-- Mona Sylviana*
"Not bad. Ada beberapa hal berharga di situ."
Begitu Bambang Sugiharto, satu dari 3 juri Sayembara Novel Dewan Kesenian (DKJ) 2006, memungkas pembahasannya mengenai Hubbu. Dalam sebuah diskusi yang diadakan Institut Nalar Jatinangor, DKJ, dan Penerbit Gramedia Pustaka Utama di Jatinangor, Bambang mengatakan-selain juga kelemahan-beberapa hal berharga dalam novel pemenang sayembara tersebut. Satu di antaranya, "Novel ini memperlihatkan kemampuan merelatifkan berbagai pandangan, berbagai world view."
Dalam pembacaan sekilas, saya sepakat. Kemungkinan merelatifkan berbagai pandangan itu ditempuh Mashuri, penulisnya, dengan dua cara. Pertama, melalui tema. Tema dibentuk dalam peristiwa-peristiwa dan/atau mengalami pengalaman-pengalaman yang tidak hitam-putih. Seperti tokoh Abdullah Sattar alias Jarot. Ia tidak hanya lahir, juga diharap menjadi pemimpin sebuah pesantren salafi, tapi paling kuat minum, "tak bisa mabuk oleh alkohol" (h.67). Dan sebagai seseorang yang tegas membedakan cinta dan nafsu, Jarot masih kerap melihat perempuan pada "perabot tubuhnya memang berbobot" (60) dan "buah dada yang berguncang" (162).
Tokoh lainnya, Putri. Perempuan itu mengingatkan saya pada Cintaku di Kampus Biru, novel populer tahun 70-an dengan pesta, buku, cintanya. Putri seorang mahasiswi yang asyik diajak "adu argumentasi untuk membeber pemikir-pemikir yang dianggap pencetus modernisme" (h.62). Tapi Putri bisa begitu saja percaya pada isi primbon"...enggan berbuat sesuatu, kadang kala tidak suka makan dan tidak suka tidur, ini pertanda kurang satu minggu," (h.82) sebagai takdir kematiannya.
Kedua, tokoh yang mengalami pengalaman-pengalaman dan/atau peristiwa-peristiwa berkesan mengalami guncangan karena benturan nilai-nilai itu dihadirkan melalui banyak pencerita (Jarot, Putri, Teguh, Aida, Jabir, Amin, Toni). Tidak hanya itu. Pengalaman atau renungan tokoh pun dituliskan dengan berbagai cara penceritaan (monolog interior, dialog, surat, catatan harian) dan beragam sudut pandang (aku-an, dia-an, kau-an).
Mashuri, mungkin, sadar ketika memilih bentuk novel yang ditulisnya. Hubbu dari mula menyatakan dirinya sebagai novel realis yang referensial. Ada Surabaya, nahwu sharaf, jagung bakar, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat ditemui empirikal dalam dunia keseharian. Jenis novel ini memang kuat berpeluang menyugesti melalui cara kedua tersebut, melalui tokoh-tokohnya.
Kelahiran tokoh-tokoh memungkinkan novel demikian lebih dari ilmu-ilmu yang berkisah tentang manusia. Dalam ilmu, imajinasi sedikit mendapat tempat untuk berkembang karena pagar metodelogi. Pagar tersebut membatasi kemungkinan perkembangan eksistensi, mengutip Milan Kundera, sebagai penciptaan dunia kemungkinan-kemungkinan manusia. Dunia kemungkinan yang memberi kesempatan penemuan keber-ada-an tokoh, yang berarti, menurut Heidegger, "ada di dunia" (in-der-Welt-sein, being-in-the world). Dunia eksistensi (seperti juga waktu) tidak selamanya identik dengan dunia keseharian. Inilah yang mungkin dapat dihadirkan novelis, sebuah dunia ciptaan. Semacam realismenya Umberto Eco, yaitu mungkin ada dengan adanya kesesuaian logika dan struktur yang dari awal sudah ditetapkan atau dibangun.
Jadi, dalam novel, memungkinkan seorang salesman bangun pagi lalu menemukan tubuhnya berubah jadi kumbang, seperti Metamorfosis-nya Kafka. Kejadian itu menjadi "realis" selama unsur-unsurnya berada dalam struktur yang telah ditetapkan sedari awal. Hal tersebutlah, mungkin, jadi sebab penggambaran manusia dalam ilmu cenderung menelorkan stereotif-stereotif. Ini bisa jadi peluang dan kelebihan novel untuk melahirkan tokoh sebagai manusia berdarah-berdaging, utuh, dan khas. Karenanya, novel dengan penokohan model ini, berdaya lebih dari sekadar menggedor nalar, tapi pun mampu menghujam dalam.
Maka ketika membacanya, saya bayangkan Hubbu bisa jadi suaka. Di tengah sumpek keseharian, di mana suara-suara hanya bernada tunggal, novel ini --dengan banyaknya pencerita, cara penceritaan, sudut pandang-- berpotensi jadi novel yang ramai, poliponik.
Tapi ketika membacanya, saya kok merasa bertemu tokoh-tokoh yang biografi hidupnya berbeda, bahkan berseberangan, tapi bertutur dengan cara yang sama. Tidak hanya cara melihat dan menyikapi persoalan, pilihan kosa katanya pun tidak jauh berbeda. Sebagai misal, "Bisa kutegaskan, diriku bukan hanya terbelah. Tetapi hancur berkeping-keping." (h.72), "Sebelum hidupku hancur berkeping, aku putuskan.." (h.211), "...jiwaku dibakar geletar aneh." (41), "...meletakkan raga dari pijar-pijar riuh rendah geletar." (h.216), "Hatiku gundah bukan kepalang" (h.75), "...guna menuntaskan gundah hati." (h.148).
Kutipan satu dan dua adalah renungan tokoh mengenai hidup mereka. Walau konteksnya berbeda, kutipan pertama adalah suara Putri yang karakternya sudah disebut di awal. Dan yang kedua suara Aida, anak Jarot 45 tahun kemudian di Ambon. Kutipan ketiga berasal dari Jarot di usia belasan dan keempat suara Toni. Kutipan kelima berasal dari Jarot di usia 20-an merespons surat Istiqomah dan yang terakhir suara Aida ketika sampai Surabaya mengawali "muhibah"nya.
Memang banyak tokoh yang dikesankan memiliki nama dan memiliki problematik riwayat hidupnya masing-masing. Namun suara-suara Hubbu padu bermuara pada satu tokoh, hanya Jarot. Paduan suara itu --yang melulu diceritakan dengan banyak tumpukan kata sifat, abstrak-- mengukuhkan Jarot sebagai seseorang yang diidealkan. Laki-laki dengan "(...) pribadi yang tidak hanya bisa tegak di atas kaki sendiri tetapi juga mempengaruhi dan menyinari orang lain" (h.72) bagi Putri. Seorang "yang ideal yang terus menerus membaktikan diri untuk keluarga dan dunianya", "cerdas tapi tidak angkuh" (h.144) dan "seorang yang sabar, bijaksana, dan memiliki kepekaan tinggi" (h.176) untuk anaknya, Aida.
Istiqomah yang disakitinya juga melihat Jarot sebagai "[...] pendiam, tetapi mampu mengundang daya tarik" (h.76). "[...] karakternya keras, mudah terbawa emosi, meski secara hati dan pikiran, ia lebih mirip nabi-nabi" (h.192) kisah Syuhada pada Aida. Bagi Toni, Jarot adalah "Seseorang yang aku kenal di dunia dengan tingkat kesempurnaan luar biasa. Tanpa cela." (h.223).
Jarot, yang mungkin diniatkan sebagai seseorang dengan obsesi yang sulit dinalar itu, rasa-rasanya terlalu ideal untuk hadir sebagai manusia yang utuh dan khas. Jarot retak. Ia menamai, memaknai dan menyikapi pengalamannya-seperti juga dibilang Bambang sebagai kelemahan novel itu --over dramatic. Sebagai misal, ketika Jarot belajar mata kuliah Bahasa Arab. Untuk Jarot yang sudah membaca Muqadimmah Ibnu Khaldun di SMA serta Kalilah dan Dimnah ketika SD, saya kira toh sudah sewajarnya jika ia tidak kesulitan mengikuti mata kuliah yang baru mengenalkan, "aiu, babibu, tatitu, tsatsitsu,..." (h.16, 93). Tapi Jarot memaknai pengalaman itu secara berlebih dengan semacam renungan filosofis "berawal dari kosong dan berakhir kosong" (h.114).
Apa yang membuat Hubbu sedemikian?
Saya curiga, penyebabnya, mungkin, karena kerapuhan bangun dunia Hubbu. Suara tokoh-tokohnya terdengar sumbang seolah memikul beban berlebih. Mereka tampak sesak, karena tidak berkesempatan mengembangkan atau menemukan keber-Ada-annya. Hubbu kelihatannya memaksakan dunia yang merupakan penjelmaan dunia ide penulisnya. Ide yang mungkin kompleks dan rumit itu, menjadikan Mashuri tampak serius. Ia sepertinya luput melakukan apa yang Eco buat dalam proses penulisan In the Name of Rose. Untuk membangun dunia abad pertengahan yang jelas dikuasainya benar, di tahun pertama ia membuat daftar nama serta data pribadi rahib-rahib di zaman itu, "Pembaca tidak perlu mengenal mereka, tetapi saya harus mengenal mereka."
Jika demikian, bolehlah saya mempertanyakan lagi apa yang dibilang Bambang: Hubbu merelatifkan berbagai pandangan.
* Mona Sylviana, Aktif di Institut Nalar Jatinangor
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 5 Januari 2008
No comments:
Post a Comment