-- Harry Tjan Silalahi
TULISAN ini sebenarnya hanya merupakan repitoir dari berbagai tulisan mengenai Gus Dur, yang ditulis oleh berbagai kalangan masyarakat, dan ada di mana-mana, baik lokal maupun nasional. Secara aklamasi semuanya sependapat bahwa Gus Dur adalah seorang pahlawan nasional dan guru bangsa, terutama mengenai pluralisme dan multikulturalisme, baik ini nanti diformalkan atau tidak oleh pemerintah.
Ada tradisi di (kerajaan) Barat, kalau ada seorang raja wafat, maka segera diumumkan: ”The King is dead, Long live the King”— ”Raja telah mangkat, hidup Raja”. Jadi, tidak ada ”vakum kekuasaan”. Begitu pula malam itu di Ciganjur: ”Gus Dur telah wafat, hidup Gus Dur”. Artinya, semua pelayat dengan sedih menerima bahwa Gus Dur telah wafat, tetapi semua pelayat mengakui pula bahwa ”roh” Gus Dur masih hidup.
Kenyataan ini diterima oleh semua yang hadir, juga oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Roh itu berupa ajaran dan keyakinan Gus Dur, terutama yang berupa pengakuan bahwa pluralisme dan multikulturalisme bangsa Indonesia adalah ajaran yang harus dihayati dan dilaksanakan oleh kita semua.
Bangsa Indonesia sebenarnya sudah mengetahui wawasan pluralisme dan multikulturalisme ini. Wawasan ini telah ada sejak diciptakannya semboyan Bhinneka Tunggal Ika oleh Empu Tantular, kemudian peneguhan pemuda di Nusantara yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928, serta dicantumkannya semboyan Bhinneka Tunggal Ika di simbol Garuda Pancasila yang dipasang di semua kantor resmi ataupun logo ofisial kenegaraan lainnya.
Mengapa tidak
Gus Dur dengan tegas, tanpa ragu, dan serta merta mengakomodasi desakan dan keresahan daerah dan memberikan tempat yang layak dalam nation building Indonesia. Kalau pergolakan di Aceh itu disebabkan karena kebutuhan ditampungnya di dalam berlakunya syariah Islam, mengapa tak diberikan saja. Begitu saja kok repot.
Begitu pula kalau etnis Tionghoa akan merasa tidak dipinggirkan dengan pengakuan perayaan Imlek, pengakuan agama Konghucu, diperbolehkannya bahasa Tionghoa dengan aksara-aksara kanji serta barongsai, mengapa tidak! Dan untuk itu Gus Dur mengaku bahwa dirinya juga sebenarnya keturunan marga Tan. Semua jadi bahagia. Juga Irian Jaya menjadi Papua, ini memuaskan batin orang-orang Papua disertai bendera bintang kejora boleh dikibarkan sebab, kata beliau, PSSI pun punya benderanya sendiri: gitu saja kok dipersoalkan.
Dalam hubungan antaragama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, banyak sikap tegas yang ditunjukkan oleh Gus Dur. Soal ini sudah banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh agama non-Islam. Sebagai Ketua Nahdlatul Ulama dan tokoh Islam yang besar, beliau tanpa tedeng aling-aling berani mengoreksi berbagai sikap/tindakan primordialistik keagamaan Islam. Gus Dur, misalnya, mengatakan bahwa tokoh Katolik, seperti Benny Moerdani, setidaknya harus bisa dibicarakan sebagai calon presiden RI, dan dengan entengnya beliau menambahkan, toh dia tidak akan dapat terpilih.
Dr Andre Feiliard, sarjana Perancis, yang disertasinya tentang Nahdlatul Ulama, menyatakan, betapa karisma dan ketegasan Gus Dur yang telah dapat dengan segera mencegah dan menghentikan kekerasan/perusakan-perusakan yang bermotif agama yang terjadi di Jawa Timur pada waktu itu. Ini sungguh kepemimpinan yang patut dikagumi.
Dengan demikian, kini yang penting dan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dalam situasi seperti sekarang ini adalah seorang pemimpin yang bersedia membawa ”roh” Gus Dur itu secara tegas, konsekuen dan berani, seperti halnya Gus Dur semasa hidupnya. Pada saat sekarang ini bangsa Indonesia sangat mendambakan pemimpin seperti itu. Gus Dur, R.I.P.
* Harry Tjan Silalahi, Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies
Sumber: Kompas, Senin, 11 Januari 2010
No comments:
Post a Comment