-- Ardus M Sawega
JADI seniman jangan cuma jadi tontonan/Kalau bisa jadi tuntunan/Jadi pejabat, jadilah pejabat/Jangan cuma menghabiskan uang rakyat/Kalau bisa semua diangkat/Jangan sampai rakyat ini melarat.
Fatimah, seniman ketoprak dari Surabaya mementaskan lakon "Sri Tanjung" dalam Gelar Monolog di Teater Arena, Taman Budaya, Jawa Tengah, Rabu (27/1) malam. Gelar Monolog selama dua hari ini menampilkan seniman ketoprak, ludruk, dan Srimulat dari Surabaya (Jawa Timur), Purbalingga, dan Purworejo (Jawa Tengah). (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Tembang jula-juli yang menjadi ciri khas pertunjukan ludruk mewarnai repertoar ”Mak Satona” yang dibawakan Suliswanto. Monolog bergaya ludrukan—dengan media bahasa Jawa—terasa menyegarkan sekaligus menunjukkan kekuatan teater tradisional dalam menyampaikan suatu pesan.
Pentas ini sekaligus menutup Gelar Monolog di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 27-28 Januari 2010, yang menyajikan pusparagam gaya monolog dari sejumlah daerah. Para pemain monolog yang tampil antara lain Suroto S Toto (Purworejo), Thomas Haryanto Soekiran (Purbalingga), serta Fatimah, Mastohir, Multato, dan Suliswanto dari Jawa Timur.
Dari mulut Suliswanto (56), ”Mak Satona” meluncur sebagai tuturan tentang tragedi yang dialami perempuan tua bernama Mak Satona. Ia janda pemain ludruk yang kemudian jadi dukun, lalu meninggal dalam kesepian. Tetapi, dalam gaya ludrukan yang penuh guyon, tuturan kisah yang melodramatik pun menjadi sarana memancing tawa.
Improvisasi Suliswanto dalam monolog yang berdurasi 35 menit, hanya dengan iringan gender, siter, dan kendang, mampu menebarkan daya pikatnya. Ini mengingatkan kita pada Cak Durasim atau Cak Markeso, seniman jalanan yang pernah melegenda di masyarakat Surabaya. Keduanya menjadi ikon seni tutur yang merefleksikan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat setempat di masa lalu, tetapi sekarang tampaknya hanya tinggal bayang-bayang tipis.
Bayangan itu diungkapkan Suliswanto dalam intro pertunjukan, yang menyebut tentang sandyakala kesenian ludruk, sambil menyebut kesalahan pejabat serta masyarakat yang tak mau lagi nanggap ludruk. Namun, usai pentas, ia menyebutkan sebuah grup di Mojokerto sampai sekarang masih naik panggung 185 kali dalam setahun.
Seni rakyat
Tiga penampil dalam parade monolog ini sama-sama mengeluh tentang ”kekalahan” yang dialami seni pertunjukan rakyat di Jawa Timur. Fatimah (60), dalam intro lakon ”Sri Tanjung” mengudarasa (mengungkapkan perasaan) tentang nasib ketoprak—tempat dia selama 30 tahunan menjalani profesi—yang kini mengalami antiklimaks. Sementara Mastohir (64), yang pada 1966-2000 bergabung dalam Aneka Ria Srimulat, menjadi saksi kejayaan sekaligus ambruknya kelompok humor yang melahirkan banyak pelawak nasional ini.
Kalau Fatimah menampilkan ”Sri Tanjung” dengan gaya ketoprak konvensional, Mastohir lewat ”Jokasmo” mengangkat naskah karya Anton Chekov, ”Nyanyian Angsa,” yang modern. Begitu pun, pendekatan Mastohir lebih pada ”gaya Srimulat”.
Lakon ini mengisahkan tentang seorang pemain gaek sebuah grup sandiwara, yang dianalogikan sebagai perjalanan kelompok Srimulat. Mastohir, yang di panggung Srimulat dikenal sebagai pemeran Drakula, menirukan tingkah polah beberapa pemain Srimulat yang pernah terkenal di panggung nasional.
Sementara Multato (62), lewat ”Maling”, memilih pada pendekatan teks. Repertoar karya Julius Syiramanual ini mengisahkan riwayat seorang mantan maling. Pemeran maling mengibaratkan hidup sekarang juga penuh oleh ”maling”. Multato tampil dengan akting ”realis” yang terjaga, setting dekor, denting gitar, dan alunan vokal ”Love Story” yang romantis.
Gelar Monolog ini menyadarkan kita tentang keberadaan teater, terutama yang mengandalkan pada kekuatan akting. Monolog adalah media yang mewadahi kesetiaan sekaligus pertaruhan pemain pada akting, karena di dalamnya ia menjadi titik pusat pertunjukan. Suroto S Toto dalam ”Suami” memperlihatkan ketidakmatangan, baik naskah maupun aktingnya. Sementara Thomas Haryanto Soekiran tampil kelewat bersemangat dalam ”Semar”, dan aktingnya mengingatkan kita pada gaya Rendra.
Monolog niscaya juga menjadi saksi zaman. Suliswanto di ujung repertoarnya menggugat ketidakadilan yang menimpa kesenian ludruk. Kehancuran ludruk, kata dia, ketika kepadanya dicapkan stigma ”PKI”. Sementara, Mastohir secara arif melihat masyarakat telah berubah. Zaman modern menawarkan lebih banyak pilihan hiburan sehingga masyarakat tak bisa ”digiring” harus datang ke THR Surabaya untuk menonton Srimulat.
”Saya menyaksikan satu per satu pertunjukan tradisional—Srimulat, wayang, ludruk—di THR rontok. Hanya tinggal saya sendirian, jadi mbaureksa (penjaga) di sana,” kata Mastohir yang kini memilih bergiat dalam pertunjukan teater modern.
Sumber: Kompas, Minggu, 31 Januari 2010
No comments:
Post a Comment