-- Damhuri Muhammad*
ADALAH lumrah bila sejumlah aktor di sebuah kelompok teater tekun berlatih dan sibuk mematangkan kesiapan artistik sebelum pertunjukan digelar. Namun, belakangan ini, di kelompok teater mana pun di negeri ini, kerja keras para seniman panggung bukan saja dalam rangka pencapaian estetik, tetapi juga dibuat repot oleh sukarnya meyakinkan sponsor agar berkenan mendukung pagelaran mereka.
Tak hanya para pemain, sutradara pun turun tangan dalam urusan nonartistik. Kerja dalam segi-segi nonartistik hampir sama kerasnya dengan pergelutan kreatif guna mendedahkan pertunjukan bermutu. Akibatnya, konsentrasi pecah. Di satu sisi hendak membulatkan pencapaian estetik, pada sisi lain peristiwa kesenian terancam gagal bila sponsor batal memberikan dukungan. Lantas, bagaimana seniman bisa leluasa berkarya bila terus direcoki urusan-urusan nonartistik?
Lain teater, lain pula sastra. Proses kreatif dalam melahirkan sebuah novel, misalnya, tersendat-sendat lantaran minimnya biaya riset dan pengumpulan data. Kalaupun akhirnya novel itu selesai, pengarang sendiri yang mengupayakannya. Persoalan selanjutnya adalah berhadapan dengan penerbit yang makin alergi dengan naskah- naskah dari negeri sendiri. Penerbit-penerbit komersial, akhir-akhir ini, lebih gandrung mengimpor novel dari luar ketimbang menerbitkan novel karya pengarang negeri sendiri.
Rasio antara novel terjemahan dan novel lokal saat ini begitu jomplang; 10:1. Artinya, penerbit-penerbit yang peduli pada buku sastra, mencetak 10 novel asing dan hanya 1 novel lokal. Konon, sekadar memperlihatkan penghargaan terhadap sastra Indonesia, meski bila ditimbang dengan analisis pasar, dipastikan tak bakal balik-modal. Maka, bisa dihitung berapa banyak naskah karya pengarang negeri sendiri yang tergeletak di laci selama bertahun-tahun.
Lalu, bagaimana iklim kekaryaan akan tumbuh bila apresiasinya separuh hati?
Eksploitasi pengarang
Kalaupun ada satu-dua naskah yang dinyatakan layak-buku, pengarang harus bersenang hati menerima royalti senilai 10 persen dari harga jual, dibayar secara berkala, per tiga bulan sekali. Tak ada posisi tawar bagi pengarang guna menaikkan royalti menjadi 15 -20 persen, misalnya.
Setelah dihitung-hitung, ternyata pihak yang paling banyak menangguk keuntungan dari bisnis ini adalah toko buku yang tidak segan-segan menuntut rabat 45-50 persen kepada distributor. Urutan kedua dipegang distributor, lalu penerbit, dan paling kecil adalah pengarang, kreator yang menyebabkan semua transaksi terjadi.
Masih beruntung bila naskah itu jatuh ke penerbit mayor label yang manajemen keuangannya sudah tertata. Tapi, bila jatuh ke penerbit kecil, ceritanya lain. Laporan penjualan yang seharusnya per tiga bulan sekali bisa dirapel menjadi enam bulan sekali dan lebih parah lagi, data penjualan kerap dimanipulasi guna mengurangi nilai pembayaran kepada pengarang. Lalu, ke mana perlakuan-perlakuan yang tidak memartabatkan pelaku seni seperti ini dapat diadukan?
Seni pembangun watak
Seni, apa pun bentuknya, adalah medium ekspresi yang secara estetik membangun watak dan karakter Indonesia dalam setiap wujudnya. Tak jarang, ”manusia Indonesia”—identitas, mentalitas, dan harga dirinya—ditemukan bukan dari mata pelajaran Budi Pekerti di sekolah, bukan pula dari Wawasan Nusantara sebagai mata kuliah wajib di berbagai perguruan tinggi, melainkan dari sebuah lakon yang dipentaskan oleh Teater Bengkel, Koma, atau Gandrik.
”Kepribadian Indonesia” juga ditemukan pada roman-roman karya Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayyam, Mochtar Lubis, atau dalam sajak-sajak Chairil Anwar, WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, dan sederet nama sastrawan yang dimiliki negeri ini. Intinya, kesenian (dari semua lini) yang berakar di tanah Indonesia telah menegakkan ”kesadaran Indonesia” sebagai rumah estetiknya.
Maka, selayaknya negara berperan dalam menumbuhkan kesadaran estetik guna menghargai produk-produk seni yang lahir di negeri ini. Bukan dalam wilayah artistik, sebagaimana tampak pada pemberlakuan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sejauh ini belum memiliki kebijakan yang khusus guna memberikan dukungan maksimal bagi terselenggaranya peristiwa-peristiwa kesenian.
Negara semestinya berinisiatif membangun wadah guna mengurus hal-hal nonartistik di ranah seni, yang memberikan selapang-lapangnya ruang bagi tumbuhnya iklim kekaryaan. Dapat pula melindungi hak-hak para seniman dengan kebijakan-kebijakan menyangkut standardisasi royalti dan sanksi bagi pembajakan hak cipta yang hingga saat ini belum teratasi. Lembaga itu diharapkan dapat menjadi tempat mengadu bagi segenap pekerja seni, khususnya segi-segi nonartistik, agar seni tidak lagi menjadi anak tiri di negeri ini....
* Damhuri Muhammad, Pekerja Seni; Bermukim di Pinggiran Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Januari 2010
No comments:
Post a Comment