-- Nirwan Ahmad Arsuka*
INDONESIA masih memerlukan sensor! Karena budaya masyarakat yang sangat beragam dan tingkat pendidikannya yang masih rendah, lembaga sensor masih perlu dipertahankan, bahkan sampai beberapa puluh tahun ke depan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengeluarkan pernyataan ini dalam sidang pengujian Undang-Undang Perfilman yang diajukan oleh Masyarakat Film Indonesia di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (9/1) lalu.
Pernyataan Menteri Jero Wacik itu ditimpali oleh penegasan para ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), dan Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI). Mereka umumnya beranggapan bahwa tanpa sensor, bangsa Indonesia akan hancur berantakan, digerogoti oleh budaya asing. Banyak memang yang agaknya lupa bahwa media film dan sinetron, seperti halnya gagasan tentang republik dan Mahkamah Konstitusi (MK), adalah produk budaya asing—setidaknya, dirumuskan dan dikembangkan lebih awal oleh budaya asing itu. Sebelumnya, Lukman Hakim Syaefuddin, kuasa hukum DPR, menyatakan bahwa sensor adalah bentuk perlindungan negara pada masyarakat.
Dengan konteks yang berbeda, tapi dengan semangat yang mirip, pernyataan serupa pernah juga dikeluarkan di Tanah Air ini. Pernyataan itu datang dari Hendrikus Colijn, Ketua Anti Revolutionaire Partij, tokoh kolonial yang menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan lalu Perdana Menteri Kerajaan Belanda. Pada 1928, Colijn mengingatkan bahwa akan tiba masanya kaum inlander Hindia Belanda menuntut kemerdekaannya. Namun, kata Colijn, pemerintah kolonial harus berkata ”tidak” pada tuntutan itu. Bagi Colijn, rakyat tanah jajahan di Hindia Belanda itu belum cukup dewasa untuk merdeka dan memerintah dirinya. Kaum inlander berkulit coklat ini masih membutuhkan kekuasaan dan pemerintahan Kolonial Kerajaan Belanda, yang pusatnya yang mungil terletak jauh di separuh permukaan bumi. Kehadiran pemerintahan kolonial penting untuk kebaikan kaum inlander itu sendiri.
Meski terpaut oleh jarak hampir seabad, kedua gugus pernyataan di atas bertaut dalam sejumlah persamaan mendasar. Keduanya memandang bahwa masyarakat secara esensial lemah dan tak sanggup melindungi dirinya, dan bahwa kemerdekaan dan kebebasan hanya akan merusak kehidupan dan ketenteraman rakyat. Keduanya menganggap bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu adalah dua zat yang mustahil bersenyawa, dan kehadiran yang satu akan dengan sendirinya memusnahkan yang lain.
Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa dan tanah air, antara lain karena sejumlah orang, awalnya hanya segelintir, menampik pandangan penguasa seperti Hendrikus Colijn itu. Colijn menandaskan bahwa kesatuan Indonesia yang diperjuangkan oleh para inlander yang akan menuntut merdeka itu hanyalah konsep yang kosong melompong. Masing-masing pulau dan daerah di Hindia Belanda adalah etnis yang terpisah-pisah dan begitu beraneka ragam sehingga masa depan tanah jajahan ini tak mungkin terbentuk tanpa memecah dan membaginya dalam wilayah-wilayah. Kaum muda yang menentang pernyataan Colijn itu menjawab dengan mengorganisasi sebuah kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Ketika pernyataan Colijn ditampik dan Sumpah Pemuda diikrarkan, belum semua memang penduduk Hindia Belanda punya kesadaran kebangsaan yang siap bergerak melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Sejumlah petinggi pribumi sendiri bahkan mungkin tak sanggup membayangkan bahwa pemerintah kolonial yang tampak baik dan pelindung itu sebaiknya ditentang saja.
Kini pandangan politik ala Meneer Colijn telah menjadi bagian dari masa silam, dan kolonialisme telah jadi aib yang tak lagi bisa diterima di mana pun. Namun, tak berarti bahwa penjajahan dan pembatasan kebebasan tak akan lagi menjelma dalam bentuk yang baru. Pembatasan kebebasan dan peremehan terhadap kemampuan belajar masyarakat tetap bisa terjadi bahkan ketika kedaulatan politik telah diperoleh dan kita diperintah oleh bangsa sendiri. Pembatasan kebebasan dan peremehan kemampuan masyarakat juga bisa datang dari masyarakat itu, bahkan dari mereka yang dianggap sebagai wakil masyarakat itu sendiri.
Orde Baru dikenang antara lain oleh kebiasaannya melakukan sensor, yang bahkan bisa lebih keras dari sensor Belanda, dan oleh kemampuannya merekayasa isi kepala banyak orang untuk menerima bahwa sensor memang mutlak dibutuhkan—dan bahwa pencurian aset negara perlu dimaafkan. Bersama dengan tumbangnya Orde Baru oleh Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa, berbagai perangkat sensor mulai dibongkar. Pada 1988, Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) Nomor 1 Tahun 1984 tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut. Tradisi panjang pemberangusan kebebasan pers yang berusia satu setengah abad dan ditanam Belanda sejak 1846 akhirnya dibongkar di republik ini dengan ditetapkannya UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers.
Mereka yang gerah pada kebebasan berekspresi orang lain dan ingin agar kebebasan itu dihambat kembali mungkin akan bertanya sengit: apa yang telah diperoleh dari kebebasan pers selama hampir satu dekade ini? Dari perjalanan kebebasan pers di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sejumlah suara kerap mengeluh bahwa deregulasi media ternyata membawa akibat buruk berupa pendangkalan wacana publik, pembiakan bahasa yang kasar dan banal, dan pemujaan pada hal-hal yang sensasional dan miskin substansi. Dalam sejumlah kasus, pers yang bebas bahkan tampak sibuk menyiarkan berita yang memperkelam konflik etnis, religius, dan politik di sejumlah wilayah.
Berbagai gejala miring yang dikaitkan dengan pers bebas di atas memang sulit diingkari kehadirannya, tapi mereka muncul bukan karena diperolehnya kebebasan, tapi karena terlambatnya kebebasan itu diraih. Seluruh konflik etnik, religius, dan politik yang tampak kian rusuh oleh pemberitaan pers yang bebas berakar dari zaman ketika represi masih bekerja dan sensor masih tak terlawan. Andaikan saja kebebasan diperoleh lebih awal, disertai pelembagaan dan edukasi yang lebih baik, akan banyak sekali soal, jika bukan seluruhnya, yang tak perlu lagi muncul seperti sekarang. Pers yang bebas dan berusia panjang, seperti yang terlihat di Eropa Barat misalnya, telah menjadi salah satu komponen paling esensial dari masyarakat demokratis, pilar kokoh yang menopang perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.
Di negeri-negeri yang telah lama melembagakan kebebasan, termasuk kebebasan pers, sejumlah pertanyaan yang kerap mengganggu kaum reformis dan intelektual publik kita tak lagi muncul mencemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, meminjam rumusan David Celdran yang disampaikan dalam rangkaian acara The Asia-Europe Foundation (ASEF), antara lain adalah: mengapa kebebasan pers yang melonjak tak berjalan seiring dengan peningkatan berarti dalam partisipasi politik rakyat dan akuntabilitas para pemimpin mereka? Bagaimana mengukuhkan pers yang merdeka sembari melembagakan reformasi yang memungkinkan pers merdeka itu mengukuhkan diri secara terpercaya dalam ruang publik? Bagaimana pers bisa menjadi pengawas atas kekuasaan dalam lingkungan di mana tekanan pasar bersekutu dengan kekuatan ekonomi dan politik yang belum berkembang matang?
Kebebasan yang dikukuhkan oleh hukum yang taat asas adalah sarana ampuh untuk memecahkan berbagai soal dengan adil dan jernih, penopang penting masyarakat madani. Kritik terhadap tatanan hukum di Indonesia yang tak taat asas sudah lama dilontarkan, dan kian bertahan kesemrawutan itu kian sulit supremasi hukum ditegakkan. Sensor film adalah salah satu bentuk inkonsistensi itu. Alangkah lucu dan ngawur jika di satu sisi sensor pers sudah dicabut sejak satu dekade yang silam, sementara di sisi lain sensor film justru hendak diperkuat hingga beberapa puluh tahun ke depan. SIUPP mungkin memang tak persis sama dengan sensor film, tapi kemiripan keduanya sangat banyak sehingga jika institusi SIUPP dihilangkan, maka sensor film juga harus dihapuskan. LSF yang—secara sangat sepihak dan amat sulit diperkarakan—bisa menyensor, memotong-motong, bahkan melarang peredaran film memang harus segera direformasi.
Kesanggupan kita untuk menyelaraskan tatanan hukum di Tanah Air ditakar lewat kesungguhan mengikis dengan sistematis produk hukum yang inkonstitusional, yang secara jelas atau tersamar, melanggar hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Dari sinilah memang, kita antara lain bisa berharap—meminjam rumusan tertulis misi MK republik ini—tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
* Nirwan Ahmad Arsuka, anggota MFI
Sunber: Kompas, Minggu, 27 Januari 2008
No comments:
Post a Comment