-- Alfitra Salamm*
Selama 22 tahun kepemimpinannya, Mahathir Mohamad telah mengubah wajah Malaysia. Namun, corak kepemimpinannya yang visioner itu belum mampu mewujudkan bangsa Malaysia yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Kepemimpinan Mahathir diakui memang spektakuler. Dalam politik Asia Tenggara, Mahathir mendapat julukan ”Soekarno Kecil” yang mampu memberi corak bukan saja dalam kepemimpinan nasional Malaysia, tetapi juga sangat diperhitungkan dalam percaturan politik internasional.
Sejak terjun dalam politik tahun 1959, Mahathir memperlihatkan sikap ”kurang ajar” yang selama ini dianggap tabu dalam politik Malaysia. Melalui bukunya, The Malay Dilemma, yang kemudian dilarang oleh Tunku Abdul Rahman (hal 28), ia menjadi tonggak sejarah dalam pemikiran perubahan masyarakat Melayu. Dalam kajian politik Malaysia, buku tersebut dianggap sebagai pembuka jalan untuk mengetahui perjalanan politik Malaysia ke depan. Kekurangajarannya itu terlihat bahwa ia sering keluar dari pakem-pakem gaya kepemimpinan Melayu yang santun, sabar, dan hati-hati. Bahkan, beberapa kebijakannya dianggap sangat kontroversial dan ”tidak Melayu”. Ia biasa bicara blak-blakan, bahkan tidak jarang menyerang Barat (Amerika Serikat). Suatu hal yang hampir tidak pernah dilakukan pemimpin Indonesia, kecuali Soekarno.
Buku Barry Wain ini merupakan rekaman seorang jurnalis terhadap perjalanan kepemimpinan Mahathir. Ada tiga bagian yang semua membicarakan secara kritis peran Mahathir sebagai ”designer” Malaysia hingga menjelang perpecahan dalam politik UMNO yang ditandai dengan konflik antara Mahathir dan Anwar Ibrahim.
Konflik berkepanjangan ini menyisakan pertanyaan seberapa jauh sebenarnya keberhasilan Mahathir mewujudkan sebuah bangsa Malaysia. Buku ini mencatat secara detail peristiwa dan fakta politik sehingga bisa dikatakan sebagai ”grounded research”. Namun, bagi para pembaca yang haus akan teori-teori politik, di dalam buku ini tidak akan dijumpai. Sekalipun demikian, sebagai referensi kajian politik Malaysia, buku ini patut menjadi acuan penting.
Tokoh revolusioner
Mahathir memang dianggap sebagai tokoh revolusioner yang mampu mengubah mentalitas dan kultur masyarakat Malaysia. Keinginan menjadikan Malaysia nomor wahid merupakan obsesinya yang muncul dalam jargon sosial seperti ”Malaysia Boleh” (hal 183). Nasionalisme Malaysia tampaknya juga mulai tumbuh pada era Mahathir, meskipun dalam beberapa hal semangat ini sangat semu.
Meskipun dianggap ”relatif stabil”, selama kepemimpinan Mahathir sering terjadi gejolak politik, seolah Mahathir sedang mempertaruhkan jati diri ”ketuanan Melayu” yang menjadi dasar politik multirasial Malaysia. Bahkan, ada kesan ia ingin memformat ulang bentuk negara Malaysia menjadi sebuah negara bersatu, stabil, dan modern. Namun, pada era Mahathir pula benih-benih perpecahan UMNO mulai terlihat.
Terbentuknya puak-puak Melayu tampaknya merupakan gejala biasa pada era Mahathir sehingga UMNO hampir terancam hilang dalam politik Malaysia. Perlu dicatat bahwa kepemimpinan Mahathir di UMNO bukanlah tanpa cacat. Dalam politik Malaysia, ia dianggap telah ”mematikan” tiga generasi yang seharusnya ditandai dengan perubahan kepemimpinan nasional. Ini dapat dilihat ketika Musa Hitam, Gafar Baba, Anwar Ibrahim, yang ketika menjadi wakil perdana menteri, gagal menjadi orang nomor satu di Malaysia.
Di sisi lain, melalui Look East Policy, Mahathir menginginkan bukan saja berbagai proyek industri raksasa, industri otomotif Proton misalnya, tetapi juga menginginkan perubahan mentalitas birokrat Melayu. Kedisiplinan dan kemampuan bersaing baik dalam mengatasi ketertinggalan etnis Melayu dengan etnis lain maupun bertarung dalam dunia internasional menjadi perhatiannya.
Terbukti, Dasar Ekonomi Baru (New Economic Policy), dasar kebijakan ekonomi Malaysia sejak tahun 1971, berhasil membawa perubahan. Penguasaan ekonomi orang Melayu telah mendekati 30 persen. Meskipun hal ini juga diperkuat oleh kebijakan-kebijakan ekonomi Mahathir yang memprioritaskan orang Melayu, baik itu melalui perbankan, perlindungan bisnis orang Melayu maupun bentuk- bentuk kebijakan lainnya yang sebenarnya sangat rasialis (hal 124). Kini pengusaha Melayu yang sebelumnya tidak mendapat tempat sekarang sudah patut diperhitungkan.
Meskipun bukan murni ide Mahathir, karena sejalan dengan visi PBB, Visi 2020 sebagai kelanjutan dari Dasar Ekonomi Baru (DEB) memperkuat posisi ekonomi Malaysia. Perubahan besar dalam bidang ekonomi, pertanian, perbankan, dan pengembangan infrastruktur menjadikan Malaysia berbeda sama sekali. Kehadiran Putra Jaya sebagai pusat birokrasi Malaysia—dengan supermultimedianya—juga membuat Malaysia sebagai negara yang efisien dan efektif.
Terbentuknya kelas menengah sebagai keberhasilan DEB secara tidak langsung memang membawa dampak terhadap proses pertumbuhan politik Malaysia. Salah satu yang mencolok adalah munculnya politik uang dalam beberapa proses politik internal UMNO, terutama dalam suksesi kepemimpinan nasional. Tanpa disadari sejak era Mahathir-lah politik uang menjadi panglima dalam pergantian kepemimpinan nasional. Politik uang ini bukan saja merusak sendi-sendi demokrasi, tetapi telah mempertajam keretakan politik nasional. Dapat dikatakan hampir pada setiap kongres UMNO, perpecahan elite Melayu selalu membayangi. Mungkin tidak terlalu salah jika dikatakan Mahathir mampu bertahan dari kekuasaannya justru melalui politik uang tersebut.
Politisasi Islam
Keberhasilan Mahathir juga dapat dilihat dalam menjadikan Islam sebagai komoditas politik dalam melawan rivalitas politik dalam negeri. Kebijakan Islamisasi dalam perekonomian nasional dan penguatan simbol-simbol Islam meletakkan posisi Mahathir sangat kuat dalam politik nasional. Bahkan dalam beberapa isu yang berkaitan dengan Islam internasional, Mahathir dengan lantang membela kepentingan Islam.
Begitu juga dalam politik internasional, Mahathir dianggap suara yang mewakili negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Mahathir telah berhasil mengubah posisi Malaysia dalam percaturan internasional. Sikap perlawanan Mahathir terlihat ketika awal pemerintahannya ia mencoba menantang Amerika Serikat yang mengatakan Malaysia ingin sejajar dengan negara-negara besar lainnya. Itulah sebabnya, Mahathir menjadi tokoh yang sangat disegani dalam politik internasional. Perlawanannya terhadap negara-negara Barat menjadi ”indeks” dalam beberapa pernyataan politik Mahathir.
Bagi pihak oposisi, meskipun Mahathir selalu membela kepentingan Islam, tetap dianggap sebagai ”anti-Islam” (hal 218). Beberapa kebijakannya mengikis habis politik oposisi Islam. Seperti terjadi pada partai oposisi PAS. Di sisi lain, Mahathir memanfaatkan sosok Anwar Ibrahim sebagai upaya ”menjinakkan” sikap-sikap kritis Islam dalam negeri.
Buku ini menyisakan beberapa catatan yang mungkin mengganjal kepemimpinan Mahathir, di antaranya adalah apakah sebuah bangsa Malaysia yang terdiri dari multirasial sudah terwujud? Di samping itu, konflik antara Mahathir dan Anwar Ibrahim sebenarnya juga membuahkan pertanyaan apakah ketuanan Melayu dan politik multirasial akan menjadi paradigma yang signifikan di Malaysia?
Kepemimpinan politik nasional Malaysia ke depan masih menyisakan pekerjaan besar, yaitu mewujudkan bangsa Malaysia yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial. Apa yang terjadi di Malaysia sekarang barulah pada taraf ”administratif”. Malaysia masih selalu rentan dalam berbagai isu rasial.
* Alfitra Salamm, Ahli Peneliti Utama LIPI
Sumber: Kompas, Minggu, 31 Januari 2010
No comments:
Post a Comment