Sunday, January 24, 2010

Teater: Drama Nyata Vs Drama Panggung

-- Ilham Khoiri

TERINSPIRASI perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian beberapa waktu lalu, Radhar Panca Dahana menulis sekaligus menyutradarai lakon Republik Reptil. Apakah pertunjukan teater di atas panggung itu tampil sedramatis kasus ”cicak versus buaya” di dunia nyata?

Lakon itu dipentaskan Teater Kosong di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 19-20 Januari. Ini adalah karya terbaru Radhar setelah pentas terakhirnya, 1 Hari 11 Mata di Kepala, di TIM tahun 2007. Lakon kali ini didukung 23 pemain yang berperan sebagai bermacam reptil.

Pentas dimulai dengan tayangan gambar berbagai reptil dan konflik manusia. Lalu, penonton disuguhi panggung yang mirip wajah purba. Ada bukit berdinding batu coklat-kehitaman, juga lubang mirip goa.

Di satu sudut dinding batu, terpasang bui berterali besi. Di dalamnya, Cicak A (diperankan Harry ”Bejo” Krama Yadi) mendekam. Sesaat, dia sempat bermesraan dengan Iguana cantik (Olivia Zaliyanti). Namun, tiba-tiba, muncul Buaya (Denny Sanggul), penjaga penjara yang ganas.

Di luar, rakyat gelisah dan mempertanyakan, apa sebab Cicak dipenjara? Saat bersamaan, Komodo (Toto Prawoto), reptil besar yang jadi pemimpin di negeri itu, tengah berunding dengan dua pejabatnya, Biawak L (Meritz Hindra) dan Biawak S (Ireng Sutarno). Di tempat berbeda, seekor kura-kura (Siswandhi)—yang digambarkan sebagai pengusaha licin—sibuk merancang konspirasi.

Kekisruhan membuat para ular menggelar sidang DPR alias Dewan Perularan Rakyat. Semua pihak yang terlibat diundang. Sayang, bukannya memperoleh penyelesaian, sidang yang dipimpin Ular Cobra (Eko D Zenah) itu berakhir rusuh.

Komodo turun tangan, tetapi masalah belum reda. Malah muncul banyak kejutan. Belut mengaku menyamar sebagai reptil selundupan. Iguana membongkar kedok baiknya. Akhirnya, seiring raungan T-Rex, dinding batu-batu besar di negeri itu tiba-tiba runtuh berantakan.

Ruang refleksi

Lakon Republik Reptil segera mengingatkan kita pada kasus konflik kepolisian dan KPK beberapa waktu lalu. Tak meleset. Radhar mengaku, gagasan naskah memang terinspirasi konflik politik yang menyita perhatian publik Indonesia itu.

Sambil mengingat drama nyata (dengan tokoh dua pimpinan KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto serta Susno Duadji juga Anggodo Widjojo), penonton pun dirangsang untuk menebak: reptil-reptil itu mewakili siapa? Soal cicak dan buaya, tentu mudah diterka. Lalu, bagaimana dengan komodo, iguana, biawak, kura-kura, ular, dan belasan tokoh reptil lain? Setiap orang boleh bermain dengan tafsir sendiri.

Radhar, yang Ketua Federasi Teater Indonesia (FTI), mengaku memilih tema aktual ini untuk mendekatkan teater pada masyarakat. Selama ini teater seperti sibuk dengan diri sendiri sehingga asing dari masyarakat. Dia ingin mengembalikan teater pada masyarakat.

Teater di panggung memang dapat menjadi ruang refleksi atas kehidupan sehari-hari. Dari pentas ini, kita bisa lebih jauh merenung: jangan-jangan naluri reptil yang jahat itu juga telah tumbuh, bahkan menguasai diri kemanusiaan kita?

Pemanggungan

Republik Reptil adalah drama satir. Sebagai drama, pentas mengolah unsur cerita, alur, konflik, tokoh, dan latar. Satir muncul lewat pengadeganan dan dialog para reptil yang mencoba menyindir, mengejek, mengkritik, atau meledek kenyataan.

Pendekatannya realis-simbolik. Artinya, bentuk dasar lakon berangkat dari realitas sehari-hari. Namun, pemanggungan memanfaatkan bahasa perlambangan demi menggali makna-makna lebih jauh di baliknya.

Apakah konsep itu berhasil diwujudkan secara maksimal di atas panggung? Seperti komentar beberapa penonton, semangat satir dalam pentas itu terlalu mengandalkan permainan dialog—dengan memelesetkan pernyataan tokoh-tokoh politik sehari-hari. Jadinya, pentas terasa verbal.

Karakter 20-an reptil kurang tergarap serius dengan memainkan naluri kebinatangan, baik dalam kostum, gestur, maupun gaya bicara. Semangat meledek tak muncul dalam alur yang mengalir. Entah kenapa, para pemain teater senior, sebut saja Toto, Meritz, Andi, Ginting, dan Ireng, juga tak muncul menjadi tokoh kuat dalam lakon ini.

Penyair Leon Agusta, yang menonton pada hari pertama, menangkap kesan pentas itu belum menunjukkan kematangan berekspresi seni. ”Seni itu sublimasi dari realitas. Saat hadir sebagai pentas, semestinya karya seni itu bicara dengan bahasanya sendiri,” katanya.

Setelah menonton Republik Reptil, akhirnya kita memang sulit menolak godaan untuk membandingkan drama di panggung itu dengan drama di dunia nyata. Pada titik ini, terus terang, kasus cicak versus buaya asli di koran dan televisi masih lebih teatrikal. Sebagaimana dibilang sutradara Teater Tanah Air, Jose Rizal Manua, tema semacam itu sejatinya potensial untuk digarap menjadi pertunjukan yang asyik.

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Januari 2010

No comments: