Jakarta, Kompas - Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama mengingatkan arti penting memetik pelajaran masa lalu yang relevan dengan masa kini. Pemimpin yang bijak akan senantiasa membuka diri dan mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu demi memenangi kompetisi masa kini dan masa depan.
”Apalagi pokok-pokok persoalan yang dihadapi Indonesia rasanya masih serupa. Yang berubah adalah tuntutan yang makin keras, kompetisi yang makin kuat,” ujar Jakob Oetama dalam peluncuran buku Pengalaman Pembangunan Indonesia, Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro serta buku Esai dari 27 Negara tentang Widjojo Nitisastro di Jakarta, Kamis (14/1). Kedua buku ini diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
Pengalaman pengelolaan ekonomi oleh Widjojo dalam dua buku ini, menurut Jakob Oetama, dapat menjadi referensi bagi penanganan masalah ekonomi Indonesia.
”Kita merasakan bagaimana berbagai masalah muncul dan cara-cara menyelesaikan masalah yang juga agak semrawut kita saksikan, kita rasakan akhir-akhir ini. Sampai pada saya, jujur, menimbulkan pertanyaan mau ke mana kita ini? Sementara itu, rakyat, masyarakat luas, menunggu kelanjutan perbaikan nasibnya,” tutur Jakob Oetama.
Menurut ekonom senior Emil Salim, karakter Widjojo sebagai arsitek perekonomian Indonesia masa dulu masih relevan menjadi pelajaran masa sekarang.
Penentuan skala prioritas yang disepakati bersama dan dijalankan dengan konsisten, efisiensi di semua lini pengambilan kebijakan, serta keteguhan mencapai tujuan pembangunan untuk rakyat adalah sebagian pemikiran dan pengalaman ekonom senior Widjojo yang masih relevan menjawab persoalan bangsa saat ini.
Menurut ekonom M Arsyad Anwar, Widjojo mengidentifikasi penyebab kegagalan negara berkembang, antara lain karena para pemimpin gagal menetapkan prioritas secara konsisten. ”Para pemimpin tidak bisa mencapai kesepakatan di antara mereka sendiri tentang skala prioritas yang diperlukan. Kalau berhasil menyepakati prioritas, mereka tidak (mau) konsisten,” ujar Arsyad.
M Chatib Basri menilai Widjojo bukan penganut mazhab ekonomi yang memercayai mekanisme pasar sepenuhnya. Dalam pengukuhan sebagai guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1963, Widjojo memperkenalkan pengelolaan pasar dalam perencanaan pemerintah.
”Bisa disimpulkan yang dilakukan para pendahulu kita ini adalah planning through the market, menggunakan pasar sebagai instrumen, tetapi sepenuhnya adalah perencanaan pemerintah,” ujar Chatib.
Wakil Presiden Boediono mengungkapkan kebanggaannya karena mengenal dan pernah bekerja di bawah bimbingan Widjojo Nitisastro. Ia juga memuji Widjojo sebagai arsitek ekonomi nasional yang bekerja tanpa pamrih untuk bangsa. Ia mengaku belajar dari Widjojo, seorang pemimpin harus siap dikritik, dicerca, tetapi terus bekerja.
”Terutama bila pemimpin itu yakin bahwa dia tidak mengambil keuntungan apa pun dari kedudukan dan kebijaksanaan. Terutama bila ia benar-benar bekerja untuk kebaikan Tanah Airnya,” ujar Boediono.
Widjojo sangat memerhatikan masalah demografi untuk merencanakan dan membangun perekonomian Indonesia dengan cermat. Untuk itu, Widjojo mendirikan Lembaga Demografi FE UI pada tahun 1964.
Berbagai kebijakan ekonomi Widjojo, kata Boediono, lahir dari sejarah dan pengalaman Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Widjojo memiliki pandangan yang tidak berbeda jauh dari para pendiri Indonesia, yakni mempertemukan tujuan keadilan dengan kemakmuran dan pemerataan dengan pertumbuhan. ”Cita-cita itu tumbuh dari dalam. Bukan dicangkok dari luar,” ujar Boediono. (day/ham/ppg)
Sumber: Kompas, Jumat, 15 Januari 2010
No comments:
Post a Comment