Sunday, January 24, 2010

Satire Cicak Lawan Buaya

PADA mulanya,kita semua adalah makhluk bersisik berkaki empat.Seperti itulah narasi pertunjukkan Republik Reptil yang digelar Teater Kosong pimpinan Radhar Panca Dahana. Sebuah drama parodi kasus cicak lawan buaya yang dikemas serius ala binatang melata.Panggung masih gelap gulita. Tak lama kemudian, perlahan pendar cahaya pun muncul.Pada saat terang, pemandangan pertama yang nampak adalah sebuah kerangkeng mirip penjara dengan batas tembok.

REPUBLIK REPTIL. Seorang seniman melakukan teatrikal pada pementasan teater berjudul Republik Reptil di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, kemarin.


Di sisinya bertengger sebuah meja dan kursi.Di dalam penjara yang gelap, seseorang berekor cokelat yang tak lain Cicak A (Harry Krama Yadi) sosok pencincang koruptor sedang berdiri.Tampak ia termenung dengan gurat-gurat wajah seperti sedang memikirkan sesuatu. Bibirnya bergerak dan sedang berbicara sendirian. “Di penjara gelap semacam ini, tinggal hati yang jadi penerangnya. Tapi di luar,di balik terali hitam ini, hati mati oleh ambisi, dan cahaya tinggal efek listrik yang lemah daya dan rusak gardunya,”gumam Cicak A,seolahbicarapadadirinya sendiri. Tak berapa lama, terdengarlah suara dari balik rerimbunan.

Cicak A terkejut. Kepalanya mencaricari sumber suara.Ia berusaha mengenal siapa pemilik suara itu. Hingga kemudian muncullah seekor Iguana (Olivia Zalianty) sosok penggoda, pelicin, negosiator dalam drama kehidupan. Iguana yang bersisik licin, berwarna hijau dengan ekor menjuntai menghampiri Cicak A yang terkurung dalam terali besi. Keduanya terlihat sedang beradu rayu, sekedar melepaskan rindu palsu mereka. “Sudah kuduga itu kamu Iguana,”kata Cicak A memastikan. “Sudah kuduga juga, Bapak mengenaliku. Bapak tahu benar lekuk tubuhku, bahkan mungkin harum kulitku,” balas Iguana tak mau kalah. Lalu percakapan tentang rayuan dari Iguana dan Cicak A pun terdengar bersahut-sahutan.

Parodi Republik Reptil yang ditulis dan disutradarai Radhar Panca Dahana itu menjadi awal yang manis dalam pertunjukan yang digelar di Graha Bhakti Taman Ismail Marzuki (TIM),Selasa hingga Rabu lalu. Teater Kosong memainkan satire konflik hukum Cicak melawan Buaya yang ramai di berbagai pemberitaan di Tanah Air dengan gamblang. Teater Kosong bahkan memindahkan kasus itu di Republik Reptilyang diisi oleh puluhan jenis binatang melata yang bersisik dan merayap.Jenis reptil ini memangsa siapa dan apa saja untuk mengisi perut. “Teater memang tak sekadar hiburan semata.

Tapi bisa menjadi pengingat dan menyuarakan kepentingan rakyat,”tegas sutradara Republik Reptil Radhar Panca Dahana. Republik Reptil yang pada hari pertama dipenuhi penonton ini menceritakan tentang negeri para reptil di negeri Dwipantara.Dalam negeri berbentuk republik itu,ordo reptil ternyata mengusai hampir seluruh posisi penting. Sub-sub ordo dan berbagai variannya duduk hampir di semua posisi elite. Merekalah elite yang paling berkuasa dalam menentukan berbagai kebijakan dan peraturan di republik itu. Cerita dimulai dari kegelisahan rakyat republik reptil perihal banyaknya kasus korupsi yang merajai seluruh sendi-sendi kehidupan di republik itu.

Cicak yang menjadi pemberantas korupsi berhasil menuntaskan kasus-kasus korupsi. Sayangnya, akibat sebuah skandal yang dilakukan oleh Anaconda yang digambarkan sebagai seorang pengusaha luar negeri, membuat situasi menjadi teramat rumit. Cicak harus berurusan dengan Buaya sebagai sosok petugas penegak hukum.Tak hanya itu saja, kasus makin rumit karena kasus ini merembet dengan adanya Bulus yang menjadi makelar kasus,Kura- Kura sebagai penuntut hukum, Bunglon sang hakim dan Kadal sang Pengacara. Dalam republik reptil yang dipimpin oleh Komodo,dan menterimenterinya para Biawak, kasus ini menjadi rumit dan berputar-putar.

Hingga kemudian Komodo memutuskan untuk membuat tim Tokek Penipu Fakta (TPF).Komodo menciptakan tokoh Naga. Reptil yang tidak ada,namun dipercaya orang ada. Bahkan dianggap sakti, tapi tentu saja tidak sakti karena kesaktiannya hanya mitos. Seperti drama yang terjadi di kehidupan nyata, Republik Reptil pun memiliki DPR. Anggotanya ular. Karena itu, DPR mereka namakan Dewan Perularan Rakyat. Sidang para reptil ini dibuat untuk mengorek keterangan dari berbagai pihak. Bulus, Buaya, Cicak, maupun Kura-Kura.

Drama delapan babak tersebut memang tidak banyak banyolan yang menguras perut penonton. Dialog yang terlontar dari reptilreptil ini bahkan terkesan serius. Seluruh pemain mampu bermain dengan baik yang membuktikan jam terbang mereka dalam dunia teater benar-benar sudah teruji. Tata panggung pun mereka kelola dengan sangat baik. Lihat saja,pada bagian akhir,kala Iguana berteriak melengking lalu mati, tiba-tiba ornamen panggung yang berupa tembok-tembok runtuh. Teater Kosong,sekali lagi,telah menunjukkan kelasnya dalam menggarap sebuah lakon. Bayangan T-rex yang mereka gambarkan sebagai kapitalis asing juga nampak berupa bayangan lewat proyektor yang terpantul.

Lalu muncul dalam bentuk boneka besar yang melayang menembus tembok yang runtuh. Lakon satire Republik Reptil memberikan kritik sosial yang tajam. Lakon karya Radhar ini mengingatkan kita bahwa negeri ini akan hancur bila para koruptor terus menguasai berbagai sendi kehidupan. (sofian dwi)

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 24 Januari 2010

No comments: