempuan dalam sastra Indonesia, juga karya-karya sastra dari dunia Islam serta Negara-negara berkembang pada umumnya, cenderung buram dan menjadi kaum yang tunduk dalam budaya patriarkhi. Belakangan ini, kita dapat membaca makin banyak karya sastra (novel) dari dunia Islam, baik dari kawasan Timur Tengah, Asia, maupun Afrika, dengan gambaran nasib perempuan yang kurang lebih sama.
Gambaran ideal
Upaya untuk menggambarkan sosok perempuan secara lebih ideal, sebenarnya telah kerap juga dilakukan oleh sementara pengarang Indonesia. Dalam novel Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya, tokoh perempuan (Tuti) digambarkan sebagai sosok yang terpelajar, modern, berpikiran maju, dan menjadi tokoh pergerakan yang tegar. Kaum perempuan 'memimpin proses perubahan sosial' kea rah kemajuan bangsanya, khususnya kemajuan kaum perempuan.
Namun, idealisasi sosok perempuan yang 'bersemangat pembebasan' seperti itu tidak memiliki mata rantai yang kuat hingga sekarang. Semangat pembebasan kaum perempuan dalam novel-novel mutakhir yang popular, seperti Saman karya Ayu Utami, justru keblinger pada semangat 'feminisme sempalan' yang cenderung berorientasi pada 'kebebesan perempuan untuk menikmati seks di luar nikah dan dari aturan moral'. Pembebasan seperti ini justru mengembalikan posisi perempuan sebagai objek kaum lelaki secara lebih ekstrem. Untungnya, Saman tidak ditulis oleh pengarang Muslim, sehingga kita cukup mengerti saja semangat sekulernya.
Kenyataannya, dalam realitas kehidupan masa lalu dan masa kini, kaum perempuan memang masih cenderung menjadi objek, atau mengobjekkan diri, untuk kaum lelaki. Maraknya bisnis pelacuran, terselubung maupun terang-terangan, juga media-media porno bergambar perempuan telanjang, adalah realitas jender bersisi dua. Pada satu sisi, perempuan menjadi objek kaum lelaki, dan pada sisi lain perempuan sengaja mengobjekkan diri untuk lelaki demi uang. Jadi, perempuan berposisi sebagai objek sekaligus subjek. Apalagi, pada kenyataannya, kebanyakan germo pelacur adalah perempuan juga. Sementara, pada banyak kasus pelecehan seksual, seperti yang menimpa para TKI, kaum perempuan jelas-jelas menjadi korban lelaki, dan mereka sangat layak diselamatkan.
Persoalannya kini adalah bagaimana agar sastra Islam (seperti tema awal tulisan ini) agar dapat menjadi pelopor perjuangan jender yang efektif untuk membebaskan kaum perempuan dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan kaum lelaki. Tentu, bukan pembebasan dalam pengertian 'bebas dari aturan moral, batasan tabu dan etika seksual' semacam Saman, tetapi semangat pembebasan yang lebih Islami. Dalam hal ini, pencitraan perempuan yang 'menokoh' seperti Tuti dalam Layar Terkembang, dengan sentuhan yang lebih Islami, kiranya lebih cocok untuk Indonesia.
Mungkin itu terlampau ideal, dan agak berjarak dengan realitas. Tetapi, untuk mendorong proses perubahan sosial kaum perempuan di dunia Islam, khususnya di Indonesia, selain dibutuhkan potret nasib perempuan yang senyatanya, sering juga dibutuhkan idealisasi dengan kehadiran sosok-sosok perempuan teladan -- perempuan pelopor yang mampu membebaskan kaumnya dari kemiskinan, kebodohan dan penindasan -- yang dapat menjadi semacam kiblat mobilitas vertikal mereka. Dan, inilah 'ranah perjuangan' yang belum banyak digarap oleh pengarang Muslimah kita.
* BSW Adjikoesoemo, Alumnus Filsafat UGM, Ketua Forum Indonesia Bangkit
Sumber: Republika, Minggu, 06 Januari 2008
No comments:
Post a Comment