PERKEMBANGAN zaman dan teknologi memang tidak dapat dihindari. Semua harus dihadapi dengan bijaksana, begitu pula dengan media. Tetapi, yang terlihat selama ini sepertinya, media belum memanfaatkannya dengan tepat.
Dunia pers saat ini berbeda dengan dunia pers di tahun-tahun yang lalu. Unsur-unsur baru mulai ikut ambil bagian di dalamnya dan perlahan mengubahnya. Demikian diungkapkan oleh wartawan senior Goenawan Mohamad kepada SP, Senin (25/1). (SP/Alex Suban)
Goenawan mengklasifikasikan, unsur baru yang masuk dan mulai mengubahnya tersebut menjadi dua, yaitu televisi dan internet. Kalau dahulu, menurutnya, media yang paling merajai adalah media cetak, tetapi semakin majunya teknologi, membuat media-media baru juga berkibar, seperti televisi dan internet.
"Unsur baru, seperti televisi dan Internet, sangat berpengaruh karena mereka memiliki daya atau kekuatan melebihi media cetak," ungkap pria kelahiran Batang, Pekalongan Jawa Tengah 29 Juli 1941 ini.
Tetapi, lanjutnya, kedua unsur tersebut tetap memiliki kelemahan mendasar, sehingga membuatnya tidak secara penuh menguasai dunia informasi dan mengalahkan media cetak dalam hal pemberitaan. Media cetak tetap unggul.
Selanjutnya, pria yang dikenal sebagai sastrawan, esais, budayawan, dan wartawan ini, membagi kelebihan sifat televisi menjadi dua, yang membuatnya saat ini lebih diminati daripada media cetak dalam hal pemberitaan. Pertama, televisi langsung terlibat dalam suatu peristiwa. Dalam artian, televisi dapat membawa penonton seperti langsung melihat, bahkan mengalami suatu peristiwa.
"Berbeda dengan media cetak yang membutuhkan jeda bagi pembacanya untuk mengetahui suatu peristiwa dan juga memberikan waktu kepada pembacanya untuk berpikir," jelas mantan Pemimpin Redaksi majalah Tempo ini.
Kedua, dengan semakin majunya teknologi, membuat berita yang disajikan di televisi lebih cepat atau ditayangkan langsung, sehingga penonton dapat dengan cepat mendapat informasi.
Hanya saja, pria yang terkenal dengan Catatan Pinggir (Caping) ini mengkritik apa yang dilakukan oleh media elektronik tersebut. Menurutnya, berita yang ditayangkan langsung terkadang tidak melewati penyuntingan, dan itu sangat mengkhawatirkan baginya.
Selain itu, penerapan sistem langsung tersebut juga mengakibatkan penerima informasi tidak memiliki cukup waktu untuk mencerna informasi yang masuk. Hal ini sangat disesalkan oleh jurnalis yang memiliki banyak karya itu, karena baginya, tidak membangun daya kritis para penerima informasi.
"Kecepatan menuntut jurnalis untuk cepat. Tetapi, jurnalis tersebut tidak selamanya siap. Karena tidak mudah membaca berita tanpa teks tertulis, kalau tidak terlatih. Bagaimana pun cepatnya, berita yang ditayangkan harus jelas dan akurat," ungkapnya.
Kemajuan Teknologi
Sementara itu, unsur kedua yang masuk dalam dunia pers saat ini adalah Internet. Lahirnya media online yang selalu memperbaharui beritanya setiap waktu, menurut pria yang akrab dipanggil Goen ini adalah suatu hasil dari kemajuan teknologi.
"Hampir sama dengan televisi, media online juga sangat membutuhkan kecepatan karena berita mereka harus diperbarui, bahkan setiap menit. Kecepatan ini juga yang membuat banyak kelemahan," ungkap pria yang mulai suka menulis sejak usia 17 tahun itu.
Kecepatan yang tidak terarah, lanjutnya, hampir sama dengan televisi yang membuat pembacanya berpikir tidak akurat mengenai informasi yang didapatnya karena tidak sempat mengeceknya lagi atau berpikir sejenak, tetapi langsung menelannya bulat-bulat.
Selain itu, hal ini juga semakin diperparah dengan para jurnalisnya yang asal tabrak. Dalam artian, tidak menyeleksi narasumber yang akan dimintai pendapat, karena dikejar-kejar dengan kecepatan tadi. Hasilnya, banyak narasumber yang tidak kompeten mengomentari suatu masalah.
"Saya sangat menyayangkan mereka yang tidak berkompeten, tetapi mau saja berbicara ketika ditanya oleh wartawan. Seharusnya, mereka mengetahui kapasitas dirinya. Sebagai contoh, diri saya sendiri. Waktu itu, ada wartawan yang bertanya kepada saya mengenai pilkada. Tetapi, saya menolak berkomentar, karena saya tahu kalau saya tidak memiliki kompetensi berbicara mengenai hal itu," kata pria yang juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini.
Melihat kenyataan itu, pria lulusan Sarjana Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini menganggap, media cetak harus mampu bersaing dengan kedua media tersebut. Jangan sampai terbawa arus kecepatan yang membuatnya tidak akurat.
"Media cetak berperan memberi alternatif, yaitu memberikan jarak yang bermaksud memberikan waktu kepada pembacanya untuk berpikir, mengenai apa yang tertulis di dalamnya, sehingga membangun daya kritis pembacanya," ungkapnya.
Tetapi lanjutnya, teknologi tidak bisa dipersalahkan. Mengenai dampak teknologi di dunia pers saat ini, menurutnya, yang patut dipersalahkan adalah manusianya yang tidak bisa memanfaatkan teknologi secara tepat.
Terkait kecepatan yang semakin menjadi tuntutan itu, pria yang belajar Ilmu Politik di Belgia ini menegaskan, kalau jurnalis sekarang harus memiliki keahlian, sehingga berita yang dibuatnya jelas dan akurat.
Oleh karena itu, dia melanjutkan jangan pernah berhenti berlatih untuk menjadi jurnalis yang hebat dan jangan lupa melakukan riset terlebih dahulu sebelum menulis sebuah berita. [NOV/N-5]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 27 Januari 2010
No comments:
Post a Comment