• Judul: Soe Hok-gie... Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
• Editor: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan R
• Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2009
• Cetakan: I, Desember 2009
• Tebal: xxxix + 512 halaman
• ISBN: 978-979-91-0219-5
...Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya/
tanpa kita bisa mengerti/ tanpa kita bisa menawar/ terimalah dan hadapilah//
Pergulatan hidup Soe Hok-gie, yang mati muda dalam usia 27 tahun kurang sehari, terangkum dalam satu bait puisi ”Mandalawangi-Pangrango” di atas. Hok-gie adalah pendobrak, tetapi ia terus-menerus bertemu sepi kala harus mempertahankan idealismenya. Bersama mahasiswa lainnya, ia merobohkan rezim Orde Lama sehingga Orde Baru pun bersemi. Moh Samsul Arifin
Pada sejumlah kasus, Hok- gie memang hitam-putih, terlebih jika berurusan dengan nasib rakyat kecil. Kepedulian itu sudah tertanam sejak kecil. Maka, kepada kawan-kawan bekas aktivis mahasiswa yang melenggang ke parlemen menjadi wakil rakyat, Hok-gie pernah mengirimkan paket lipstik dan bedak agar mereka tampak ”cantik” di mata pemerintah. Ini adalah bentuk kekecewaan pada mereka yang dianggap telah melupakan perjuangan membela rakyat.
Risiko sendiri dan kesepian pun bukan tak disadari Hok-gie. Suatu waktu, saat hendak menuju Amerika Serikat (AS), Oktober 1968, ia berpikir akan menjadi turis dan melihat-lihat AS yang kaya dan besar. Namun, kala meninggalkan Honolulu menuju Sydney, ia kembali sedih. Menurut Hok-gie, ia tak dapat melepaskan diri dari persoalan Indonesia karena telah berada dalam lubuk hatinya. Hanya kata- kata Daniel Lev (seorang Indonesianis) yang bikin hatinya tenang. ”Soe, kau adalah pemikir. Orang- orang seperti itu selalu menanyakan tentang nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka tidak pernah akan berbahagia dan tak akan pernah puas. Terimalah kenyataan ini” (hlm 451).
Mendaki gunung
Dengan hati yang terus bergemuruh karena tak pernah mendapati kondisi ideal di alam bangsa, negara, dan masyarakat, Hok- gie mereguk ketenangan dengan mendaki gunung-gunung tinggi di Jawa. Puncak-puncak gunung itu menjadi tempatnya merenung, melepaskan diri dari dunia yang mengimpit pikiran dan jiwa. Di ketinggian, Hok-gie berziarah pada keheningan, kesyahduan, dan akhirnya ia pun turun ke daratan untuk kembali menghadapinya. Seperti bait puisinya yang tercetus di Lembah Mandalawangi: menghadapi yang tanda tanya.
Hok-gie dengan sangat gamblang memaparkan mengapa ia dan kawan-kawannya di Mapala UI naik gunung. Sekitar Agustus 1967, Hok-gie dan kawan-kawannya bertekad menaklukkan Gunung Slamet di Jawa Tengah. Lantaran kurang biaya, mereka minta sumbangan dari sana-sini. Kepada para penyumbangnya, Hok-gie memaklumatkan ini: ”Kami adalah manusia-manusia yang tak percaya pada slogan. Patriotisme tak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyat dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar dan di samping itu untuk menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi” (hlm 432).
Buat saya, wajar belaka jika Hok-gie dan tujuh kawannya mendaki Semeru, gunung tertinggi di Jawa, pertengahan Desember 40 tahun lalu. Saat itu, kepada Herman O Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo, Maman Abdurrachman, Wiwiek Anton Wijana, Idhan Lubis, dan Freddy Lasut, Hok-gie berkelakar akan merayakan ulang tahunnya ke-27 di puncak Gunung Semeru pada 17 Desember 1969. Namun apa daya, ”yang tanda tanya” (baca: takdir) berkata lain. Gie dan Idhan kecelakaan. Keduanya mengembuskan napas terakhir seusai mendaratkan kaki di puncak Semeru.
Nah, detail cerita ihwal pendakian di Semeru itulah yang menjadi menu utama buku ini. Namun, membuat cerita lengkap tentang peristiwa yang berlalu 40 tahun silam bukanlah pekerjaan mudah. Sudah pasti, sungguh sulit merawat sebuah ingatan yang seusia dengan satu generasi itu. Sebagai dimaklum, bersama dengan waktu, manusia digerogoti usia. Pekerjaan mengumpulkan ingatan sejatinya merupakan proyek melawan tua tersebut. Inilah yang dilawan Rudy Badil dan kawan-kawannya yang ikut bersama Hok-gie mendaki Gunung Semeru.
”Lika-liku kisah kejadian yang sudah lewat sekian belas ribu hari sungguh sulit direkam dan direka-reka. Kebetulan pula, rekan Freddy Lasut (anggota tim pendakian) tahun 1999 sudah meninggal pada usia 49 tahun. Tinggallah kami, yang rata-rata berusia 60 tahun lebih itu harus memeras otak di kepala yang sudah banyak ubannya. Tides yang menjadi narasumber kunci sungguh kesulitan sewaktu berdiskusi dan mengingat-ingat kisah lama itu. Herman Lantang (ketua tim) yang umurnya hampir merangkak naik ke angka 70 juga tidak ingat tepat kejadian hari ke hari setelah Gie dan Idhan meninggal,” tulis Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan, yang menjadi editor buku ini (hlm xxxi).
Dari sisa ingatan itulah, Rudy Badil dan kawan-kawan menceritakan kejadian hingga Gie dan Idhan tewas, 16 Desember 1969. Kala di puncak, mereka disergap cuaca buruk yang penuh hujan dan gerimis bercampur kabut. Suara ledakan dan letusan ditambah semburan gas dan material vulkanik. Tak pelak, tarikan dan buangan napas pun bertambah berat. ”Udara terasa kosong, menyulitkan paru-paru menyedot hawa segar. Mulut kering, kerongkongan rasanya lekat,” ungkap Badil (hlm 25).
Setelah 40 tahun
Secara umum, Rudy Badil dan kawan-kawan berhasil menghadirkan kembali peristiwa itu di hadapan pembaca buku ini, tepat 40 tahun sejak kematian Hok-gie. Pembaca akan menangkap suasana dan drama mencekam episode pendakian ke puncak Semeru dan proses evakuasi dari gunung dengan ketinggian 3.676 meter itu. Pun, proses pengiriman jenazah Hok-gie dan Idhan dari Semeru-Malang-Yogyakarta-Jakarta dengan menggunakan pesawat milik AURI (sekarang TNI AU). Acungan jempol bagi penerbit yang mempertahankan gaya bertutur ala Rudy Badil dan kawan-kawan sehingga pembaca bisa kembali ke suasana masa tahun 1960-an.
Yang kurang, barangkali, penyebab kematian Hok-gie dan Idhan. Dilukiskan bahwa keduanya kecelakaan. Herman Lantang sempat berujar, Hok-gie dan Idhan mengalami kejang-kejang dan akhirnya nyawa dua pendaki itu tak bisa ia tolong. Seandainya ingatan Herman masih kuat, cerita lengkap bagaimana Hok-gie dan Idhan (keponakan almarhum sastrawan Mochtar Lubis) mengembuskan napas terakhir tentu akan lebih dramatis.
Selain peristiwa Semeru, ada kejutan dari Nurmala Kartini Pandjaitan (Kartini Sjahrir). Ia setidaknya mengejutkan saya dua kali dalam ”Surat Terbuka Ker buat Gie” yang berjumlah sepuluh pucuk. Pertama, ia menyingkap satu nama yang ditulis Hok-gie dalam ”Catatan Seorang Demonstran” (LP3ES, 1983), bahwa Sunarti sesungguhnya adalah dirinya atau yang karib dipanggil Ker. Kedua, ia dengan sangat terbuka mengungkap bahwa dirinya menyukai Hok-gie— seorang pemuda yang disemati sejumlah atribut oleh para pengagumnya: idealis, humanis, sekaligus moralis.
Andai Hok-gie masih ada, apa kira-kira sikapnya atas skandal Bank Century? Barangkali, ia akan berteriak lantang, ”Siapa salah harus mempertanggungjawabkannya. Tak ada kompromi di depan hukum dan sejarah. Hanya orang-orang bersih yang akan membawa negeri ini bebas dari korupsi!” Dari Hok-gie, kita semua belajar tentang satu hal yang lamat-lamat ditinggalkan: integritaslah yang membedakan manusia satu dengan yang lain.
* Moh Samsul Arifin, Anggota Klub Buku dan Film SCTV
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Januari 2010
No comments:
Post a Comment