Saturday, January 26, 2008

Kongres KSI: Karya Sastra Berperan Besar Menyadarkan Nasionalisme

[JAKARTA] Karya sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan pentingnya nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme. Kebhinekaan atau keberagaman adalah pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi. Oleh karena itu, identitas sastra budaya Indonesia yang spesifik dan unik harus tetap hidup dalam semangat inklusivisme.

Hal itu menjadi salah satu rekomendasi yang dilahirkan Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang berlangsung pada 19-21 Januari 2008 di Kudus, Jawa Tengah. Rekomendasi Kongres KSI ditujukan bagi perkembangan sastra Indonesia.

Dari hasil kongres, KSI juga melihat dampak krisis moneter 1997 yang berujung pada krisis multidimensi, telah memicu konflik antarkelompok, antargolongan, antarsuku, dan antaragama di Indonesia. Kebenaran hanya diklaim sebagai milik satu kelompok, satu golongan, satu suku, atau satu agama tertentu dan pihak lain seperti dipaksa menerima kebenaran subjektif.

"Diharapkan, dengan semangat inklusivisme dapat menjadi tali penghubung atau jembatan yang mampu mengharmoniskan hubungan antarkomunitas sastra. Karya sastra dan komunitas sastra harus mampu menjadi bagian dari langkah maju dengan semangat baru untuk kemajuan sendi kehidupan bangsa Indonesia," kata Wowok dalam siaran persnya.

Kongres KSI juga menekankan kesusastraan sebagai aset kebudayaan bangsa yang harus dipelihara karena bernilai penting bagi kebangsaan. Hal ini berkaitan dengan klaim negara lain atas kepemilikan aset-aset budaya Indonesia. Oleh karena itu, KSI menuntut pengembalian aset-aset nasional, terutama karya sastra yang berpindah ke negara asing.

Dalam konteks kesusastraan Indonesia, sejarah kesusastraan Indonesia sepantasnya disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusastraan. Terhadap fenomena sejarah sastra mulai dari masa pasca-1908, hingga tahun-tahun terakhir (sastra kontemporer) KSI meminta agar para pengamat dan sejarawan dari berbagai kalangan tak terpengaruh sejarah dominan yang mempengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia. KSI juga meminta, agar penerbitan dan penyebarluasan karya sastra bisa lebih baik.

"Perlu diciptakan kondisi yang mendukung misalnya pemerintah menurunkan harga kertas, menghapuskan pajak atas karya sastra dan kemudahan- kemudahan lainnya," katanya. [DLS/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 26 Januari 2008

No comments: