Saturday, January 12, 2008

Khazanah: Tanda-tanda Kebangkitan Bahasa Daerah

-- US Tiarsa R.*

LEBIH dari seratus remaja dari pelosok Jawa Barat menyampaikan aspirasinya kepada Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan. Isinya sangat beragam. Mulai dari sanjungan atas kepemimpinan periode pertama pemerintahannya, sampai pada informasi tentang potensi Jawa Barat. Ada juga yang menyampaikan kekesalan hatinya berkaitan dengan penyelewengan, perilaku pejabat, bencana alam, dan sistem serta anggaran pendidikan.

Yang menarik, mereka menyampaikan aspirasinya bukan melalui media unjuk rasa atau demo. Justru mereka melakukan hal yang sudah lama mereka abaikan, yakni menulis surat. Ini bukan saja menarik, tetapi luar biasa. Mereka menulis surat dalam bahasa daerah yang hidup di Jawa Barat yakni bahasa Sunda, Cirebon, dan Melayu Betawi. Saya rasa, baru kali ini perupa sekaligus penyair yang juga budayawan santun asal Cipasung, Acep Zamzam Noor, berkali-kali memuji para remaja itu dalam menggunakan bahasa daerah, khususnya bahasa Sunda. "Asa reugreug ningal kieu mah," kata Acep, salah seorang anggota tim penilai. "Basa Sunda moal téréh-téréh paéh."

Memang selama ini ada semacam stigma, kaum remaja Sunda tidak peduli terhadap bahasa ibunya. Para remaja lebih asyik menggunakan bahasa prokem atau bahasa "gaul" daripada bahasa daerahnya. Para ahli bahasa dan para orang tua merasa sangat khawatir, bahasa ibu akan cepat musnah karena penuturnya semakin berkurang akibat apresiasi dan kepedulian remaja makin luntur. Hal itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Sunda, hampir semua keluarga dari semua etnik nusantara enggan menggunakan bahasa daerah di rumahnya.

Sejak tahun 20-an para ahli bahasa daerah, termasuk pakar bahasa Sunda, mempunyai prediksi, dalam waktu dekat ini bahasa daerah akan mati. Amat sering orang menulis, bahasa Sunda akan segera musnah. Namun pada kenyataannya, sampai hari ini bahasa Sunda masih tetap hidup.

Memang benar terjadi perubahan, baik pola kalimat, arti kata, dan rasa bahasa, termasuk undak usuk bahasa. Hal itu merupakan gejala bahasa yang lumrah dalam bahasa apapun. Perubahan terus berjalan sesuai dengan perubahan zaman. Banyak kosakata yang secara pelahan berubah arti atau menjadi arkais karena sudah tidak digunakan lagi dalam percakapan sehari-hari.

Dalam proses perubahan yang didorong oleh arus global, bahasa daerah atau bahasa ibu memang mengalami guncangan. Namun, guncangan seperti itu merupakan fenomena kebudayaan termasuk bahasa. Sepanjang penuturnya konsisten memelihara bahasa miliknya, bahasa daerah masih tetap dibutuhkan sebagai media komunikasi antar dan interetnis.

Bahasa daerah disebut-sebut sedang sekarat. Namun justru timbul tanda-tanda, bahasa daerah masih bisa bernafas. Tampaknya, kematian bahasa Sunda masih menunggu waktu. Artinya, bahasa Sunda masih diberi kesempatan hidup dan berkembang, meskipun tidak mungkin menghindar dari perubahan. Salah satu indikatornya, "Surat Keur Gubernur (SKG). Lebih dari seratus kaum muda menunjukkan kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa daerah. Kalau tidak keliru, ada 101 surat berbahasa Sunda, 9 berbahasa Cirebon, dan 5 surat berbahasa Betawi.

SKG mencerminkan sikap bahasa para remaja. Terbukti, masih banyak remaja Sunda yang mampu berbahasa Sunda dengan baik. Ketika para orang tua menganggap bahasa daerah hanya bisa digunakan sebagai media ekspresi seni dan budaya, para remaja justru menyampaikan aspirasi ipoleksosbud melalui media bahasa daerah.

Para remaja yang rata-rata siswa SMA itu secara gamblang dan terbuka menyampaikan pesan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan, dalam bahasa Sunda, Cirebon, dan Betawi yang baik dan benar. Dibandingkan dengan orang tua atau generasi terdahulu, para remaja mempunyai keberanian berekpresi, khususnya dalam bahasa Sunda. Mereka menggunakan bahasa Sunda secara bebas tidak terbelenggu undak usuk. Hasilnya ternyata lebih komunikatif.

Orang tua menempatkan pejabat (gegedén) sebagai sesuatu yang luar biasa, sehingga bahasa yang digunakan untuk berbicara kepada gegedén harus bahasa terpilih, undak usuk paling tinggi. Karena merasa takut salah larap, antara rakyat dan penguasa tidak pernah terjalin komunikasi langsung. Berbeda dengan para remaja. Mereka menganggap gubernur sebagai ayah, kakak, teman berdialog, atau pejabat yang patut menerima keluhan, saran, masukan, bahkan kritik dari rakyatnya.

Coba saja simak, seorang peserta menulis, "Kahatur Papayung nu luhung ku élmu jembar ku pangabisa, dulur salembur Bapa Gubernur, Sampurasun, dulur-dulur salembur, utamina Pa Gubernur, kumaha calageur?" Ia menilai gubernur sebagai orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang sangat luas. Namun sebagai batur salembur, gubernur sama dengan rakyat lain yang mempunyai kewajiban nyaah ka sarakan.

Seorang perempuan asal Ciamis dan menetap di Bandung menulis surat kepada Gubernur Jabar, Danny Setiawan, laiknya seorang adik kepada kakaknya. "Hapunten pisan Ki Lanceuk, lain nyanyahoanan, mung ceuk pamadegan sim kuring geus cunduk kana waktuna urang babalik pikir. Ngurus lingkungan ulah lalawora." Ia bercerita bagaimana orang Sunda dahulu sangat peduli lingkungan. Bagaimana pula orang Baduy mengelola lingkungan sehingga tetap utuh dan asri.

Ada pula peserta yang pada awal suratnya, meminta kesediaan Gubernur Danny Setiawan menjadi ayahnya. "Pamugi bapa luntur galih kersa ngangken abdi janten tuang putra. Paralun teuing sanés abdi olo-olo pédah abdi budak cacah kuricakan ti lembur singkur maké jeung hoyong diangken anak ku ménak. Abdi mung ngaraos reueus, bingah nu taya papadana geuning gentra kasundaan téh tacan ilang wirahma. Urang Sunda téh geuning miboga pamingpin anu ageung perhatosanana kana ngamumulé budaya Sunda..."

Mengalirlah bermacam-macam informasi tentang kehidupan dan keadaan rakyat di daerah. Mulai dari kehidupan panyadap (penyadap nira enau), proses pembuatan gula, pemasarannya, hingga masalah pengaruh media massa terhadap masyarakat. Sektor lingkungan hidup menjadi tema sentral semua surat. Informasi tentang kerusakan alam dan lingkungan berpadu dengan makin tergusurnya nilai-nilai budaya lokal.

Semua informasi itu merupakan bahan yang patut dimasukkan ke dalam file atau database pemda provinsi. Informasi yang disampaikan para remaja dari penjuru provinsi itu bukan sekadar informasi, tetapi selalu disertai keinginan, harapan, dan saran. Mereka ingin desanya maju, kehidupan masyarakatnya sejahtera, dan mendapat perhatian khusus dari orang nomor satu di provinsi ini. Mereka juga memberi informasi akurat tentang potensi daerah yang bisa dikembangkan menjadi produk unggulan Jawa Barat. Hampir tidak ada kritik tajam yang keluar dari pigura visi misi Jawa Barat.

Nepangkeun...

Pada era digital, surat menyurat (mail) makin terdesak karena teknologi yang semakin maju. Ada perubahan besar dari mail ke e-mail. Dari surat yang ditulis di atas kertas, menjadi surat melalui layar komputer, ponsel, dan sebagainya. Orang tidak lagi mengenal bentuk, etika, dan tata cara berkirim surat. Pada lomba menulis surat yang diselenggarakan Disbudpar Jabar tersebut, banyak peserta yang tidak lagi menggunakan struktur dan teknik membuat surat pribadi. Hal itu wajar akibat kemajuan teknologi, terjadi distorsi budaya dan perubahan pola hidup dan pergeseran nilai.

Meskipun demikian, masih banyak peserta yang menggunakan tata cara menulis surat secara konvensional. Misalnya, surat dibuka dengan intro baku, "Kahatur Bapa Gubernur Jawa Barat/Assalamualaikum Wr.Wb/Pun sapun sampurasun. Bapa kumaha damang? Nuhun upami damang mah. Mugi Bapa aya dina panangtayungan anu Murbeng Alam...."

Ada yang menulis surat, hampir pada setiap alineanya dibuka dengan "Sampurasun". Bahkan, secara "ekspresif" seorang peserta membuka setiap alinea dengan kalimat, "Nepangkeun, sim kuring Heri". Banyak pula surat yang berpretensi puitis dan prosais.

Benar, masih banyak kesalahan penggunaan bahasa, baik penerapan kosakata, maupun pola kalimat, dan rasa bahasa. Sekadar contoh, "kalayan nalinga kaayaan sareng ngaraoskeun hawa Kota Bandung di zaman kiwari ieu sim kuring salaku urang Bandung nu mikanyaah kota, anu kantos janten ibu kota nusantara ieu teh, ngaraos leubar (ditulis eu bukan e) sareng nalangsa. Lantaran kieu Pak (memakai k), sanaos sim kuring henteu ngalaman di Bandung ti zaman tahun 1970 ka luhur, nu semet nyebutkeun yén Kota Bandung téh Kota Kembang nyaanan, mung sim kuring téh apal ti carita-carita pun biang, pun rama sareng ti sesepuh sim kuring...."

Surat tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda, tetapi dengan rasa bahasa Indonesia. Rasa bahasa seperti itulah yang kini tengah "menggejala" dalam masyarakat pengguna bahasa Sunda. Pola kalimat yang digunakan pada surat tersebut, jelas merupakan pola kalimat bahasa Indonesia. Mungkin saja penulisnya menulis surat dalam bahasa Indonesia, kemudian ia terjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Sunda.

Seringkali kita dengar seseorang mengatakan, pun istri, pun raka, rai abdi, pun rama, pun indung. Sering pula terjadi kekeliruan penggunaan huruf e dan eu. Seharusnya eu, ditulis e, dan sebaliknya. Cibeureum menjadi Ciberem, lebar menjadi leubar, dan sebagainya. Saya sebagai salah seorang penilai, tidak ingin menyalahkan penulis surat itu. Lingkunganlah yang membentuknya menjadi pengguna bahasa seperti itu. Bahkan, saya memuji keberaniannya mengikuti lomba menulis surat dalam bahasa Sunda. Keberanian berujar dan menulis dalam bahasa daerah merupakan modal besar bagi upaya membangkitkan kembali keberadaan bahasa daerah. Oleh karena itu, keberanian menggunakan bahasa Sunda bagi orang Sunda harus terus dipacu. Rasa enggan berbahasa Sunda karena takut salah merupakan awal kepunahan bahasa Sunda.

Melalui Lomba Menulis SKG dalam bahasa daerah, orang Sunda patut berbangga, lebih dari 100 orang remaja pemberani. Mereka merupakan pionir di kalangan para remaja dalam penggunaan bahasa Sunda. Orang Jawa Barat juga patut berbangga, masih ada remaja yang berani menggunakan bahasa daerah Cirebon, dan Betawi, di samping bahasa Sunda. Mungkin, karena masih dalam tahap awal pembinaan, para peserta lomba daerah bahasa Cirebon dan Betawi, masih sangat sedikit.

Yang menarik, peserta lomba yang menggunakan bahasa Cirebon, kebanyakan justru orang Indramayu. Mereka berupaya menggunakan bahasa Cirebon, meskipun di sana-sini masih nampak Dermayonannya. Ada remaja Majalengka yang mengaku menulis surat dengan bahasa Jawa-Serang karena ia lama menetap di Serang, Banten. Hal yang menarik seperti itu terjadi pula pada peserta lomba menulis surat dalam bahasa Betawi. Para juaranya, semuanya orang Priangan, dari Garut dan Bandung.

Hal itu berarti, pemahaman bahasa daerah di Jawa Barat tidak terbelenggu dengan ikatan subkultur. Bahasa Sunda, Cirebon, dan Betawi merupakan kekayaan budaya Jawa Barat. Kekayaan budaya daerah itu merupakan pupuk yang mampu menyuburkan khazanah kebudayaan Indonesia. Kebangkitan budaya daerah merupakan pemacu pembangunan budaya nasional. Bahasa Indonesia akan semakin kaya dengan makin semaraknya pertumbuhan bahasa daerah.

Jawa Barat sudah punya 100 lebih remaja yang berani bicara dan menulis dalam bahasa daerah atau bahasa ibunya. Bila saja Napoleon Bonaparte masih hidup, ia akan berteriak dengan suara cemprengnya, "Lebih baik punya 100 orang pemberani dari pada punya 40 juta orang penakut. ***

* US Tiarsa R., Ketua Umum Lembaga Bahasa jeung Sastra Sunda

1 comment:

Unknown said...

kebuadayaan daerah sudah sepantasnya untuk terus dilestarikan dan dikembangkan. bravo ! satukan hati dan semangat kita !