Sunday, January 24, 2010

Sastra dan Nilai Eksistensial

-- Muhammad Ali Fakih*

SESUNGGUHNYA ada banyak hal dalam dunia kesusastraan yang belum banyak disentuh oleh para pengamat. Dunia kesusastraan sebagai basis primordial masyarakat menyimpan setumpuk keunikan yang sangat menggelitik untuk terus digeledah.

Selain dimensi literernya,ada juga sesuatu yang lain yang tidak kalah menariknya untuk diperhatikan dan dibaca, yakni mengenai sosok sastrawan sebagai manusia dan pengarang. Anggapan umum bahwa sastrawan sering berkelakuan unik mungkin adalah hal yang wajar. Namun demikian, hal yang tidak wajar adalah pengabaian kita pada sebuah upaya mencari hal yang substansial dari dimensi keunikan sifat dan sikap para sastrawan tersebut.

Karena, jika diperhatikan dan dikaji secara seksama,dimensi sifat dan sikap rata-rata sastrawan yang demikian menyimpan banyak pelajaran yang sangat penting. Tulisan ini bermaksud untuk tidak hanya memaklumi keunikan dimensi sifat dan sikap sastrawan, tetapi secara sepintas menguak kode-kode tertentu segala sesuatu yang menyertainya. Untuk itu, kita senantiasa patut melihat secara mendalam relasi antara efek suatu bidang tertentu dengan pembentukan karakter hidup seseorang. Sastra, sesuatu yang berhubungan dengan imajinasi dan intuisi, bukanlah suatu bidang yang dengan mudah dimasuki oleh semua orang.

Sastra sangat eksklusif untuk sosok-sosok yang hanya mampu menggunakan perangkat daya pikir.Ihwal ini merupakan sesuatu yang lebih dari sastra,bahwa ia bukanlah suatu “objek”dari eksperimentasi pemikiran, tetapi lebih merupakan eksperimentalisasi imajinasi dan intuisi.Karenanya, tidak salah jika dikatakan bahwa kematangan imajinasi dan intuisi seorang sastrawan akan memberikan “daya hentak” pada setiap karya-karyanya. Efek logis daripada orangorang yang lebih mengasah imajinasi dan intuisinya ketimbang pikirannya, salah satu bentuknya, ialah suatu sikap dan sifat di “luar kewajaran”umum.Hal inilah yang membuat sifat dan sikap seorang sastrawan cenderung terlihat aneh dan tidak wajar.

Oleh karena itu, dapat ditengarai bahwa imajinasi dan intuisi cenderung bersifat anomali terhadap kelinieran kehidupan, karena sistem-sistem kehidupan linier lebih banyak didominasi oleh produk-produk pikiran. Sementara itu, mengenai pola relasi antara karya dan pembentukan karakter seorang sastrawan adalah tergantung pada tema apa ia mengosentrasikan dirinya. Ada sastrawan yang cenderung “mabuk Tuhan” lantaran ia mengonsentrasikan diri pada tema-tema religi dan teologi untuk setiap karyakaryanya. Ada pula yang cenderung berbuat bebas seturut-kemauannya sendiri, lantaran ia sedang berkonsentrasi menggarap karyanya dalam tema-tema liberalitas.

Hal ini tentu sangat menarik untuk lebih dalam dimaknai.Pengasahan intuisi dan pengarahan imajinasi terhadap tema-tema tertentu rupanya dapat membuat kepribadian seorang sastrawan menjadi berbeda-beda. Coba kita lihat cerpen-cerpen atau puisipuisi yang cenderung mengekspresikan kekelaman, kesedihan atau kesepian,dapat dipastikan perasaan dan jiwa pengarangnya cenderung melankolis. Karena, karya sastra adalah eksperimen ke dirian pengarangnya. Psikologi tulisan merupakan pengejawantahan psikologi pengarangnya.

Sastrawan yang berhasil bukanlah seorang yang pintar “berada di balik tilam”, tetapi seseorang yang jujur terhadap perasaan dan imajinasinya sendiri.Dapat dibuktikan, karya sastra yang dihasilkan oleh seorang sastrawan yang tidak melandasinya pada daya perasaan dan imajinasinya yang azali, secara literer, ia tidak akan sekuat dan seindah karyakaryanya yang lain yang senantiasa lahir atas landasan eksistensialitasnya. Betapapun kuatnya kemampuan literer seorang sastrawan, ketika ia mengeluarkan karya yang “palsu” dan “tidak jujur”, karyanya tidak akan pernah diakui sebagai karya primordialitasnya.

Seluruh karya sastra kanon lahir dari pengalaman eksperimental pengarangnya. Selain itu, untuk menguak nilai-nilai yang di konstruksi oleh karya sastra dapat dilihat dari perannya terhadap kesadaran manusia secara umum.Seorang pembaca karya sastra tentunya adalah orang-orang yang “haus”,baik haus dalam dimensi nilai-nilai lingual maupun dalam dimensi nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, senantiasa juga membentuk karakter dan kepribadiannya. Karenanya, peran sastra dalam kehidupan tidak hanya menjadi perangkat konstruksi ke dirian sastrawan sebagai pengarang semata, tetapi juga terhadap para pembaca setianya.

Tidak salah jika sastra dianggap sebagai ilmu kemanusiaan yang daya jelajah dan daya ubahnya sangat besar dalam kehidupan manusia. Selain sumber-sumber nilai seperti halnya teologi dan sistem hukum, sastra juga turut menjadi sumber nilai lain pembentukan ke dirian manusia.Tidak heran bila ada orang yang kemudian menjadi ateis setelah menyelami ceruk-ceruk dalam Zarathustra oleh Nietzsche atau seseorang kemudian menjadi tertarik mendalami dunia kesufian setelah membaca Matsnawi karya Rumi. Sastra dalam hal ini, adalah perangkat nilai yang daya sensitivitasnya amat tinggi terhadap kehidupan manusia.

Tidak seperti sistem hukum atau doktrin agama, sastra lebih bersifat eksistensial ksperimental. Karena nilai-nilai yang dimuatnya sangat dekat dengan latar belakang masyarakat di mana sastra itu lahir. Sastra amat mudah diterima oleh semua kalangan karena sifat universalitas dan sensitivitasnya ketimbang sistem-sistem lain.(*)

* Muhammad Ali Fakih, Esais, bergiat di Komunitas Kutub Yogyakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 24 Januari 2010

No comments: