KOMUNITAS sastra di Indonesia sesungguhnya telah berkembang sejak zaman kolonial. Saat itu, para pecinta sastra kerap berkumpul untuk bisa membaca dan membahas buku secara bersama-sama. Itu lantaran cetakan buku pada zaman itu masih begitu sulit diakses khalayak. Kelompok seperti itu di zaman kolonial kerap disebut 'sanggar' atau 'studi klub'.
Kelompok tersebut biasanya memiliki sebuah tempat berkumpul tempat para anggotanya bisa saling belajar sambil berdiskusi untuk berkarya lebih baik. Istilah 'komunitas' itu sendiri baru mulai digunakan pada akhir 1980-an. Berbagai aktivitas komunitas mulai terlihat dalam masyarakat sejak awal 1990-an.
Demikian dijelaskan pengamat sastra Indonesia dari Tokyo University of Foreign Studies, Shiho Sawai, dalam acara Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008 yang diselenggarakan di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari.
Shiho menjelaskan di negara lain, seperti di Prancis pada abad pertengahan atau di Jepang pada abad ke-19, komunitas sastra sebagai sarana memproduksi atau mengonsumsi sastra secara kolektif telah muncul dan bertahan.
''Keunikan di Indonesia adalah pada pola menikmati sastra secara kolektif yang tetap saja sangat digemari hingga kini meskipun buku sudah dapat diperoleh di masyarakat tanpa banyak kesulitan,'' jelas Shiho.
Menurut Shiho, ada enam jenis komunitas sastra yang kini bergerak di tengah-tengah publik sastra Indonesia, yaitu komunitas berbasis kampus, komunitas berbasis nonkampus, komunitas berbasis koran/majalah, komunitas berbasis milis, komunitas berbasis penerbit, dan komunitas berbasis gerakan literasi.
Komunitas sastra berbasis kampus umumnya terjadi di setiap kampus, terutama kampus yang memiliki jurusan bahasa. Tidak jarang dalam satu kampus terdapat lebih dari satu komunitas sastra. Namun, komunitas sastra di kampus tidak selalu terdaftar dalam struktur kelembagaan kampus.
''Akhir-akhir ini muncul komunitas berdasarkan penerbit. Sejak industri penerbitan berkembang, para penulis mendapat lebih banyak kesempatan untuk menerbitkan karyanya dalam buku, tanpa melewati proses pemasukan naskah ke koran atau majalah. Maka, penulis pemula pun cukup berurusan dengan redaksi penerbit secara langsung dengan mengirimkan naskahnya melalui e-mail,'' jelas Shiho.
Soal ideologi yang disandarkan oleh para aktivis komunitas sastra saat ini, menurut Shiho, terlihat lebih plural dan terbuka. Itu terlihat dari sebagian besar sastrawan yang tidak saja aktif dalam satu komunitas. Ia bahkan menandaskan komunitas semestinya menjadi ruang fleksibel yang dapat menjadi sumber ideologi yang plural bagi pelaku sastra.
''Akan lebih berguna jika kita berpikir bagaimana ideologi yang beragam ini bisa ditemukan dalam dialog daripada terjebak pada mitos bahwa ideologi komunitas bersifat kaku dan harus dipilih satu di antara yang lain,'' urainya.
Sementara itu, sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda menilai ideologi sastra sulit dihapuskan sebab hal tersebut telah menyangkut pada sang sastrawannya sendiri.
''Karya sastra tidak pernah bebas nilai dan para kreator karya sastra adalah sosok-sosok yang bermuatan ideologi. Maka karya sastra sesungguhnya merupakan media yang tidak terhindarkan dari pengembangan ideologi,'' jelas Ahmadun seraya menjelaskan dalam komunitas sastra soal ideologi itu hal biasa dan tidak perlu dinilai sebagai ajaran dasar yang kaku.
Pengamat sastra dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, lebih jauh melihat komunitas sastra saat ini sebaiknya mengambil peran untuk kembali menyemangatkan manusia-manusia Indonesia dalam memahami sastra sebagai disiplin ilmu budaya yang penting bagi revitalisasi makna kebangsaan.
''Pemerintah kita sampai saat ini belum berhasil memahami sastra sebagai disiplin ilmu yang strategis bagi gerakan kebangsaan. Karena itu, komunitas-komunitas sastra harus lebih dulu membuktikan itu,'' jelas Maman. (CS/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Januari 2008
No comments:
Post a Comment