-- H. Usep Romli H.M.*
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terkenal sebagai kiai humoris. Di mana-mana ia menebar humor. Saat mengobrol santai, mengisi acara diskusi atau seminar serius, selalu saja menyelipkan humor-humor yang membuat semua pendengar tertawa, atau minimal senyum simpul. Bahkan ketika menjadi presiden (1999-2001), Gus Dur tak pernah melupakan humor untuk mencairkan pidato-pidato resminya agar tidak kaku dan membosankan.
Sebagai orang pesantren, yang pernah mengembara mencari ilmu ke Mesir dan Irak, Gus Dur pasti memiliki perbendaharaan humor bergudang-gudang. Bagi orang yang menguasai bahasa Arab, berikut segala perangkat keilmuannya, seperti mahraj (phonetic), nahwu (syntaxis), sharaf (morfologi), dan balaghah (stylistic) tidak sulit menelusuri khazanah literatur Arab, termasuk literatur humor yang tampaknya menjadi keahlian para penulis Arab untuk mengumpulkannya. Tradisi kepenulisan di kalangan bangsa Arab memang sudah mendarah daging. Hampir setiap peristiwa besar, silsilah, sejarah, nama, dan reputasi seseorang selalu dicatat baik-baik, dikembangkan dari generasi ke generasi. Umpamanya, peristiwa perang antara kabilah-kabilah Arab jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw., dapat terwariskan hingga kini melalui buku "Ayyamul Arab" (Hari-Hari Arab).
Begitu pula dengan folklore, berbentuk puisi, nyanyian, anekdot, dan sebagainya, sebagian besar sudah terdokumentasikan. Beberapa di antaranya diadaptasi terus-menerus sesuai dengan keadaan zaman. Diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan.
Gus Dur merupakan salah seorang yang pandai mengaktualisasikan karya-karya itu menjadi humor spontan yang lucu dan menarik perhatian. Walaupun koleksi buku (kitab) di pesantren-pesantren sebagian besar berupa ilmu fikih (hukum), tafsir Quran, hadis, akidah, akhlak, dan tata bahasa (Arab), tetapi ada juga buku/kitab di luar itu, terutama buku-buku kumpulan humor tadi yang berguna untuk mengasah kecerdasan, mempertajam pemahaman, dan melatih sikap kritis.
Gus Dur sendiri, ketika memberi pengantar buku humor Mati Ketawa Cara Rusia (1986), menyatakan, "Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk mentertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dan kearifan sebuah masyarakat. Mengapakah kemampuan mentertawakan diri sendiri menjadi demikian menentukan? Karena orang harus mengenal diri sendiri sebelum mampu melihat yang aneh-aneh dari perilaku diri sendiri itu," (hal.XI).
Dari penelusuran melalui berbagai katalog perpustakaan literatur Arab, terdapat banyak sekali buku himpunan humor atau anekdot dalam bahasa itu. Ada yang satu jilid, ada yang mencapai tiga puluhan jilid. Antara lain Akhbarul Hamqa wal Mughafalien disusun oleh Jamaluddin Abdurahman bin Ali Ibnu Jauzi (abad 6 Hijriah/12 Masehi), mengisahkan ketololan dan kedunguan orang-orang di berbagai bidang profesi (petani, pedagang, hakim, jaksa, ulama, akademisi, menteri, bahkan sultan atau raja). Ugalaul Majanien susunan Abu Qasim an Naisabury, mengisahkan orang-orang yang dianggap gila tetapi pendapat-pendapatnya mengandung kebenaran melebihi orang waras. Al Bukhala susunan Jahidz, mengisahkan perilaku orang-orang kikir yang menyebalkan sekaligus menggelikan.
Banyak lagi buku himpunan humor dengan beragam tema. Seperti Jami’ul Jawahir susunan Syekh Abu Ishaq Qairawani, Al Kasykul Bahauddin Amili, Iqdul Farid Ibnu Abi Rabih al Andalusi, Uyunul Akhbar Ibnu Qutaibah Dinwari, Nihayatul Arab Syihabudin Nuwairi, Al Aghani Abu Faraj an Nisaburi, dan lain-lain. Tokoh humor yang kemudian populer pada masa kini, antara lain Nasrudin Hoja, Juha al Arabi, Abu Nawas, Asy’ab al Majnuni, Bahlul, Qarahqus, dan lain-lain, dengan berbagai modifikasi humor-humor mereka.
Pantaslah Gus Dur tak pernah kehabisan cadangan humor. Bacaan di pesantren, ditambah aneka macam referensi yang ditemukan di Timur Tengah telah memperkaya wawasan pengetahuan dan penguasaan materi humor yang terus-menerus diperbaharui dalam berbagai versi pengungkapan dan penceritaan kembali.
Seandainya Gus Dur bukan orang pesantren, dan tidak pernah mengembara di negara-negara Arab sehingga benar-benar mengenal tradisi kebahasaan dan kesastraan dengan penutur dan penuturan asli pemilik bahasa (native speaker, ummul lughah), mungkin humor-humornya akan kering dan penuh pengulangan-pengulangan yang membosankan.
Sayang, ia keburu wafat (30 Desember 2009), sebelum sempat mencetak kader tukang humor yang punya gaya bicara menarik dan punya bahan-bahan melimpah. Sehingga jaringan lintas kultural pesantren-literatur Arab-dan penyampainya kemungkinan akan terputus.***
* H. Usep Romli H.M., peminat literatur Arab, tinggal di perdesaan Cibiuk, Kab. Garut.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 10 Januari 2010
No comments:
Post a Comment