-- Tantri Luwarsih
SEORANG sutradara film, baru saja mendapat tawaran untuk membuah sebuah sinetron. Ceritanya sederhana, konyol dan tidak logis. Skenarionya sangat buruk dengan bahasa Indonesia yang cadel.
Tapi konon itu dijamin akan komersil. Sebelum proyek itu dilaksanakan, terjadi pergulatan di dalam dirinya sebagai berikut:
Produksi sinetron kita sedang booming di semua jaringan televisi. Sinetron baik dalam bentuk, cerita lepas, mini seri maupun serial bersambung. Dibuat oleh nama-nama beken maupun ingusan yang barusan tercium baunya.
Celakanya kalau kita suatu ketika nongkrong di layar kotak itu sambil bertanya-tanya, apa sebenarnya alasan kita untuk menonton sebuah sinetron yang sedang ditayangkan, jawabannya tidak bermutu.
Seringkali kita menonton sebuah sinetron, karena acara-acara yang sedang ditayangkan oleh pemancar televisi lain, tidak kita sukai. Misalnya acara protokoler seorang pejabat.
Atau tayangan musik dari penyanyi-penyanyi yang kita anggap masih kelas kamar mandi, tapi entah kenapa bisa nongol ke atas layar. Atau kita menonton karena ingin teman saja.
Artinya pesawat tv menyala, pemain-pemain sinetron ngoceh di situ, tapi kita tidak memperhatikannya sama sekali.
Kemudian kita coba bertanya-tanya, klau tidak ada yang memotivasi kita dalam menonton, kira-kira apa yang sudah memotivasi sinetron itu dibuat?
Kenapa sebuah sinetron diproduksi, kalau konsumen sampai tidak punya alasan untuk menontonnya? Apakah idenya terlalu berat, sehingga tidak nampak? Apakah informasinya terlalu terselubung, sehngga tidak kelihatan. Apakah nilai hiburnya tidak diuji sehingga menjadi begitu hambar. Atau karena sekedar untuk memenuhi target untuk menayangkan produk sendiri? Sebelum bisa menjawab semua pertanyaan itu, kini saya sendiri nyaris terlibat dalam pembuatan sebuah sinetron. Saya wajib bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Kenapa saya membuat sinetron? Apakah karena film sedang sepi? Walhasil, semata-mata untuk mencari nafkah yang lepas sama sekali dari urusan ekspresi? Karena latah, mumpung, mempergunakan kesempatan, melihat sinetron lagi kebanjiran order? Banyak orang menuduh orang film membuat sinetron sebagai kelatahan. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai "disersi"? Kata mereka, film nasional sedang sakit parah - meski kini sudah berangsur membaik - kok malah main ke rumah tetangga. Itu kan namanya tidak setia, tidak punya komitmen, tidak memiliki dedikasi. Saya mestinya khawatir. Tetapi nyatanya tidak. Begitu datang tawaran untuk menyutradarai sinetron,langsung saya makan. Bahkan kalau tidak ada tawaran pun, saya sudah lama meniatkan akan merebutnya. Kalau perlu menawar-nawarkan diri untuk membuatnya. Bila perlu, melamar menyutradarai sebuah sinetron.
Buat saya, kalau membuat film adalah bekerja sekaligus berekspresi, membuat sinetron juga setali tiga uang. Hanya saja sifat medianya sedikit berbeda. Tapi tidak sejauh kalau seorang pembuat film kemudian berhenti membuat film lalu berlih profesi jadi tukang jual kondom, misalnya. Buat saya istilah disersi, lari, hanya sekedar seloroh.
Seloroh - baca tuduhan - yang sama pernah dimuntahkan juga kepada orang-orang teater baru-baru ini ketika beberapa sutradara teater yang beken mulai membuat film. Nyatanya orang teater itu - sebut saja terus terang namanya, almarhum Teguh Karya dan Arifin C Noer - sebelum keduanya meninggal dunia beberapa tahun lalu tetap saja memiliki teater dan membuat pementasan, disamping membuat film-film yang bagus. Jadi omongan-omongan seperti itu, memang tidak perlu diladeni atau dijawab. Nanti dengan tindakan konkret akan jelas dengan sendirinya. Yang lebih menggoda saya, adalah pertanyaan, "apakah saya memiliki sebuah alasan, mengapa nanti penonton mesti menonton sinetron yang saya buat". Kalau tidak, memang tidak perlu dibuat. Dan kalau tidak perlu dibuat saya masih saja ngotot membuat, baru pantas dicurigai itu sebagai maaf: pelacuran. Misalnya semata-mata untuk mempergunakan kesempatan.
Atau semata-mata untuk cari duit.
Toh saya pikir motivasi untuk mempergunakan kesempatan - saya lebih menyukai istilah mempergunakan peluang - atau motivasi cari duit sekarang adalah motivasi yang sah.
Kalau kita sudah melangkah dari amaterisme kita harus bisa menerima bahwa semua pekerjaan adalah profesi. Dan setiap profesi menuntut seorang profesional.
Dan seorang yang profesional adalah seorang yang mampu mempergunakan peluang dan dapat menghidupi hidupnya dengan profesinya - singkat kata menerima uang sebagai alat ukur jasa yang tanpa dosa.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 Februari 2013
SEORANG sutradara film, baru saja mendapat tawaran untuk membuah sebuah sinetron. Ceritanya sederhana, konyol dan tidak logis. Skenarionya sangat buruk dengan bahasa Indonesia yang cadel.
Tapi konon itu dijamin akan komersil. Sebelum proyek itu dilaksanakan, terjadi pergulatan di dalam dirinya sebagai berikut:
Produksi sinetron kita sedang booming di semua jaringan televisi. Sinetron baik dalam bentuk, cerita lepas, mini seri maupun serial bersambung. Dibuat oleh nama-nama beken maupun ingusan yang barusan tercium baunya.
Celakanya kalau kita suatu ketika nongkrong di layar kotak itu sambil bertanya-tanya, apa sebenarnya alasan kita untuk menonton sebuah sinetron yang sedang ditayangkan, jawabannya tidak bermutu.
Seringkali kita menonton sebuah sinetron, karena acara-acara yang sedang ditayangkan oleh pemancar televisi lain, tidak kita sukai. Misalnya acara protokoler seorang pejabat.
Atau tayangan musik dari penyanyi-penyanyi yang kita anggap masih kelas kamar mandi, tapi entah kenapa bisa nongol ke atas layar. Atau kita menonton karena ingin teman saja.
Artinya pesawat tv menyala, pemain-pemain sinetron ngoceh di situ, tapi kita tidak memperhatikannya sama sekali.
Kemudian kita coba bertanya-tanya, klau tidak ada yang memotivasi kita dalam menonton, kira-kira apa yang sudah memotivasi sinetron itu dibuat?
Kenapa sebuah sinetron diproduksi, kalau konsumen sampai tidak punya alasan untuk menontonnya? Apakah idenya terlalu berat, sehingga tidak nampak? Apakah informasinya terlalu terselubung, sehngga tidak kelihatan. Apakah nilai hiburnya tidak diuji sehingga menjadi begitu hambar. Atau karena sekedar untuk memenuhi target untuk menayangkan produk sendiri? Sebelum bisa menjawab semua pertanyaan itu, kini saya sendiri nyaris terlibat dalam pembuatan sebuah sinetron. Saya wajib bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Kenapa saya membuat sinetron? Apakah karena film sedang sepi? Walhasil, semata-mata untuk mencari nafkah yang lepas sama sekali dari urusan ekspresi? Karena latah, mumpung, mempergunakan kesempatan, melihat sinetron lagi kebanjiran order? Banyak orang menuduh orang film membuat sinetron sebagai kelatahan. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai "disersi"? Kata mereka, film nasional sedang sakit parah - meski kini sudah berangsur membaik - kok malah main ke rumah tetangga. Itu kan namanya tidak setia, tidak punya komitmen, tidak memiliki dedikasi. Saya mestinya khawatir. Tetapi nyatanya tidak. Begitu datang tawaran untuk menyutradarai sinetron,langsung saya makan. Bahkan kalau tidak ada tawaran pun, saya sudah lama meniatkan akan merebutnya. Kalau perlu menawar-nawarkan diri untuk membuatnya. Bila perlu, melamar menyutradarai sebuah sinetron.
Buat saya, kalau membuat film adalah bekerja sekaligus berekspresi, membuat sinetron juga setali tiga uang. Hanya saja sifat medianya sedikit berbeda. Tapi tidak sejauh kalau seorang pembuat film kemudian berhenti membuat film lalu berlih profesi jadi tukang jual kondom, misalnya. Buat saya istilah disersi, lari, hanya sekedar seloroh.
Seloroh - baca tuduhan - yang sama pernah dimuntahkan juga kepada orang-orang teater baru-baru ini ketika beberapa sutradara teater yang beken mulai membuat film. Nyatanya orang teater itu - sebut saja terus terang namanya, almarhum Teguh Karya dan Arifin C Noer - sebelum keduanya meninggal dunia beberapa tahun lalu tetap saja memiliki teater dan membuat pementasan, disamping membuat film-film yang bagus. Jadi omongan-omongan seperti itu, memang tidak perlu diladeni atau dijawab. Nanti dengan tindakan konkret akan jelas dengan sendirinya. Yang lebih menggoda saya, adalah pertanyaan, "apakah saya memiliki sebuah alasan, mengapa nanti penonton mesti menonton sinetron yang saya buat". Kalau tidak, memang tidak perlu dibuat. Dan kalau tidak perlu dibuat saya masih saja ngotot membuat, baru pantas dicurigai itu sebagai maaf: pelacuran. Misalnya semata-mata untuk mempergunakan kesempatan.
Atau semata-mata untuk cari duit.
Toh saya pikir motivasi untuk mempergunakan kesempatan - saya lebih menyukai istilah mempergunakan peluang - atau motivasi cari duit sekarang adalah motivasi yang sah.
Kalau kita sudah melangkah dari amaterisme kita harus bisa menerima bahwa semua pekerjaan adalah profesi. Dan setiap profesi menuntut seorang profesional.
Dan seorang yang profesional adalah seorang yang mampu mempergunakan peluang dan dapat menghidupi hidupnya dengan profesinya - singkat kata menerima uang sebagai alat ukur jasa yang tanpa dosa.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 Februari 2013
No comments:
Post a Comment