Wednesday, January 13, 2010

[Maestro] Kartika Affandi: Kalau Pintar Janganlah Berbuat Jahat

MELIHAT seniman muda sekarang, saya kok gumun (heran), kok ya pinter-pinter, akalnya banyak, aneh-aneh, njelimet (rumit), tapi kok ya bisa jadi nyeni."

Kartika Affandi (SP/Fuska Sani Evani)

Begitulah komentar Kartika Affandi, putri mendiang maestro seni rupa Affandi.

"Dulu, mau pameran susah sekali. Sekarang, hampir setiap hari ada pameran lukisan. Apalagi di Yogya ini, ibaratnya enggak pernah sepi. Saya kagum, betapa perkembangan seni rupa menjadi luar biasa," kata ibu dari delapan anak dan 19 cucu itu.

Siapakah Kartika sesungguhnya, dan bagaimana kiprahnya sebagai seorang perupa perempuan yang tetap eksis pada zaman global ini, sehingga Panitia Biennale Jogja X memberikan Lifetime Achievement Award kepadanya?

Dalam sebuah perbincangan, Kartika yang selalu tampil dengan ciri khas bunga-nya, di topi dan sepatunya, memaparkan pendidikan formalnya hanya sampai kelas 1 SMP Taman Dewasa Taman Siswa Jakarta pada tahun 1949.

Namun, oleh ayahnya (Affandi, Red) Kartika dibiarkan memilih jalan hidupnya. Kartika boleh memilih masa depannya sendiri. Akan melukiskah atau berkegiatan lainnya?

Namun, karena gerakan hatinya, maka pilihannya tetap pada dunia melukis, bahkan corak lukisannya pun hampir menyerupai sang ayah.

Ribuan karya sudah lahir dari tangan Kartika. Namun, jangan bicara soal harga dengan perempuan ini. Menurutnya, patokan harga itu, hanya rekayasa para kolektor. Barangkali tidak segitu hebohnya.

Tetapi, yang paling penting adalah eksistensi, nama besar, dan idealisme.

Mengapa demikian? Kartika terus mengungkapkan kegelisahannya bahwa sekarang lahir banyak perupa muda berbakat, memang benar adanya. Namun di balik itu, banyak juga yang hanya menjadi 'tukang' melukis, alias melukis berdasarkan order, tanpa mempertimbangkan idealisnya.

Kartika sempat mengerutkan kening ketika mengungkapkan bahwa berkali-kali dia dihubungi orang yang membeli lukisan 'palsu'-nya, bahkan milik mendiang ayahnya.

"Kalau pinter ya jangan berbuat jahat. Yah itu sih memang hak orang untuk hidup, tetapi sangat tidak elegan. Lukisan saya banyak kok yang dipalsu," ujarnya.

Proses

Perempuan kelahiran Jakarta, 27 November 1934 ini pun mengingatkan bahwa dia bisa menjadi seperti ini, bukan lantaran nama besar ayahnya. Dia pun berproses, bahkan hingga menitikkan air mata.

Berkat 'paksaan' sang ayah, Kartika kemudian belajar di Universitas Tagore di Shantiniketan di India sebagai mahasiswa luar biasa, berkat beasiswa dari Pemerintah India pada tahun 1950.

"Saya menangis, karena tidak bisa bahasa Inggris. Akhirnya, saya minta para pengajar mau berkomunikasi dengan bahasa isyarat," kenangnya.

Lambat laun, bahasa Internasional dikuasainya hingga membuat Kartika mantap mengenyam pendidikan di negeri asing, yakni di Polytechnic School of Art, London (1952), Job Training untuk Management Gallery di Washington DC, USA (1967), Workshop pada Graphik Center Frans Maseriel di Kasterlee, Belgia (1977), Akademi Seni Rupa Jurusan Tehnik Pengawetan dan Restorasi Benda-benda Kesenian di Vienna, Austria (1980 -1983) hingga ICCROM International Center of the Preservation and the Restoration of Cultural Property, Roma, Italia (1984). Berbagai penghargaan juga dia terima. Beasiswa dari Pemerintah Prancis untuk mengunjungi tempat-tempat kesenian di Paris (1968), Gold Medal dari Academica Italia Salsamoggiere (1980), dan lain-lain.

Putri tunggal pasangan Affandi-Maryati kelahiran di Jakarta, 27 November 1934 ini, sejak usia dini telah hidup menggelandang bersama ayah-ibunya. Pascaperceraiannya dengan RM Saptohoedojo (alm), Kartika harus berjuang seorang diri.

Meski fisik sudah tidak mendukung, Kartika tetap ingin memperlihatkan ke muka publik bahwa dia masih mampu berkarya, bahkan tidak sedikit sumbangsihnya bagi bangsa ini. [SP/Fuska Sani Evani]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 13 Januari 2010

No comments: