-- Zubaidah Djohar*
ACEH kembali dihantam tsunami. Bukan ombak yang menyapu seluruh kota dan penduduknya, tetapi tsunami peradaban. Tsunami yang menghancurkan martabat Aceh sekaligus pembuktian telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Aceh.
Tiga oknum Wilayatul Hisbah (WH) diduga memerkosa seorang perempuan yang diduga berkhalwat di Langsa pada Jumat (8/1) dini hari (Serambi Indonesia/SI, 10/1). Dugaan itu pun mendapat jawabannya dua hari kemudian. Dalam proses penyidikan Kepolisian Resor Langsa, salah seorang pelaku mengakuinya.
Kasus-kasus pun kembali nyata membentang di depan kita dan mempertanyakan kualitas WH, bahkan makna hadirnya lembaga ini. Masih di kota yang sama, pada pertengahan 2009 seorang anggota WH diduga melakukan tindakan asusila. Sebagai bentuk protes warga, baju dinasnya dipajang berhari-hari di pinggir jalan protokol kota itu (SI, 12/1/2010). Seorang anggota WH di Nagan Raya terancam dipecat karena terlibat kasus sabu (SI, 14/1/2009).
Simbolisasi akut
Realitas di atas begitu kontras dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam yang lantang berbicara keadilan, persamaan, kemaslahatan, perdamaian, kesejahteraan, kebijaksanaan, dan inspirasi kehidupan. Nyatanya, pemerkosaan justru dilakukan oleh orang yang seharusnya menjaga kemaslahatan dan keamanan umat.
Keadaan yang kontras di antara realitas dari prinsip-prinsip Islam sesungguhnya menunjukkan syariat Islam di Aceh tengah memasuki tahap hanya sebagai simbol.
Sejak sembilan tahun penerapan syariat Islam di Aceh, yang lebih kental adalah nuansa razia daripada peningkatan kesejahteraan dan keamanan warga. Razia itu pun berlaku untuk kalangan rentan, dan kelompok rentan itu adalah perempuan. Penertiban tubuh perempuan seolah menjadi simbol tengah berlakunya syariat Islam di Aceh.
Contohnya, Januari ini diberlakukan hukum potong celana bagi perempuan bercelana ketat di Aceh Barat. Di sisi lain, kesejahteraan masyarakat semakin turun. Kematian ibu melahirkan tertinggi di Indonesia adalah Aceh (SI, 15/11/2009), rumah korban konflik dan tsunami belum terealisasi dengan baik (SI, 11/1/2010), korupsi semakin mengakar hingga ke pelosok kampung (SI, 29/12/2009), banjir hampir di seluruh wilayah Aceh akibat pembangunan tidak bersahabat dengan alam (SI, 3/1/2010), kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak meningkat (SI, 15/7/2009), begitu juga dengan kekerasan dalam rumah tangga (SI, 3/11/2009).
Temuan penelitian Aceh Institute (2008) menunjukkan, perempuan korban kekerasan seksual semasa konflik masih belum tertangani pemulihan kesejahteraan dan martabatnya serta mengalami kesehatan reproduksi yang buruk. Mereka tetap hidup dalam kemiskinan materi dan pengetahuan-keterampilan.
Lima dimensi
Tentu kita semua tidak ingin menjadi orang yang ahli dalam mengingkari indahnya Islam. Karena itu, untuk menjadikan syariat Islam di Aceh sebagai rahmatan lil’alamin, perlu upaya sungguh-sungguh dari semua elemen sipil dan pemerintah di Aceh, terutama kalangan ulama dan tokoh adat, untuk mengkaji ulang dan merefleksikan penerapan syariat di Aceh.
Dalam salah satu diskusi rutin Aceh Institute yang saya hadiri pada pengujung 2009, pakar hukum Islam Aceh, Prof Dr Syahrizal, menawarkan refleksi dengan memerhatikan lima dimensi.
Pertama, apakah produk undang-undang atau qanun yang dilahirkan sampai ke kabupaten-desa? Kedua, kualitas; apakah qanun sudah menjamin kepastian hukum, keamanan, dan kenyamanan masyarakat? Ketiga, implementasi qanun, apakah masyarakat sudah mapan secara kognitif? Keempat, aspek aparat penegak hukum, apakah sudah memiliki kesadaran hukum dan sumber daya manusia andal dan berperspektif adil-setara? Begitu pula dengan sarana dan prasarana pendukung kinerja aparat. Kelima, aspek partisipasi masyarakat. Hal terakhir ini cukup mampu memengaruhi kualitas produk hukum yang dihasilkan kemudian.
Memerhatikan kelima aspek itu dan menyadari realitas yang ada, dapat disimpulkan keberadaan lembaga WH dan kualitas produk hukum perlu dikaji ulang. Proses kajian yang dimulai dengan perencanaannya perlu melibatkan perempuan dan memerhatikan aspek kemanusiaan perempuan. Ini bukan persoalan hafal Al Quran dan lulus pesantren, tetapi bagaimana makna ajaran Islam mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam, termasuk bagi perempuan.
Bersyariatlah kita dengan makna dan kualitas, bukan polesan dan simbolisasi belaka. Saatnya Aceh berbenah karena sudah terlalu lama tenggelam dalam konflik dan bencana tsunami.
Mengambil momentum perubahan dan kebangkitan Aceh melalui penghargaan terhadap tubuh perempuan dalam bersyariat adalah rahmat. Sebuah pelajaran berharga bagi daerah dan negara mana pun yang tidak atau yang tengah dan akan ”bersyar’i”.
* Zubaidah Djohar, Peneliti Aceh Institute dan Fasilitator Training Tema Kebudayaan dan Perdamaian di Aceh
Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Januari 2010
No comments:
Post a Comment