Judul buku: Sekolahnya Manusia
Penulis : Munif Chatib
Penerbit : Kaifa (Kelompok Mizan)
Cetakan : I, 2009
Tebal : xxiii + 186 halaman
SECARA ideal, sekolah adalah rumah kedua bagi anak didik. Namun dalam realitasnya, tidak jarang sekolah justru menjadi tempat ''menakutkan'' yang membuat siswa tidak nyaman di dalamnya. Tentu saja, ada banyak faktor yang mengakibatkan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Salah satu di antaranya mungkin apa yang oleh Paulo Freire disebut dengan ''dehumanisasi pendidikan'', yaitu tempat pendidikan layaknya penjara, yang memosisikan siswa sebagai objek dan guru sebagai subjek.
Dalam bahasa yang lebih praktis, menurut penulis buku Sekolahnya Manusia ini, model pendidikan yang demikian diistilahkan sebagai ''sekolah robot'', yang indikasinya dapat dilihat pada proses pembelajaran, target keberhasilan sekolah, sampai pada sistem penilaiannya. Tetapi dalam buku ini, Munif Chatib hendak mengembalikan sekolah pada maksud dan tujuan asalnya. Ikhtiar yang dia lakukan adalah menggagas semacam paradigma baru, yang ia sebut sebagai sekolah berbasis multiple intelligences (MI). Yakni, sekolah yang menghargai berbagai kecerdasan siswa.
Kesadaran tersebut bersandar pada suatu teori kecerdasan yang mengalami puncak perubahan paradigma pada 1983, saat Dr Howard Gardner -pemimpin Project Zero Harvard University- mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Implikasinya, teori MI yang banyak diikuti oleh psikolog dunia yang berpikiran maju mulai menyita perhatian masyarakat. Betapa tidak, MI yang awalnya adalah wilayah psikologi ternyata berkembang sampai wilayah edukasi. Bahkan, telah merambah dunia profesional di perusahaan-perusahaan besar.
Tulisan Munif dalam buku ini tidak lagi menyadurkan setumpuk teori-teori pendidikan, tetapi secara nyata merupakan kombinasi antara teori dan praktik yang ia kembangkan dan terbukti telah berhasil, setidaknya di tempat ia melakukan eksperimen di sejumlah sekolah di Jawa Timur. Antara lain, SMP YIMI Full Day School Gresik dan salah satu MTs (madrasah tsanawiyah/SMP) dan MA (madrasah aliyah/SMA) di Bondowoso.
Ada banyak contoh sekaligus motivasi bagi pengemban lembaga pendidikan yang oleh Munif dibagikan dalam buku ini. Salah satu kisah nyata penuh haru yang tak luput dari pewartaan Munif adalah soal bagaimana ia berusaha menghidupkan (kembali) sekolah menengah di pelosok kota terpencil di Bondowoso, yang jika ditempuh dari Surabaya memerlukan waktu kurang lebih 5 jam.
Konon, pada awalnya, dinas pendidikan setempat berencana menutup sekolah tersebut karena kepercayaan masyarakat yang terus menipis. Tak terbayangkan, untuk tingkat MTs/SMP dan MA/SMA, sekolah yang dibangun pada 1912 (jauh sebelum Indonesia merdeka) itu rata-rata hanya mendapatkan dua siswa baru setiap tahun, padahal jumlah gurunya 16 orang. Sekolah dengan dua siswa dan 16 guru sangatlah timpang. Dari fenomena yang memprihatinkan ini, setelah diamati dan diteliti oleh Munif, ternyata ditemukan beberapa masalah. Di antaranya, kompetisi guru yang kurang, problem internal yayasan, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah (hlm 6).
Karena itu, pengalaman-pengalaman empiris yang dikemukakan Munif sungguh merupakan sumbangsih yang sangat berharga bagi pengembangan pendidikan nasional ke depan. Salah satu terobosan yang dikonstruksi oleh Munif adalah mengubah haluan tentang arti atau makna kecerdasan, yang tidak dibatasi oleh hasil tes formal. Bagi Munif, kecerdasan itu multidimensi dan merupakan proses discovering ability. Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari banyak dimensi, tidak hanya kecerdasan verbal (berbahasa) atau kecerdasan logika.
Gardner dengan cerdas memberikan label ''multiple'' (jamak atau majemuk) pada luasnya makna kecerdasan. Gardner secara sengaja tidak memberikan label tertentu pada makna kecerdasan seperti yang dilakukan oleh para penemu teori kecerdasan lain, misalnya, Alferd Binet dengan IQ, emotional quotient oleh Daniel Goleman, dan adversity quotient oleh Paul Scholtz. Dengan teori MI, ranah kecerdasan tersebut memungkinkan terus berkembang (hlm 75).
Menurut Munif, sebenarnya tidak ada siswa yang bodoh dalam kegiatan belajar. Seluruh siswa dipastikan pintar dan cerdas menurut kecenderungan masing-masing. Lalu, bagaimana menguji teori ini? Di samping perlunya mengembangkan metode belajar yang sesuai dengan paradigma MI bagi guru-gurunya -juga strategi eksperimen yang dikembangkan Munif di tempat ia mencurahkan tenaga dan pikirannya itu-adalah menerima seluruh siswa tanpa tes dan memilah-milah kemampuan kognitif yang ditunjukkan dalam rapor sekolah sebelumnya.
Munif selalu menggelorakan kepada khalayak, termasuk di dalam buku ini, bahwa sekolah unggul itu adalah sekolah yang memanusiakan manusia. Artinya, menghargai setiap potensi yang ada pada diri siswa. Sekolah yang membuka pintunya kepada semua siswa, bukan dengan menyeleksinya dengan tes-tes formal yang memiliki interval nilai berupa angka-angka untuk menyatakan batasan diterima atau tidak.
Indikator sekolah unggul bagi Munif adalah the best process, bukan the best input. Artinya, sekolah unggul harus menerima siswa dalam kondisi kognitif yang beragam, tidak harus menerima siswa yang pandai-pandai. Kondisi itu merupakan konsekuensi logis dari teori MI yang di dalamnya memiliki metode discovering ability. Yakni, menekankan proses menemukan kemampuan seseorang.
Di sini, guru sangat berperan dalam menemukan dimensi kecerdasan seorang anak didik. Jika yang ditemukan adalah kelemahan dalam satu jenis kecerdasan, kelemahan itu harus dimasukkan ke laci dan dikunci rapat-rapat. MI menyarankan kepada kita untuk mempromosikan kemampuan atau kelebihan seorang anak dan mengubur ketidakmampuan atau kelemahan anak. Proses menemukan itulah yang menjadi kecerdasan seorang anak.
Akhirnya, dalam banyak hal, harus diakui bahwa Munif sesungguhnya berutang budi kepada teori-teori yang dibangun Howard Gardner. Delapan kecerdasan yang dikemukakan Gardner -kecerdasan lingusitik, matematis-logis, visual-spasial, musikal, kinestetis, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis- merupakan dimensi-dimensi kecerdasan yang selalu ada dalam diri setiap orang, tak peduli siapa dan di mana ia tinggal. Selamat membaca. (*)
Lailiyatis Sa'adah, pustakawan AIDA di Jember dan guru PAUD di UIN Sunan Kalijaga
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 10 Januari 2010
No comments:
Post a Comment