-- Faisal Kamandobat
DALAM bukunya, Imagined Community: Reflections of the Origin and Spread of Nationalism (1983) yang telah menjadi klasik itu, Benedict Anderson menegaskan pentingnya peran kapitalisme cetak dalam membentuk komunitas bayangan yang disebut sebagai bangsa atau nasion. Lewat kapitalisme cetak itulah berbagai peristiwa yang terjadi di sejumlah daerah dapat hadir secara simultan di hadapan para pembacanya sehingga di kepala mereka, para pembaca itu terbentuk pengalaman ”bersama” sebagai satu komunitas.
Dalam konteks masa lalu, komunitas pembaca itu adalah ”kaum terpilih” yang jumlahnya tidak lebih dari 10 persen dari keseluruhan penduduk di Hindia-Belanda. Mereka adalah para elite priayi dari sejumlah kerajaan dan kesultanan di Nusantara yang telah ter-Eropa-kan di lembaga pendidikan kolonial. Namun, meskipun jumlahnya kecil, mereka mampu menjadi pendiri dan penguasa di sebuah negara yang kemudian disebut Indonesia.
Sebagai keturunan priayi dari kerajaan-kerajaan pan-Nusantara, mereka (merasa) memiliki legitimasi budaya untuk menyatukan pluralitas geografis, historis, etnis, dan bahasa yang beragam lewat status dan peran mereka di sebuah negara yang baru lahir itu. Melalui mereka pula segenap manusia yang berbeda-beda (merasa) terpenuhi subyektivitasnya lewat lembaga kekuasaan yang baru itu.
Inkorporasi budaya
Namun ”pengertian” kultural itu bukan sesuatu yang gratis. Munculnya berbagai pemberontakan pascakemerdekaan adalah bukti legitimasi kultural lewat representasi elite di pemerintahan tidak cukup. Terdapat faktor lain yang lebih mendasar, yaitu berbagai pemberontakan itu terjadi karena konsep negara-bangsa yang baru lahir itu sangat berbeda dengan negara-negara (kerajaan dan kesultanan) yang berkuasa sebelumnya.
Negara-bangsa masih seperti sepatu yang baru dikenakan oleh masyarakat yang baru mengenal alas kaki karena itu belum sungguh-sungguh dipahami apalagi dibutuhkan. Negara-bangsa lahir lebih sebagai struktur dan bukan kultur. Tak seperti negara-bangsa, negara prakolonial bukan sekadar lembaga politik, melainkan juga lembaga kultural yang mampu meliputi seluruh rakyatnya.
Dengan kata lain, meminjam analisis Rudyansjah (2008), raja mampu menjadi mythical body, political body, sekaligus territorial body. Ia adalah ikon yang secara canggih mampu menyatukan segenap elemen yang melingkupi kebutuhan rakyatnya.
Demikian pula dengan Kesultanan Yogyakarta, Aceh, Banten, Makassar, Buton, pun Kerajaan Majapahit, Kutai, atau Sriwijaya. Masing-masing dari mereka memiliki karakteristik khusus dalam melakukan—meminjam istilah sejarawan Eropa Ernst Kantorowics (1957), ”inkorporasi” (incorporation) politik dengan kebudayaan sehingga negara bukan seperti rumah susun yang asing bagi para penghuninya yang tidak saling mengenal (seperti ilusi Anderson). Namun, sebuah rumah di mana mereka merasa terlibat dan paham; lahir, tumbuh, dan mati bersamanya. Dalam konteks ini, lembaga politik kuno itu secara kultural lebih jenius dibanding lembaga politik modern.
Pemisahan institusional
Salah satu hambatan negara-bangsa dalam melakukan inkorporasi budaya adalah ia lahir dalam situasi yang justru memecah inkorporasi itu. Antara lain dengan dilakukannya pemecahan institusional antara politik, ekonomi, dan kebudayaan sebagai dampak dari kepemilikan individu dalam kapitalisme.
Pemecahan institusional tersebut harus dilakukan agar individu menemukan ruang geraknya sehingga negara dan budaya harus dilokalisasi, baik secara kategoris maupun ontologis.
Argumen lain yang dikemukakan seputar pemisahan institusional tersebut adalah masing-masing institusi diasumsikan memiliki pola dan bahkan hukum (setidaknya dalam ekonomi liberal) yang mampu mengelola dan memperbaiki dirinya sendiri secara otonom. Atas dasar itulah negara cukup berperan sebagai pembuat dan pengawal regulasi. Adapun seniman, agamawan, tetua etnik cukup jadi penentu nilai hingga ekonom serta pebisnis dapat mengerakkan ekonomi secara leluasa tanpa hambatan kultural dan politik.
Dalam kenyataannya, argumen itu benar sejauh diletakkan di atas kertas. Yang terjadi sebenarnya adalah setiap institusi itu saling berhubungan secara dialektis untuk mencapai sebuah ”totalitas” kultural dan historis dengan negara bangsa sebagai wahananya.
Untuk itu ia harus meninggalkan premis ekonomi kapitalistik sebagai ”panglima” di dalam sebuah progress. Apa yang dilakukan China, India, dan Jepang atau bahkan Korea, menunjukkan bahwa ekonomi menemukan daya ledaknya manakala disulut oleh kekuatan budaya.
Pencapaian inkorporasi, yang tanpa dikelola oleh individu-individu yang cemerlang secara politik dan kultural, negara mana pun dipastikan akan gagal.
* Faisal Kamandobat, Mahasiswa Antropologi FISIP UI, Depok; Pegiat Bale Sastra Kecapi
Sumber: Kompas, Sabtu, 9 Januari 2010
No comments:
Post a Comment