-- Laksmi Notokusumo*
TIDAK banyak yang tahu ketika gerakan sastra modern meredup di Eropa (1930-1940), adalah Samuel Beckett yang berhasil menghidupkan kembali dari kelumpuhan dan menjadi inovatornya (1950). Ia sering disebut sebagai tonggak untuk lompatan menuju apa yang disebut gerakan postmodern dalam sastra dan teater.
Melalui karya-karyanya yang mengesankan, ia terus menulis sampai beberapa bulan menjelang kematiannya. Dan menghasilkan fragmen Stirring Still diterbitkan di London dan New York (1988). Dari 83 tahun masa hidupnya, 60 tahun lebih Samuel Beckett memberikan pengabdiannya dalam bidang susastra. Ia hasilkan puluhan karangan dalam bahasa Inggris dan Perancis diawali esai, kritik puisi, prosa fiksi, beberapa naskah drama panjang dan puluhan drama pendek untuk teater, radio, televisi, dan sebuah film.
Di Indonesia nama dan karya Beckett memang masih terasa asing. Ia dikenal melalui Waiting for Godot yang pernah dipentaskan dan disutradarai WS Rendra (1969) lalu Didi Petet Mime (1989). Sedangkan End Game dipentaskan beberapa tahun lalu oleh Teater Garasi. Dalam memperingati seratus tahun usianya (2006), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menampilkan empat karya pendeknya, yakni Act Without Words I (Laksmi), Come and Go (AG Dipayana), Embers (Yosep Ginting), dan monolog Krapp’s Last Tape (Putu Wijaya). Lalu pada tahun 2008, Teater SAC dari Yogya mementaskan Catastrophe. Pada tahun 2009, Sketsa for the Theatre (I) (Bambang Ismantoro). t.
Belasan tahun
Samuel Beckett harus menunggu belasan tahun sebelum beberapa karyanya yang bernilai itu dikenal melalui pertunjukan yang lalu diterbitkan, untuk kemudian diakui di beberapa negara Eropa, Amerika, dan Jepang. Setelah selesai kuliah di Trinity College, University of Dublin dengan spesialisasi bahasa Perancis dan Italia modern, ia sempat mengajar di almamaternya.
Semasa hidupnya Beckett mendapat beberapa penghargaan: medali emas untuk ujian akhir sastra Perancis dan Italia (1927), gelar doktor untuk tulisan sastra dari almamaternya (1959), dan tahun 1969 meraih Nobel untuk karya Waiting For Godot.
Samuel Beckett memang pantas disebut salah satu sastrawan besar dunia karena kontribusinya yang fundamental dan orisinal. Pada awalnya, beberapa naskah drama komedinya berdurasi panjang sekitar empat jam (Waiting For Godot dan End Game). Pada dasarnya ia mengembangkan dan memodifikasi sumber-sumber dari panggung dengan memperluas cakrawala seni dari masa ratusan tahun yang bertema kepahlawanan dengan kejantanan dan keindahan fisik, menjadi ekspresi keprihatinan dan kegelisahan manusia di zamannya.
Tema karyanya, yang mengetengahkan absurditas yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, merupakan kombinasi dari nilai-nilai tragedi dan komedi, tanpa kepahlawanan, penuh pesimisme, tetapi tidak berakhir dengan kematian. Ketika mengeksplorasi peran dan karakter protagonis maupun antagonis, keterpurukan atau kekejaman dalam tataran psikologis, Beckett mampu mengolah tragedi dan komedi menjadi tragi-komedi. Ia tidak hanya menggunakan bahasa sastra yang puitis, tetapi meramunya dengan bahasa sehari-hari, kadang banal dengan lelucon sarkastik.
Meski hemat kata-kata dan sangat efektif dalam penggunaannya, tapi untuk mempertegas penyampaian makna dan mempertegas keadaan psikologis peran yang ada dalam ceritanya, ia sering melakukan pengulangan kalimat dan gerak laku pemainnya. Dalam beberapa karyanya, alur cerita kadang terputus-putus dan memuat lompatan-lompatan pikiran, yang sangat remeh-temeh yang tidak berhubungan dengan kalimat sebelumnya. Misalnya dalam karya Krapp disebut-sebut tentang kegemarannya akan seks, pertemuannya dengan anjing, kesukaannya makan pisang, atau keindahan mata seseorang yang diungkap sepotong-sepotong.
Hal-hal inilah yang sering membuat pembacanya tidak langsung mengerti karena orang terbiasa membaca karangan yang bertutur runut, liris, tidak ada muatan lompatan pikiran manusia. Padahal justru di sinilah perbedaan dan kelebihannya dari pengarang lain. Beckett mengembalikan manusia pada sifat-sifatnya yang mendasar. Urusan remeh-temeh, tiba-tiba bisa berbalik membeberkan hakikat hidup. Dengan perenungan-perenungannya seakan tak ada kemajuan, tetapi sesungguhnya menggetarkan dan secara perlahan berkembang terus dalam usahanya menembus misterinya. Pada dasarnya Beckett sangat piawai meramu lakon-lakonnya yang erat dengan kehidupan nyata dan pribadi, menjadi milik umum dan universal.
Menyadari adanya keberadaan media elektronik dan film yang pasti memengaruhi kehidupan sosial masyarakatnya pada waktu itu, ia selanjutnya hanya membuat naskah-naskah drama komedi pendek satu babak yang belum pernah dilakukan pengarang sebelumnya. Karya-karya itu Rough For The Theatre, Cascando, Come And Go, Not I, Rockaby, Nacht und Treume, Happy Day, A Play, dan lainnya lagi.
Naskah teater
Sebagai naskah teater, berbeda dengan karangan klasik, karya tulisnya sangat rinci dan lengkap. Ia ingin mengatakan, keberhasilan panggung teater bukan hanya ditentukan oleh cerita dan kejagoan sang aktor berolah vokal, tapi seluruh elemen yang ada di dalamnya. Bagaimana aktor melakukan peran yang diberikan untuknya di atas panggung, bukan hanya meliputi anggota tubuh seperti kepala, tangan, dan kaki sang aktor, tapi mata, telinga, hidung, mulut, dan bahkan jari-jari tangan atau kaki ikut ambil bagian.
Itu sebabnya, naskah teaternya yang pendek-pendek ini di kemudian hari dinilai sangat berguna untuk mengembangkan kemampuan vokal dan akting para aktor. Selain itu, ia juga menuliskan kostum, rias wajah, rambut, hingga sound, musik, penataan dan pencahayaan panggung, serta perlengkapan lain dengan jelas. Satu dengan yang lain berkait dan ketika dipentaskan menjadi satu kesatuan utuh. Karena gerak laku setiap perannya detail dan rinci, kebanyakan karyanya dimainkan di ruangan kecil maksimum berkapasitas 300 penonton.
Sastra dan teater modern memang memiliki kecenderungan dan mengembangkan ”estetika sunyi”. Tapi tidak pernah sebelumnya, penggalan-penggalannya memiliki kesunyian tanpa artikulasi, bahkan ada tendensi nonverbal yang berkembang begitu luas. Memang hal ini sudah ada sejak drama dari periode sebelumnya yang memperlihatkan adegan pemainnya menjadi diam, terkejut, heran atau takut; tapi momen-momen tersebut dalam konteks adegan hanya teatrikal; mereka tidak menyajikan komentar atasnya. Sementara kecenderungan pengadeganan penuh kesunyian, yang juga ada pada karya Strinberg, misalnya, pada Beckett tidak hanya ingin meneguhkan dramatik adegan, tapi juga menyajikan sebuah refleksi atasnya dan sangat eksplisit.
Dalam penyutradaraan, Samuel Beckett menjadi sutradara tidak seketika. Diawali dengan rasa tidak puas menyaksikan latihan-latihan persiapan pertunjukan naskahnya yang disutradarai orang lain, secara perlahan dan diam-diam ia selalu datang melihat dan berusaha memberikan penjelasan kepada pemain bagaimana seharusnya.
Sampai setahun menjelang kematiannya, setiap kali menyutradarai naskahnya sendiri, ia tak pernah membuka halaman teks, sebab tidak hanya paham dan hafal di luar kepala, ia sudah memiliki ritme yang ada di dalamnya. Baginya, ritme lebih berharga dari ekspresi yang notabene sangat ia perhatikan. Secara tersendiri segala sesuatu yang berhubungan dengan lakon dan pelakunya sudah ia pelajari dan catat sebelumnya.
Seperti dalam hidupnya, musik juga mengambil peran penting dalam karyanya. Ia berkata, ”Kita tidak memainkan musik secara psikologis atau nyata, tapi kita mengerjakan dan melakukannya dengan terminologi yang ada dalam musik.” Ia menggunakannya untuk mengolah dialog, gerak dan laku pemain, bagaimana tempo, dinamika dan sebagainya.
Seperti kita ketahui, Beckett sangat teliti dan rinci dalam menuliskan setiap naskah dramanya. Segala sesuatu direncanakan dengan matang. Ia bukan tipe sutradara dari sekolah improvisasi, yang mencipta langsung secara spontan pada waktu latihan di studio. Meskipun demikian, sebagai sutradara ia selalu memperlakukan karyanya seperti karya orang lain, tidak segan mengubah, menambah, atau mengurangi yang ia anggap kurang tepat atau tidak sesuai lagi.
* Laksmi Notokusumo, Penari dan Pemain Teater
Sumber: Kompas, Minggu, 24 Januari 2010
No comments:
Post a Comment