Sunday, January 24, 2010

[Persona] Jalan Sunyi Si Pejalan Kaki

-- Maria Hartiningsih & Brigitta Isworo Laksmi

IBARAT pejalan kaki, ia mengenali dengan baik setiap kelok dan kerikil. Jalan yang dipilih itu tak banyak dilalui orang karena rumit dan membuatnya harus selalu berjaga.

Hendro Sangkoyo (KOMPAS/BRIGITTA ISWORO LAKSMI)

Sebagai pejalan kaki, Hendro Sangkoyo (53) bisa merasakan nestapa dan luka sejarah dari orang-orang yang ditemui, yang ia sapa sebagai ”kakek-nenek, ayah-ibu, keponakan, cucu” di kampung-kampung di sudut Nusantara; dari wilayah terdalam Kalimantan sampai Papua, Maluku, Kepulauan Sunda Kecil, dan Bali. Ia selalu berhenti untuk tinggal selama beberapa waktu.

Perjalanan itu dilakukan Yoyok—begitu ia disapa—sejak awal tahun 1980-an, di sela tugas-tugas akademis yang harus ia selesaikan sebagai tanggung jawab atas pilihannya.

Namun, semua atribut keilmuwanan itu ia lepaskan karena gelar akademis tak punya relevansi dengan pembelajaran tanpa akhir sebagai proses hidup. Hati dan pikirannya senantiasa terbuka untuk mendengar penuturan para tetua dan pemangku di sudut-sudut kepulauan di Nusantara ini.

”Pengetahuan mereka tentang alam sekitar, tentang kehidupan dan penghidupan sungguh luar biasa,” ujarnya, di Jakarta beberapa waktu lalu, ”Ada yang bisa membaca suara air, berdialog dengan alam untuk tahu kapan hujan terakhir turun, menengarai sesuatu terjadi di hulu dari rasa air, dan segala macam.”

Itulah living knowledge, yang tak ada tempatnya di dalam seluruh praksis dan diskursus modernisme. Sayangnya, pengetahuan itu dibaca keliru oleh para antropolog Barat.

Maka, ”Bagi saya ilmu dasar adalah bahasa, bukan matematika, kimia, dan fisika,” kata Yoyok, ”Pengetahuan dituturkan dengan bahasa. Saya sependapat dengan Chomsky (Noam Chomsky, pemikir, ahli linguistik dari Massachusetts Institute of Technology, AS), semua bahasa merepresentasikan pengetahuan. Yang perlu diperkenalkan adalah ruang bertuturnya sehingga ia masuk ke sistem mana pun tidak asing.”

Ruang bertutur itu menolak semua kaidah positivistik yang membedakan mana sains, mana bukan sains. Anggapan hanya ada satu otoritas yang berhak menafsirkan kebenaran, mengutip dialognya dengan Chomsky, dibangun pemerintah imperial untuk mendorong pemahaman bahwa kemajuan harus dimunculkan dari luar. Dampaknya adalah ilusi keterbelakangan yang tertanam begitu lama di bawah sadar hampir setiap warga bangsa.

Krisis berkelanjutan

Perjalanannya menyusur sudut-sudut tak bernama dalam peta besar wilayah negara, memperjelas penglihatannya tentang praktik-praktik pemusnahan kultural yang terus terjadi, khususnya lewat dogma tata ruang yang dibawa lembaga internasional sejak tahun 1955-an.

Dogma dari chronotype yang sama sekali berbeda itu diadopsi begitu saja oleh para pengurus publik, tanpa mempertimbangkan karakteristik sosial-ekologis-geografis pulau-pulau di Nusantara.

”Posisi sungai yang semula di depan dan menjadi pusat kehidupan diputar ke belakang sebagai tempat sampah,” ujarnya, dengan nada sinis, ”Di depan, di buat jalan ke surga, atas nama kemajuan. Itulah infrastruktur yang asal dibuat.”

Sistem ekonomi-politik mengubah wajah dan kondisi lingkungan sosial-ekologis kampung-kampung di banyak wilayah. Yoyok menengarai tapak kerusakan sejak tahun 1987. Rezim deforestasi terpimpin menganggap hutan hanya sepetak tanah yang hendak diambil rentenya, atas nama ”kesejahteraan rakyat”. Seluruh konteks sejarah sosial-ekologis dari keberadaan dan kedudukan hutan dalam konteks fenotipikal pulau diabaikan.

”Saya menemukan banyak sungai mati dengan cara sama,” ungkapnya, ”Mula-mula diblok dengan jalan logging, sungainya kolaps dalam tujuh-delapan tahun. Enggak usah jauh-jauh ngomongin highway 115 di Brasil. Semua terjadi di sini.”

Gempuran kebijakan pembangunan yang eksesif di Kalimantan, misalnya, menyebabkan proses dehumanisasi, kemiskinan dan pemiskinan, termasuk kerusakan sosial-ekologis. Rehabilitasinya rumit karena telanjur menciptakan keterasingan di tanah sendiri.

”Saya tanya kepada beberapa anak muda di sana, kapan terakhir masuk sungai, ada yang menjawab mungkin tujuh, delapan bahkan 12 tahun lalu,” ungkap Yoyok.

Pada saat bersamaan, praktik pemberdayaan komunitas indigenous justru mengadopsi sistem ekonomi uang yang sebenarnya membunuh secara sistematis kekuatan mereka. ”Karena tidak dihubungkan dengan basis produksi-konsumsi bahan-bahan energi orang-orang di kampung Dayak itu,” jelasnya.

Dari semua ini, apa yang ingin Anda sampaikan?

Krisis sosial-ekologis sudah berlangsung sejak lama dan masih terus berlangsung karena pada dasarnya manusia punya kecenderungan suicidal. Makin pintar, makin merusak (pada beberapa kesempatan, ia mengungkapkan kerisauannya atas pembalakan yang terus terjadi terkait perubahan tata guna lahan hutan menjadi lokasi pertambangan dan perkebunan sawit skala besar, berizin resmi).

Tetapi krisis itu tak dilihat sebagai krisis. Semua penyebab krisis dianggap sebagai ceteris paribus. Lalu tiba-tiba perubahan iklim yang dianggap sebagai satu-satunya krisis, padahal itu hanya pertanda lebih akhir dari seluruh kerusakan dan tak bisa dilihat hanya sebagai persoalan lingkungan. Krisis yang sebenarnya terjadi jauh lebih dalam, tetapi tanggapan dari level mana pun, jauh lebih parah dari sekadar menyangkali.

Ekonomi sebagai panglima

Menurut Yoyok, orang lebih meributkan soal perubahan iklim karena Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) menaruh perubahan iklim sebagai krisis Bumi. Ia dianggap sebagai krisis karena mengancam ekonomi global.

Itu saja?

Hanya itu alasan terkuat sehingga disebut krisis global. Padahal krisis sehari-hari orang biasa begitu mendalamnya. Krisis ini bukan krisis yang definisinya kita baca di kamus Webster, seakan-akan ada awal dan akhirnya. Krisis saat ini punya sejarah panjang. Di zaman penjajahan yang brutal, di Afrika, dibuat kartel-kartel, semua pengetahuan indigenous dibakar, tetapi itu dikatakan bagian dari proses kemajuan.

Dalam tata ruang, sama saja. Urbanisasi tidak dianggap sebagai krisis, tetapi tahapan dalam kemajuan umat manusia. Akibatnya, eksodus masif dari desa ke kota terus terjadi. Jalan raya ibarat jalan kemajuan. Di Amerika Latin, kegagalan ekonomi dua dekade yang melahirkan teori depedensia itu bagaimana?

Oleh karena itu, krisisnya sosial-ekologis, pakai garis penghubung, tak bisa dipisahkan sosial dan ekologis. Ontologinya tak benar kalau manusia berada di luar alam.

Kalau kita baca hati-hati laporannya Nicholas Stern (tentang ekonomi perubahan iklim, Red), yang paling banyak dikutip adalah ”Kalau Anda tak melakukan apa-apa, GDP dunia akan turun 30 persen”.

Dalam pertemuan World Business Council for Sustainable Development di Kopenhagen, tahun lalu, saya menyimak, seluruh cerita tentang adaptasi perubahan iklim adalah cerita tentang aset manajemen dan asuransi.

Proses sosial selalu diperlakukan sebagai faktor ekstra, yang dibaca belakangan, seperti dalam laporan assessment Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC). Krisis di meja perundingan tentang perubahan iklim dimulai dari COP 6 di Den Haag, Belanda, dan COP 6+ di Bonn, Jerman. Di situ mulai terlihat pemisahan kesejarahan.

Dari situ pula masuknya langkah offsetting, cerita tentang satu ton karbon dari kegiatan industri bisa digantikan dengan satu ton karbon yang bertengger di pohon, dan lain-lain. Semua dilihat dari sisi suplai. Pandangan seperti ini bisa ditelusuri dari literatur tahun 1920-an.

Rumit

Tawaran pendekatan krisis sosial-ekologis dalam perubahan iklim, menurut Yoyok, tidak tergantung pada pengambil keputusan. ”Mayoritas subyek perubahan ada di lapangan, bukan di gedung-gedung para pengurus negara,” sambung Yoyok.

Itu sebabnya, dalam skema belajar Sekolah Ekonomika-Demokratik (SED atau SDE), yang dituju adalah merombak praktik sosial orang biasa dan praktik institutional para pengurusnya.

Yoyok percaya, ”sekolah” adalah jembatan penghubung kedua hal itu. ”Sekolah” adalah moda belajar bagaimana menautkan kembali fondasi-fondasi belajar supaya ruangnya makin terbuka bagi sebanyak mungkin orang biasa. Di situ orang menuturkan seberapa dalam krisis sosial-ekologis dalam kehidupan mereka dan bagaimana menghadapinya.

”Praktik-praktik itu yang kita pelajari,” ia melanjutkan, ”Kepala sekolahnya adalah orang-orang yang committed di dalam seluruh proses perubahan. Dalam pemahaman SED, Munir alm adalah kepala sekolah.”

Namun diakui, prosesnya jauh lebih rumit karena perubahan itu bukan terjadi dalam suatu kondisi yang dipilih, melainkan dalam kondisi yang secara langsung digeluti. Tapi, bukankah itu merupakan kelanjutan dari masa lalu karena tradisi dari generasi yang sudah mati senantiasa menghantui yang masih hidup?

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Januari 2010

No comments: