Bersamaan dengan peluncuran dan bedah buku kumpulan cerpen Korea, Laut dan Kupu-kupu, di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (17/1), ditampilkan pementasan salah satu cerpen, Kerja, Nasi, Kebebasan. Pementasan dilakukan Sanggar Seni Obor Sakti Bogor, bekerja sama dengan Laboratorium Kesenian Fakultas Sastra Universitas Pakuan. KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Menurut sastrawan Hamsad Rangkuti, cerpen Korea oleh penulisnya ditulis tanpa batas, panjang-panjang. ”Cerita begitu mengalir, saya senang. Penulis cerpen Korea menyampaikan persoalan tidak sambil lalu. Permasalahan yang diangkat sangat kuat. Sedangkan cerpen Indonesia ditulis hanya untuk kepentingan surat kabar yang panjangnya dibatasi maksimal 11.000 karakter. Ini bahaya,” ujarnya.
Senada dengan itu, Maman S Mahayana, pengamat sastra yang menulis pengantar buku kumpulan cerpen Korea tersebut, mengatakan, secara konseptual, cerpen-cerpen Korea agaknya makin menegaskan para pembaca di Indonesia untuk mempertimbangkan kembali sejumlah konsep baku yang selama ini menjadi semacam paradigma dalam sistem pengajaran sastra di berbagai institusi pendidikan, terutama tentang pengertian cerpen dan hakikatnya.
Buku Laut dan Kupu-kupu: Kumpulan Cerpen Korea setebal 370 + xix halaman itu, yang diterjemahkan Koh Young Hun dan Tommy Christomy, memuat 12 cerpen Korea (Selatan) yang mewakili perjalanan cerpen Korea sejak perang Korea tahun 1950, zaman industrialisasi, gerakan rakyat nasionalis, hingga imajinasi baru abad ke-21. Penulisnya antara lain Ha Geun Chan, Kim Seung Ok, Hwang Sok Yong, dan Kim Nam II.
Dalam peluncurannya Kamis sore kemarin, dipentaskan pula salah satu cerpen berjudul Kerja, Nasi, Kebebasan karya Kim Nam Il, oleh Sanggar Seni Obor Sakti Bogor dengan sutradara Atang Supriatna.
Koh Young Hun mengatakan, walaupun Indonesia sudah menjalin hubungan kerja sama dengan Indonesia sejak 40 tahun lalu, penerjemahan karya sastra belum banyak dilakukan. ”Di Korea, menerjemahkan karya kurang dihargai,” kata Koh Young Hun yang kini menjabat Deputy Chairman of Korea Association of Malay-Indonesia Studies dan Chairman of Pusat Budaya Indonesia, Seoul. (NAL)
Sumber: Kompas, Jumat, 18 Januari 2008
No comments:
Post a Comment