-- Radhar Panca Dahana
BILA kita memahami pers dalam pengertian tradisional, yang dipadati oleh cita-cita dan dipepati oleh idealisme dan nilai-nilai luhur, tentu saja akan mengalami kesulitan untuk menemukannya masa kini. Ini sebuah kenyataan yang, mau tidak mau, malu tidak malu, harus kita pahami dan terima. Pemeo baru yang berlaku menegaskan 'pers idealis bukan zamannya lagi' menjadi afirmasi dan semacam justifikasi untuk memosisikan dan memanfaatkan. Bahkan jika perlu memanipulasi—pers untuk kepentingan satu sektor atau satu kepentingan saja, katakanlah kepentingan profit atau politik saja.
Apakah pers yang sesungguhnya telah mati atau tengah sekarat menuju kuburan? Jawabannya, tentu saja beragam. Betapapun kondisi objektif sudah memberikan fakta-fakta yang menyetujuinya. Belum lagi fakta yang muncul dari realitas mediatik, komunikasi, dan teknologi yang menyertainya, yang ternyata bulat-bulat telah sukses besar menggantikan atau menindih fungsi dan peran pers yang secara tradisional sudah ratusan tahun coba ia perhitungkan.
Bahkan media-media massa/sosial baru, dengan berbagai macam fiturnya, ternyata tidak hanya mengganti, tapi juga menambah atau melengkapi dengan cara luar biasa fitur-fitur yang dimiliki pers idealis-tradisional di atas. Media massa kini bukan lagi sebuah forum searah antara redaksi dan pembaca. Ia menjadi forum dua arah di mana semua pihak yang terlibat dalam media itu bisa berdialog secara terbuka dan bebas.
Sebenarnya dalam posisi itu, media massa kembali pada posisi idealistiknya sebagai 'pengabar yang netral'. Yang belum dikontaminasi oleh kepentingan sempit. Media massa, sebagaimana media-media baru, tinggal hanya sebagai administratur dari persoalan publik, penyedia fasilitas mediatik dengan beragam fiturnya. Tentu saja media massa semacam ini akan jauh lebih menarik, menantang dan merangsang, khususnya bagi kaum muda yang umumnya dinamis, progresif, terbuka dan egaliter. Generasi ini mungkin bosan atau merasa lucu bila harus mengikuti media-media massa tradisional, yang kita pahami sebagai pera itu, yang bicara seolah dia adalah otoritas atau pemegang kebenaran.
Kesenjangan Zaman
Ada lack atau kesenjangan yang tercipta antara media massa dan pembacanya masa kini. Kesenjangan tidak hanya dalam tingkat praktis-pragmatis, tapi juga paradigmatis hingga filosofis. Saya kira, dengan logika ini, akan wajar bila ada sebuah penelitian yang mengabarkan bagaimana anak muda atau rumah tangga muda cenderung tidak berlangganan media massa tradisional yang kita pahami sebelum ini.
Maka, bila sebuah lembaga sosial-kultural sudah kehilangan fungsi, peran, posisi atau hakikat yang selama ini membuatnya ada, saya kira secara eksistensialia sudah mati, atau setidaknya ia menghadapi kematian, atau setidaknya ia menganggap dirinya hidup tapi sesungguhnya mati; zombi.
Tapi kenyataannya, koran, majalah, jurnal, surat berita, dan sebagainya masih diterbitkan. Pers masih menjadi lembaga yang dihormati. Hari Pers masih diselebrasi. Masih cukup banyak wartawan dan pemilik uang yang mau 'mengorbankan' harta dan profesionalitasnya untuk menerbitkan media massa baru. Walaupun media itu segera mati, mereka masih ngeyel untuk bertahan, bahkan menerbitkan kembali media-media massa baru. Bukan hanya di negeri ini, melainkan juga di belahan dunia lainnya. Walaupun, saya kira, lebih setengah dari itu sudah ditikam dewa maut, sengaja melakukan seppuku atau sebagian mentransformasi diri menjadi media dalam bentuknya yang terbaru.
Matinya Pers Ideologis
Mungkin saya dianggap pesimistis bila mengatakan dunia masih dipertahankan oleh ide-ide dari sebagian kecil para pejuang dan pemikirnya. Atau: bila dunia masih belum rusak luar dalam saat ini, karena masih ada-ada minoritas kecil yang tetap idealistis. Tentu saja saya tak mampu menggolongkan diri sebagai pesimistis apalagi bersikap sinis.
Realitas mutakhir tampaknya tidak memiliki maksud jahat untuk membunuh idealisme dan mendepankan pragmatisme. Sains dan teknologi, yang menjadi inti dari peradaban mutakhir ini, hanya menyediakan semacam alat, arsenal, perangkat lunak dan keras, untuk kita bisa mengolah kehidupan dengan cara 'lebih baik' daripada sebelumnya.
Tentu saja, kita bisa berdebat tentang terma dalam tanda petik di atas. Namun bagi pers di mana pun, realitas itu telah menjadi hakim yang keputusannya final. Pers yang mempertahankan ideologi-–dalam pengertian idealisme--lama harus menerima kenyataan ia akan (segera) menjadi zombi. Lembaga-lembaga pers ber-'ideologi' kuat seperti Kompas, Tempo, Analisa, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, dan lain-lain, juga banyak nama besar di luar negeri seperti The Guardian, Liberation, hingga Time atau New York Times, mungkin sudah mengintip tempat mereka di San Diego Hills, Kalibata, atau tempat-tempat beristirahat terhormat lainnya.
Artinya, bila semua lembaga itu enggan atau tidak mampu mengakselerasi diri dengan realitas dan generasi mutakhir di atas, Hari Pers tidak perlu diselenggarakan lagi kecuali untuk seremoni dan romantisme. Perubahan menyeluruh, hingga ke tingkat paradigmatik dan filosofis di atas, harus dilakukan untuk memberi acuan bagi aksi praksis pragmatisnya. Dunia baru tidak dapat ditolak lagi sebagai semacam 'keharusan zaman' karena pers bukanlah lembaga eksklusif yang punya kecenderungan memencilkan diri.
Sebagai contoh, pers yang dahulu lebih dikendalikan oleh ide-ide para redaktur utamanya, kini harus takluk pada pertimbangan bisnis. Pola hubungan di antara keduanya harus ditimbang kembali. Secara nasional mestinya ada rembuk dan mufakat bagaimana idealisme sebuah media massa masih bisa dipertahankan dalam komprominya dengan kepentingan bisnis yang juga harus utama.
Contoh lain, kita tampaknya harus mulai menerima, katakanlah satu contoh kecil, penggunaan kertas akan menjadi perilaku masa lalu yang bodoh pada masa kini. Di segala sisinya. Begitu pun praanggapan yang kemudian seperti menjadi adagium, pers adalah kebenaran dan otoritas, sebaiknya ditanggalkan. Kedua hal utama itu-–di masa lalu—-kini sudah ke seluruh elemen sosial, bahkan hingga ke tingkat personal.
Kelahiran Kembali
Pers ideologis boleh jadi mati. Tapi pers dan ideologi akan terus hidup bila ia tak membiarkan dirinya menjadi mayat pucat dan pasi. Pers tak terelak harus menjalani semacam renaissance, lahir kembali. Menjadi apa? Biar sudah sekitar 35 tahun saya menjadi insan pers, saya tak berani memberi rekomendasi. Biarlah selebrator di Manado yang memutuskannya. Yang saya pahami, hanya dengan lahir kembali, pers Indonesia akan tetap merasakan kehidupan dalam dirinya.
Radhar Panca Dahana, Budayawan
Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 9 Februari 2013
BILA kita memahami pers dalam pengertian tradisional, yang dipadati oleh cita-cita dan dipepati oleh idealisme dan nilai-nilai luhur, tentu saja akan mengalami kesulitan untuk menemukannya masa kini. Ini sebuah kenyataan yang, mau tidak mau, malu tidak malu, harus kita pahami dan terima. Pemeo baru yang berlaku menegaskan 'pers idealis bukan zamannya lagi' menjadi afirmasi dan semacam justifikasi untuk memosisikan dan memanfaatkan. Bahkan jika perlu memanipulasi—pers untuk kepentingan satu sektor atau satu kepentingan saja, katakanlah kepentingan profit atau politik saja.
Apakah pers yang sesungguhnya telah mati atau tengah sekarat menuju kuburan? Jawabannya, tentu saja beragam. Betapapun kondisi objektif sudah memberikan fakta-fakta yang menyetujuinya. Belum lagi fakta yang muncul dari realitas mediatik, komunikasi, dan teknologi yang menyertainya, yang ternyata bulat-bulat telah sukses besar menggantikan atau menindih fungsi dan peran pers yang secara tradisional sudah ratusan tahun coba ia perhitungkan.
Bahkan media-media massa/sosial baru, dengan berbagai macam fiturnya, ternyata tidak hanya mengganti, tapi juga menambah atau melengkapi dengan cara luar biasa fitur-fitur yang dimiliki pers idealis-tradisional di atas. Media massa kini bukan lagi sebuah forum searah antara redaksi dan pembaca. Ia menjadi forum dua arah di mana semua pihak yang terlibat dalam media itu bisa berdialog secara terbuka dan bebas.
Sebenarnya dalam posisi itu, media massa kembali pada posisi idealistiknya sebagai 'pengabar yang netral'. Yang belum dikontaminasi oleh kepentingan sempit. Media massa, sebagaimana media-media baru, tinggal hanya sebagai administratur dari persoalan publik, penyedia fasilitas mediatik dengan beragam fiturnya. Tentu saja media massa semacam ini akan jauh lebih menarik, menantang dan merangsang, khususnya bagi kaum muda yang umumnya dinamis, progresif, terbuka dan egaliter. Generasi ini mungkin bosan atau merasa lucu bila harus mengikuti media-media massa tradisional, yang kita pahami sebagai pera itu, yang bicara seolah dia adalah otoritas atau pemegang kebenaran.
Kesenjangan Zaman
Ada lack atau kesenjangan yang tercipta antara media massa dan pembacanya masa kini. Kesenjangan tidak hanya dalam tingkat praktis-pragmatis, tapi juga paradigmatis hingga filosofis. Saya kira, dengan logika ini, akan wajar bila ada sebuah penelitian yang mengabarkan bagaimana anak muda atau rumah tangga muda cenderung tidak berlangganan media massa tradisional yang kita pahami sebelum ini.
Maka, bila sebuah lembaga sosial-kultural sudah kehilangan fungsi, peran, posisi atau hakikat yang selama ini membuatnya ada, saya kira secara eksistensialia sudah mati, atau setidaknya ia menghadapi kematian, atau setidaknya ia menganggap dirinya hidup tapi sesungguhnya mati; zombi.
Tapi kenyataannya, koran, majalah, jurnal, surat berita, dan sebagainya masih diterbitkan. Pers masih menjadi lembaga yang dihormati. Hari Pers masih diselebrasi. Masih cukup banyak wartawan dan pemilik uang yang mau 'mengorbankan' harta dan profesionalitasnya untuk menerbitkan media massa baru. Walaupun media itu segera mati, mereka masih ngeyel untuk bertahan, bahkan menerbitkan kembali media-media massa baru. Bukan hanya di negeri ini, melainkan juga di belahan dunia lainnya. Walaupun, saya kira, lebih setengah dari itu sudah ditikam dewa maut, sengaja melakukan seppuku atau sebagian mentransformasi diri menjadi media dalam bentuknya yang terbaru.
Matinya Pers Ideologis
Mungkin saya dianggap pesimistis bila mengatakan dunia masih dipertahankan oleh ide-ide dari sebagian kecil para pejuang dan pemikirnya. Atau: bila dunia masih belum rusak luar dalam saat ini, karena masih ada-ada minoritas kecil yang tetap idealistis. Tentu saja saya tak mampu menggolongkan diri sebagai pesimistis apalagi bersikap sinis.
Realitas mutakhir tampaknya tidak memiliki maksud jahat untuk membunuh idealisme dan mendepankan pragmatisme. Sains dan teknologi, yang menjadi inti dari peradaban mutakhir ini, hanya menyediakan semacam alat, arsenal, perangkat lunak dan keras, untuk kita bisa mengolah kehidupan dengan cara 'lebih baik' daripada sebelumnya.
Tentu saja, kita bisa berdebat tentang terma dalam tanda petik di atas. Namun bagi pers di mana pun, realitas itu telah menjadi hakim yang keputusannya final. Pers yang mempertahankan ideologi-–dalam pengertian idealisme--lama harus menerima kenyataan ia akan (segera) menjadi zombi. Lembaga-lembaga pers ber-'ideologi' kuat seperti Kompas, Tempo, Analisa, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, dan lain-lain, juga banyak nama besar di luar negeri seperti The Guardian, Liberation, hingga Time atau New York Times, mungkin sudah mengintip tempat mereka di San Diego Hills, Kalibata, atau tempat-tempat beristirahat terhormat lainnya.
Artinya, bila semua lembaga itu enggan atau tidak mampu mengakselerasi diri dengan realitas dan generasi mutakhir di atas, Hari Pers tidak perlu diselenggarakan lagi kecuali untuk seremoni dan romantisme. Perubahan menyeluruh, hingga ke tingkat paradigmatik dan filosofis di atas, harus dilakukan untuk memberi acuan bagi aksi praksis pragmatisnya. Dunia baru tidak dapat ditolak lagi sebagai semacam 'keharusan zaman' karena pers bukanlah lembaga eksklusif yang punya kecenderungan memencilkan diri.
Sebagai contoh, pers yang dahulu lebih dikendalikan oleh ide-ide para redaktur utamanya, kini harus takluk pada pertimbangan bisnis. Pola hubungan di antara keduanya harus ditimbang kembali. Secara nasional mestinya ada rembuk dan mufakat bagaimana idealisme sebuah media massa masih bisa dipertahankan dalam komprominya dengan kepentingan bisnis yang juga harus utama.
Contoh lain, kita tampaknya harus mulai menerima, katakanlah satu contoh kecil, penggunaan kertas akan menjadi perilaku masa lalu yang bodoh pada masa kini. Di segala sisinya. Begitu pun praanggapan yang kemudian seperti menjadi adagium, pers adalah kebenaran dan otoritas, sebaiknya ditanggalkan. Kedua hal utama itu-–di masa lalu—-kini sudah ke seluruh elemen sosial, bahkan hingga ke tingkat personal.
Kelahiran Kembali
Pers ideologis boleh jadi mati. Tapi pers dan ideologi akan terus hidup bila ia tak membiarkan dirinya menjadi mayat pucat dan pasi. Pers tak terelak harus menjalani semacam renaissance, lahir kembali. Menjadi apa? Biar sudah sekitar 35 tahun saya menjadi insan pers, saya tak berani memberi rekomendasi. Biarlah selebrator di Manado yang memutuskannya. Yang saya pahami, hanya dengan lahir kembali, pers Indonesia akan tetap merasakan kehidupan dalam dirinya.
Radhar Panca Dahana, Budayawan
Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 9 Februari 2013
No comments:
Post a Comment