Sunday, January 17, 2010

“Abad Bapak Saya” Geert Mak: Saya Menulis, Bukan sebagai Raja atau Presiden

-- Sihar Ramses Simatupang

Jakarta - Tulisan Geert Mak dalam bukunya Abad Bapak Saya (dalam bahasa Inggris The Century of My Father dan dalam bahasa Belanda: De Eeuw van Mijn Vader) itu adalah buku sejarah yang dikisahkan dengan nuansa humanis juga dari sudut pandang keluarga.

Seorang hadirin yang mengaku dosen dari Universitas Indonesia (UI) melontarkan bahwa sejarah yang ditulis Max Havelaar begitu bagus mengisahkan penderitaan pribumi Nusantara di negerinya sendiri. Kendati demikian, Mak mengatakan bahwa buku ini sama sekali bukan merupakan respons dari uraian Max Havelaar.

Mak berharap, buku ini setidaknya dapat menambah pengetahuan di kalangan orang muda tentang sejarah pada masa lalu, baik di Eropa maupun di Hindia Belanda. “Saya harap buku ini dapat membuka wawasan mereka, khususnya generasi yang tak pernah hidup pada masa itu,” paparnya.

Menurut sejarawan Taufik Abdullah, yang menarik dari karya Mak adalah bagaimana dia mengisahkan seputar keluarganya dengan cara naratif. Struktur sejarah ini unik karena di tengah keluarga, bagaimana manusia berjalan, sejarah keluarga kakek dari kedua pihak ikut dalam arus sejarah generasi yang melingkupinya.

Menurut Taufik, Mak juga mengisahkan soal perbedaan di kalangan Protestan. Di kalangan gereja, Belanda merupakan bagian dari Eropa dan juga Perang Dunia I. “Perjalanan keluarga ini ke Hindia Belanda juga menarik. Jadi potret apa yang terjadi di Sumatera Utara, bagaimana kondisi di perkebunan, bagaimana perlakuan orang kebun terhadap kuli kontrak, dan bagaimana kisah ini menjadi nyata, seperti kita melihatnya sendiri,” ujarnya.

Taufik juga mengemukakan, yang menarik adalah bagaimana Mak memadu antara dokumen-dokumen yang ada dengan peristiwa lisan keluarganya lewat keluarga dari pihak bapaknya—dan menambahkan dengan keluarga dari pihak ibu, surat keluarga, dan berbagai catatan lainnya.

“Kita, tiap orang di Indonesia, perlu banyak belajar rajin mengumpulkan dokumen dalam kehidupan kita,” papar Taufik.
Sejarawan Adri Lapian menambahkan bahwa yang terpenting sejarah ini ditulis oleh orang biasa, artinya bukan berasal dari lingkaran politik kekuasaan.

Narasi

“Saya bukan raja, bukan presiden, saya seorang biasa yang mengisahkan tentang keluarga saya,” ujarnya kepada SH di sela lokakarya dan ceramah bersama Geert Mak yang digelar di Erasmus Huis Jakarta, Kamis (14/1).

Pernyataan ini merupakan karakter yang kemudian menjadi kekhasan dari penuturan yang dia berikan. Namun, jangan pernah berpikir bahwa dia berimajinasi, hampir semua uraiannya selalu dikuatkan dokumen, baik tulisan di dalam koran, buku catatan keluarga, dokumen, dan bibliografi.

Mak, kemudian spontan menjawab ketika ditanya soal narasi yang dia bangun. “Tak ada satu pun di tulisan itu berupa opini, saya menghubungkannya dengan catatan yang merekam sejarah pada masa itu,” tukasnya.

Toenggoel P Siagian dari Penerbit Suara Harapan Bangsa, yang menerjemahkan (oleh Pericles Katoppo, Theresia Slamet, dan Toenggoel P Siagian), dan menerbitkan buku ini dalam edisi Bahasa Indonesia mengatakan bahwa selain berbicara tentang sejarah, termasuk juga soal gereja, fenomena ideologi pada masa itu, Mak membubuhkan hal-hal yang humanis di dalam penjabaran sejarah–termasuk juga pernik cinta.

Buku ini menarik karena Geert Mak membicarakan sejarah keluarganya sebagaimana ia dilanda oleh kejadian besar dunia dan sebagaimana mereka mencoba menyesuaikan diri dan bertahan dalam pergolakan dunia.

Kembali pada bukunya, Mak, kalau dilihat lebih detail pada bukunya, sebenarnya memperlihatkan sikap yang lugas dan faktual, terutama untuk berkisah tentang masa lalu di Nusantara. Di salah satu halaman buku itu, dia mengisahkan tentang seorang gadis berusia 15-16 tahun yang disiksa seorang Eropa yang menguasai Nusantara karena gadis itu tetap mencintai pemuda pribumi. n

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 16 Januari 2010

No comments: