KETIMBANG mengungkap berbagai sisi ihwal FDBS sebagai wadah apresiasi dan pendidikan budaya Sunda, diskusi di Aula Redaksi "PR", Kamis (21/1), akhirnya lebih menyoroti minimnya perhatian pemerintah pada festival drama yang telah diadakan secara kontinyu sejak 1990 itu. Oleh karena itulah Lin Samsuri berkomentar bahwa diskusi akhirnya terkesan menjadi penuh dengan suara-suara yang humandeuar (kecewa, berkeluh kesah), karena sudah merasa bekerja keras demi bahasa dan budaya Sunda tetapi tak dihargai dan diperhatikan oleh pemerintah.
Mungkin Lin Samsuri benar, tetapi mesti juga dipahami mengapa dan dari mana suara-suara humandeuar itu muncul. Soalnya bukanlah sekadar rengekan, keluh-kesah, atau tuntutan agar pemerintah memperhatikan FDBS dalam bentuk pembiayaannya. Akan tetapi juga bertautan dengan konteks akumulasi permasalahan yang selama ini dirasakan oleh sejumlah seniman, yakni, ketidakadilan dalam distribusi anggaran bagi kegiatan seni budaya yang dikelola oleh Pemprov Jabar atau Pemkot Bandung.
Dalam FDBS X 2008, panitia mengajukan proposal dengan anggaran Rp 130 juta. Akan tetapi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar hanya membantu Rp 18 juta. Itu pun baru bisa cair setelah terjadi ketegangan antara para seniman dan Kadisbudpar menyusul pernyataannya di salah satu harian yang menyebut bahwa drama Sunda sudah ketinggalan zaman.
Demikian pula dalam persiapan FDBS XI Maret 2010 mendatang, yang hingga hari ini belum ada respons apa pun dari pemerintah, meski panitia telah mengajukan proposal langsung ke gubernur. Bahkan setelah panitia mengajukan surat permintaan audensi dengan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Kadisparbud) Jabar Desember 2009, hingga hari ini belum juga ada tanda-tanda bahwa surat itu direspon.
Kenyataan semacam ini tak ayal membuat banyak orang tergoda untuk membandingkannya dengan sejumlah program yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Termasuk apa yang sempat menjadi isu hangat ketika Pemprov Jabar sempat berencana membiayai pembuatan film "Perang Bubat" yang memakan dana Rp 6 miliar. Inilah yang membuat Dhipa Galuh Purba membandingkannya dengan anggaran penyelenggaraan FDBS, yang menurutnya bagai ”cicak dan dinosaurus”!
Ungkapan ”cicak dan dinosaurus” sebenarnya bisa dimaknai sebagai adanya ketidakadilan pemerintah dalam memberi perhatian pada berbagai program seni budaya, termasuk ketidakadilan dalam mendistribusikan anggaran. Ketidakadilan dalam distribusi anggaran ini tak hanya bisa dipakai untuk membandingkan FDBS dan film "Perang Bubat", melainkan juga bisa menjadi pembanding dengan event lainnya yang sangat dimanjakan pemerintah dengan gelontoran dana hingga ratusan juta. Dari mulai dialog budaya, seminar atau semiloka, festival-festival, dan jangan sebut lagi pemilihan mojang jajaka (moka) yang mahal dan serbawangi itu.
Alasan untuk itu mudah diduga, karena program-program tersebut sudah dicantumkan dalam APBD dan sudah menjadi kalender tahunan instusi seperti Disparbud. Jika benar demikian, pertanyaan mendasarnya, mengapa FDBS yang berlangsung secara kontinyu sejak 1990 dan diselenggarakan komunitas seniman yang murni bekerja demi seni, budaya, dan bahasa Sunda itu tidak dimasukkan ke dalam APBD atau dijadikan kalender program?
Bahkan dalam Dialog Budaya yang diselenggarakan Disparbud, November 2009, Dadi P. Danubrata menuturkan, bagaimana ia mendengar bahwa anggaran FDBS yang sebelumnya sudah tercantum dalam usulan APBD itu dicoret, tanpa ia diberitahu siapa yang mencoretnya dan mengapa dicoret.
**
UNGKAPAN "cicak dan dinosaurus" tentu tidak akan muncul seandainya pemerintah memiliki strategi skala prioritas yang selektif dalam perannya sebagai fasilitator. Mungkin saja strategi dan skala prioritas itu ada, tetapi seluruhnya terkesan lebih berorientasi pada event atau program-program yang sifatnya "wah" dan masif. Sempat munculnya rencana pembuatan film "Perang Bubat" atau pembangunan pusat kesenian yang dilontarkan oleh petinggi Pemprov Jabar dan Pemkot Kota Bandung, adalah bagian dari kesan semacam itu. Belum lagi, seperti tadi, berbagai festival, seminar, dan semiloka di hotel-hotel mewah.
Dan inilah yang dimanfaatkan benar oleh sekalangan orang yang memiliki akses ke institusi, seperti, Disparbud, atau para petinggi, yang ujug-ujug menjadi event organizer (EO). Akhirnya, bukan rahasia umum lagi, kondisi yang kemudian terjadi adalah politik projek ala seniman dalam melakukan berbagai manuver untuk memiliki akses ke institusi seperti Disparbud Jabar, Disbudpar Kota Bandung, dan lain-lain.
Adanya akses dan pendekatan personal akhirnya lebih menentukan dalam perolehan projek-projek event seni budaya dan kue distribusi anggaran yang lebih besar, ketimbang kualitas program yang dimiliki. Betapapun bagusnya suatu program, seperti FDBS, yang bertautan langsung dengan kesadaran pada seni, budaya, dan bahasa Sunda, seperti yang diamanatkan oleh Perda No.5 Tahun 2003, tetapi karena Dadi P. Danubrata dan Teater Sunda Kiwari tidak memiliki akses ke Disparbud Jabar dan Disbudpar Kota Bandung, apalagi akses personal pada para petinggi, maka begitulah nasibnya.
Sebaliknya tanpa memeriksa rekam jejak dan jam terbangnya, kalangan seniman atau yang mengaku seniman di balik EO yang dibentuknya, dengan mudah digelontori dana ratusan juta demi berbagai seminar atau dialog budaya yang tak ubahnya komedi omong, atau sebuah festival yang tak lebih dari sekadar membuat keramaian.
Maka, bisa dipahami, jika banyak peserta diskusi hari itu merasa humandeuar. Dan ungkapan "cicak dan dinosaurus" itu akan terus ada sepanjang pemerintah tidak juga selektif dan adil dalam menetapkan ukuran pendistribusian perhatian dan anggarannya di bidang seni budaya. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 24 Januari 2010
No comments:
Post a Comment