-- Bayu Agustari Adhai
BERGERILYANYA warna lokal dalam khasanah sastra Indonesia tak dapat dimungkiri lagi. Entah kapan persisnya kegiatan ‘massif’ ini dimulai memang memerlukan banyak data dan fakta. Akan tetapi sesungguhnya warna lokal tersebut sudah muncul sejak dimulainya periode sastra Indonesia, misalkan kawin paksa dalam roman Siti Nurbaya. Karya Marah Rusli ini meskipun dalam warna lokal namun mampu menciptakan cita rasa nasional atau mungkin di luar Indonesia sendiri meskipun pengaruh politik kolonial ada dalam produk Balai Pustaka ini. Namun reformasi paling tidak telah menjadi gerbang pembuka untuk karya-karya cita rasa lokal ini.
Sekarang coba kita lihat warna-warna lokal dalam sastra. Di satu sisi terdapat suatu demokrasi dalam sastra di mana setiap pengarang bebas merayakan semangat lokalitasnya. Namun di sisi lain juga terdapat pretensi penonjolan jati diri untuk diakui eksistensi. Kadang hampir mirip upaya Pemda/Pemprov yang mencari-cari atribut dan warna lokal untuk suatu komodifikasi. Dalam hal sastra sendiri warna lokal selain dari latar yang mengelilinginya juga terlihat dari idiom-idiom yang tidak ada atau diupayakan tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia sehingga melahirkan catatan kaki yang bejibun. Budaya dan istiadat juga menjadi hal yang sangat dieksplorasi mengenai masyarakat itu sendiri. Sedangkan dalam segi tataran nilai selain terdapat upaya penonjolan identitas lokal juga terdapat upaya gugatan pada lokalitas itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari karya Suhunan Situmorang berjudul Sordam. Sebuah novel dengan warna suku Batak Samosir, Sumatera Utara.
Dari judulnya memang kita sebagai orang awam atau bukan orang Batak akan bertanya-tanya, Apa itu Sordam? Kata itu sendiri adalah suatu alat musik dari bambu yang lebih besar dari alat tiup bambu biasanya. Namun penggunaannya adalah untuk memanggil arwah untuk masuk ke dalam tubuh orang yang memainkannya agar bisa berbicara dengan orang yang menghendaki. Sordam dimainkan oleh orang pintar atau dukun dengan dilengkapi tetek bengek mistik yang lain seperti jeruk purut, gambir, kapur sirih, pinang, arang dan kemenyan. Dalam novel ini Sordam digunakan untuk memanggil tokoh utama Paltibonar yang belum diketahui hidup atau mati. Hal ini dilakukan demi kepastian untuk mengubur jasad ibu yang telah lima hari kaku namun masih menunggu Paltibonar yang tak ada kabar selama dua tahun. Sedangkan secara keseluruhan cerita Sordam sendiri adalah kisah seorang putra Samosir bernama Paltibonar Nadeak yang merantau ke Jakarta dengan segala lika-liku kehidupan yang akhirnya meninggal dalam kerusuhan Partai Banteng sebelum reformasi.
Dari segi bahasa tampak sekali warna lokalitasnya sehingga orang yang tak tahu bahasa Batak sedikitpun akan berkerut. Namun fokus penonjolan warna lokalitas sendiri kebanyakan hanya pada kata, hanya sebagian kecil sekali yang berbentuk kalimat. Warna yang sangat khas yang dapat dilihat dari novel ini ialah cara pemanggilan seseorang dan sebutan untuk seseorang sesuai dengan kedudukannya. Beberapa di antara panggilan itu adalah Namboru, Inangtua, Ompu, Nabolon, Inanta, Amani, Sintua, Amanguda, Amangtua, Ompung, Dahahang dan masih banyak yang lainnya digunakan dalam novel ini. Sedangkan contoh panggilan untuk suatu kedudukan seperti ‘Saurmatua’ untuk orang yang telah memiliki anak yang telah menikah semuanya dan apabila meninggal akan lebih dihargai karena berketurunan banyak adalah simbol kedigdayaan yang dikenal dengan istilah ‘Hagabeon’. Selain itu kata berwarna Batak terdapat pada nama benda dan peristiwa seperti Sordam itu sendiri, ulos dan berbagai macam jenisnya, uortor, gondang sabarungan, ogung, dan lain sebagainya yang dapat dilihat artinya di novel ini.
Dari segi tataran nilai ada suatu budaya yang ingin ditonjolkan sebagai manusia Batak dalam novel ini. Salah satunya adalah budaya merantau untuk menempuh pendidikan. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk kehidupan yang lebih baik, namun dominannya Masyarakat Batak merantau untuk bersekolah atau kuliah. Berbeda dengan suku-suku lain seperti Minang yang umumnya untuk mencari rezeki dengan berdagang ataupun orang Jawa yang pergi untuk bekerja. Latar belakang merantau sendiri berangkat dari kondisi alam Samosir sendiri yang tidak begitu memberikan penghidupan bagi penduduknya. Di balik keindahannya Danau Toba tak pernah memberikan ikan yang berlimpah dan Pulau Samosir yang berbukit-bukit itu hanya cocok ditanami tanaman keras dan rumput ilalalang. Sehingga mau tak mau harus diupayakan kehidupan yang lebih baik, namun tidak dengan mencari penghasilan langsung, dibutuhkan suatu jembatan yakni pendidikan. Pentingnya arti pendidikan sendiri sebagai nilai bagi masyarakat Batak dipengaruhi oleh misionaris Jerman Nommansen yang selain meng-Kristen-kan masyarakat Tapanuli namun juga menanamkan nilai-nilai pendidikan melalui misi pencerahannya, tidak seperti misionaris negara lainnya yang hanya menganggap masyarakat Tapanuli sebagai objek ‘Gospel’nya.
Budaya orang Batak juga menjadi hal yang ingin digambarkan dalam novel ini. Menyangkut masalah pendidikan, budaya orangtua adalah mementingkan anaknya untuk bersekolah tinggi, tak peduli dengan apa akan dibiayai uang kuliah. Seperti pada tokoh utama Paltibonar yang orang tuanya hanyalah seorang petani bawang. Jika dilihat secara logika, takkan mampulah mereka membiayai, namun dengan perjuangan yang keras mereka tetap berhasil membiayai anak mereka. Dalam hal seksualitas, masyarakat Batak melihat itu sebagai hal yang tabu sekali. Apabila ada pembicaraan ke arah itu, maka akan dianggap tidak sopan. Apabila ada hamil di luar nikah merekapun menganggap itu sebagai aib dan tak bisa menikah di gereja HKBP. Dalam pernikahanpun seks bukanlah tujuan yang utama, karena yang menjadi hakikat pernikahan adalah untuk keturunan, pencarian nafkah dan adat. Sangat jarang kasus perceraian akibat ketidakpuasan seksual meskipun ada yang mengalami.
Di samping ingin menonjolkan nilai lokalitasnya, karya ini juga memuat gugatan terhadap warna lokalnya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari resistensinya terhadap ritual adat dalam upacara kematian dan tata cara penentuan perkawinan. Juga terdapat kegelisahan terhadap situasi terkini dan profesi yang umumnya digeluti orang Batak yakni Pengacara. Dalam perlawanannya terhadap prosesi ritual adat yang telah berlangsung lama, tentu ini dipengaruhi oleh pendidikan yang lebih menanamkan rasionalitas dalam berfikir dan cenderung matematis. Hal ini menjadi simpul terbalik di mana akhirnya pendidikan yang didapat dan diidamkan oleh para orang tua akhirnya malah menjadi senjata yang akan mencoba mendekonstruksi tatanan adat.
Dalam upacara kematian sendiri terdapat narasi yang memperlihatkan sudut pandang narator bermakna sindiran atas peristiwa yang ada. Dapat dilihat dari kalimat ketika meninggalnya orangtua perempuan Paltibonar. ‘’(Orang-orang di kampung itu sebagaimana kebiasaan orang Batak Toba umumnya, selalu menyikapi kematian dengan raung tangis, tak jadi soal usia si mati)’’. Terdapat suatu sindiran terhadap masyarakat Batak yang terlalu menyikapi kematian dengan berlebihan, meskipun kematian adalah hal yang harus sangat dimaklumi, cukuplah ratapan dihadirkan dengan sekedarnya. Akan tetapi di kultur ini mengenal istilah ‘andung-andung’, peristiwa yang sepertinya telah menjadi prosesi yang berisi ratapan yang mendayu-dayu. Peristiwa ini seakan-akan telah disakralkan sebagai suatu proses tata cara menyambut kematian.
Selain itu narator juga melugaskan kalimat ‘’Ada pesta di tengah duka, ada suka cita di tengah berlinangnya air mata’’. Di sini jelas sang narator memberikan parodi terhadap peristiwa kematian itu. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya tetek bengek dalam upacara kematian. Sebelum jenazah tiba, masyarakat sekitaran orang yang meninggal telah menyiapkan kerbau, babi, ayam, ikan mas, kayu bakar, kopi, gula, teh, beras yang dipesan dan dibeli. Hal ini dilakukan dengan dalil penghormatan karena yang meninggal telah berposisi sebagai ‘Saurmatua’, seseorang meninggal dalam keadaan di mana anak-anaknya telah menikah dan berketurunan. Hajatan ini akan dilakukan tiga sampai lima hari. Dalam hari-hari tersebut seperti dalam novel ini, Para pelayat wajib dijamu, pagi, siang, malam. Gelas-gelas kopi, teh, tuak, bir, akan terus dialirkan. Kedai-kedai kopi, pedagang rokok dan jajanan akan muncul di sekitar rumah duka. Belum lagi ‘tortor’ beriring ‘gondang sabangunan’ yang patutlah digelar, orang-orang yang mengasihi yang meninggal pantaslah menari sepanjang malam.
Tak hanya habis sampai di situ, adalagi upacara ‘’mangongkal holi’’ untuk menggali tulang belulang kakek nenek dan segenap keturunannya, diurut sejak tiga generasi di atasnya. Kesemua tulang belulang itu akan dikumpulkan dan masing-masing diletakkan dalam piring keramik Cina berlapiskan kain putih dan ulos sebelum dimasukkan ke peti mati berukuran kecil. Sesudah diupacarai tiga hari tiga malam, kesemua tulang dan tengkorak itu akan dimasukkan ke dalam bangunan tugu yang disebut ‘batu napir’ atau ‘tambak napir’. Gondang sabangunan dan tortor pun digelar dan tak lupa puluhan karung beras, lima ekor kerbau, 20 ekor babi besar, puluhan ekor ayam, berkrat-krat bir dan berbagai minuman beralkohol serta ringan telah disiapkan.
Dalam prosesi yang bagi Paltibonar adalah penggalian tulang ayahnya, dia menyiratkan nada tak sepaham dengan upacara itu. Dalam narasi diceritakan ‘’Ia merasa tak patut sisa-sisa tubuh yang telah kembali ke asalnya itu dipindahkan, dipisahkan dari daging yang sudah menyatu dengan tanah’’. Menurut Palti prosesi ini hanyalah suatu ajang memperlihatkan status sosial di mana orang-orang akan berlomba menghias tugu dengan berbagai arsitektur. Dalam pikiran Palti mengapa setelah mati itu diberikan semua, yang ketika hidup tak pernah mendapatkannya. Kegalauan dan kegelisahan ini juga menjadi warna sendiri dalam hal warna lokalitas di mana tak melulu lokalitas itu dibangga-banggakan namun ada juga upaya kritis untuk menggugat kemapanan yang telah ada.
Gugatan lain yang ada dalam novel ini adalah terhadap prosedur perkawinan yang memberatkan orang yang ingin menikah. Hal itu adalah yang dikenal dengan ‘Sinamot’ yang merupakan semacam mahar dalam perkawinan Batak. Diceritakan perkara temannya yang batal menikah hanya gara-gara ‘Sinamot’ tidak cocok jumlahnya dengan yang diinginkan. Ketidaksepahaman lain juga dialami oleh Paltibonar dalam hal penentuan jodoh di mana dia menemukan cinta seorang Jawa, namun orangtua lebih memilih untuk anaknya menikah dengan sesama Batak. Bahkan dalam cerita inipun Paltibonar akhirnya menikah dengan orang Inggris, akibatnya Ibunya meraung-raung akan ulahnya. Pada saat Paltibonar pulang pun setelah itu Ibunya tak menyambut dengan senang, bahkan tak ingin menyentuhnya.
Sementara itu kegelisahan sebagai orang beridentitas Batak juga dialaminya di dalam dunia kerjanya sebagai advokat. Tak dimungkiri lagi memang banyak pengacara di Indonesia ini berasal dari etnis Batak. Di sini Palti mengungkap kotornya permainan yang dilakukan oleh para advokat di mana hukum hanya bekerja atas legal fee seorang klien tanpa mengindahkan hukum nurani. Segala hal dilakukan untuk melindungi yang bersalah dengan mencari-cari celah dalam undang-undang yang ada. Tak hanya itu permainan juga dilakukan dengan ber-kongkalingkong dengan aparat hukum lain. Sementara bila ada kasus hukum yang tak mempunyai angka rupiah, para advokat seperti menutup mata untuk membela, dalam cerita ini kasus buruh.
Gugatan tak hanya diberikan pada suatu kebiasaan masyarakat Batak, namun juga pada kondisi terkini. Dia melihat telah banyak juga terjadi praktek kolusi dan korupsi di tanah kelahirannya. Mengenai kepala daerah yang semakin tak memperdulikan rakyat, di sini dengan contoh diizinkannya perusahaan pulp untuk membabat hutan Samosir. Kegelisahannya dalam konflik sekte Protestan yang bahkan memisahkan para kerabat. Gundah juga dia melihat pola hidup anak Medan yang semakin elitis tanpa adanya persaudaraan. Jelas di sini terlihat gugatan yang dilakukannya bukan hanya terhadap sesuatu yang telah mapan di tanahnya, namun juga menggugat pada perubahan yang terjadi. Dalam kata lain ada hal kontradiktif, di satu sisi dia menggugat untuk adanya suatu perubahan dan di sisi lain menggugat karena telah berubahnya suatu keadaan. n
Bayu Agustari Adha, Lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Negeri Padang. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa seperti Riau Pos, Padang Ekspres, Singgalang dan lainnya.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 3 Februari 2013
BERGERILYANYA warna lokal dalam khasanah sastra Indonesia tak dapat dimungkiri lagi. Entah kapan persisnya kegiatan ‘massif’ ini dimulai memang memerlukan banyak data dan fakta. Akan tetapi sesungguhnya warna lokal tersebut sudah muncul sejak dimulainya periode sastra Indonesia, misalkan kawin paksa dalam roman Siti Nurbaya. Karya Marah Rusli ini meskipun dalam warna lokal namun mampu menciptakan cita rasa nasional atau mungkin di luar Indonesia sendiri meskipun pengaruh politik kolonial ada dalam produk Balai Pustaka ini. Namun reformasi paling tidak telah menjadi gerbang pembuka untuk karya-karya cita rasa lokal ini.
Sekarang coba kita lihat warna-warna lokal dalam sastra. Di satu sisi terdapat suatu demokrasi dalam sastra di mana setiap pengarang bebas merayakan semangat lokalitasnya. Namun di sisi lain juga terdapat pretensi penonjolan jati diri untuk diakui eksistensi. Kadang hampir mirip upaya Pemda/Pemprov yang mencari-cari atribut dan warna lokal untuk suatu komodifikasi. Dalam hal sastra sendiri warna lokal selain dari latar yang mengelilinginya juga terlihat dari idiom-idiom yang tidak ada atau diupayakan tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia sehingga melahirkan catatan kaki yang bejibun. Budaya dan istiadat juga menjadi hal yang sangat dieksplorasi mengenai masyarakat itu sendiri. Sedangkan dalam segi tataran nilai selain terdapat upaya penonjolan identitas lokal juga terdapat upaya gugatan pada lokalitas itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari karya Suhunan Situmorang berjudul Sordam. Sebuah novel dengan warna suku Batak Samosir, Sumatera Utara.
Dari judulnya memang kita sebagai orang awam atau bukan orang Batak akan bertanya-tanya, Apa itu Sordam? Kata itu sendiri adalah suatu alat musik dari bambu yang lebih besar dari alat tiup bambu biasanya. Namun penggunaannya adalah untuk memanggil arwah untuk masuk ke dalam tubuh orang yang memainkannya agar bisa berbicara dengan orang yang menghendaki. Sordam dimainkan oleh orang pintar atau dukun dengan dilengkapi tetek bengek mistik yang lain seperti jeruk purut, gambir, kapur sirih, pinang, arang dan kemenyan. Dalam novel ini Sordam digunakan untuk memanggil tokoh utama Paltibonar yang belum diketahui hidup atau mati. Hal ini dilakukan demi kepastian untuk mengubur jasad ibu yang telah lima hari kaku namun masih menunggu Paltibonar yang tak ada kabar selama dua tahun. Sedangkan secara keseluruhan cerita Sordam sendiri adalah kisah seorang putra Samosir bernama Paltibonar Nadeak yang merantau ke Jakarta dengan segala lika-liku kehidupan yang akhirnya meninggal dalam kerusuhan Partai Banteng sebelum reformasi.
Dari segi bahasa tampak sekali warna lokalitasnya sehingga orang yang tak tahu bahasa Batak sedikitpun akan berkerut. Namun fokus penonjolan warna lokalitas sendiri kebanyakan hanya pada kata, hanya sebagian kecil sekali yang berbentuk kalimat. Warna yang sangat khas yang dapat dilihat dari novel ini ialah cara pemanggilan seseorang dan sebutan untuk seseorang sesuai dengan kedudukannya. Beberapa di antara panggilan itu adalah Namboru, Inangtua, Ompu, Nabolon, Inanta, Amani, Sintua, Amanguda, Amangtua, Ompung, Dahahang dan masih banyak yang lainnya digunakan dalam novel ini. Sedangkan contoh panggilan untuk suatu kedudukan seperti ‘Saurmatua’ untuk orang yang telah memiliki anak yang telah menikah semuanya dan apabila meninggal akan lebih dihargai karena berketurunan banyak adalah simbol kedigdayaan yang dikenal dengan istilah ‘Hagabeon’. Selain itu kata berwarna Batak terdapat pada nama benda dan peristiwa seperti Sordam itu sendiri, ulos dan berbagai macam jenisnya, uortor, gondang sabarungan, ogung, dan lain sebagainya yang dapat dilihat artinya di novel ini.
Dari segi tataran nilai ada suatu budaya yang ingin ditonjolkan sebagai manusia Batak dalam novel ini. Salah satunya adalah budaya merantau untuk menempuh pendidikan. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk kehidupan yang lebih baik, namun dominannya Masyarakat Batak merantau untuk bersekolah atau kuliah. Berbeda dengan suku-suku lain seperti Minang yang umumnya untuk mencari rezeki dengan berdagang ataupun orang Jawa yang pergi untuk bekerja. Latar belakang merantau sendiri berangkat dari kondisi alam Samosir sendiri yang tidak begitu memberikan penghidupan bagi penduduknya. Di balik keindahannya Danau Toba tak pernah memberikan ikan yang berlimpah dan Pulau Samosir yang berbukit-bukit itu hanya cocok ditanami tanaman keras dan rumput ilalalang. Sehingga mau tak mau harus diupayakan kehidupan yang lebih baik, namun tidak dengan mencari penghasilan langsung, dibutuhkan suatu jembatan yakni pendidikan. Pentingnya arti pendidikan sendiri sebagai nilai bagi masyarakat Batak dipengaruhi oleh misionaris Jerman Nommansen yang selain meng-Kristen-kan masyarakat Tapanuli namun juga menanamkan nilai-nilai pendidikan melalui misi pencerahannya, tidak seperti misionaris negara lainnya yang hanya menganggap masyarakat Tapanuli sebagai objek ‘Gospel’nya.
Budaya orang Batak juga menjadi hal yang ingin digambarkan dalam novel ini. Menyangkut masalah pendidikan, budaya orangtua adalah mementingkan anaknya untuk bersekolah tinggi, tak peduli dengan apa akan dibiayai uang kuliah. Seperti pada tokoh utama Paltibonar yang orang tuanya hanyalah seorang petani bawang. Jika dilihat secara logika, takkan mampulah mereka membiayai, namun dengan perjuangan yang keras mereka tetap berhasil membiayai anak mereka. Dalam hal seksualitas, masyarakat Batak melihat itu sebagai hal yang tabu sekali. Apabila ada pembicaraan ke arah itu, maka akan dianggap tidak sopan. Apabila ada hamil di luar nikah merekapun menganggap itu sebagai aib dan tak bisa menikah di gereja HKBP. Dalam pernikahanpun seks bukanlah tujuan yang utama, karena yang menjadi hakikat pernikahan adalah untuk keturunan, pencarian nafkah dan adat. Sangat jarang kasus perceraian akibat ketidakpuasan seksual meskipun ada yang mengalami.
Di samping ingin menonjolkan nilai lokalitasnya, karya ini juga memuat gugatan terhadap warna lokalnya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari resistensinya terhadap ritual adat dalam upacara kematian dan tata cara penentuan perkawinan. Juga terdapat kegelisahan terhadap situasi terkini dan profesi yang umumnya digeluti orang Batak yakni Pengacara. Dalam perlawanannya terhadap prosesi ritual adat yang telah berlangsung lama, tentu ini dipengaruhi oleh pendidikan yang lebih menanamkan rasionalitas dalam berfikir dan cenderung matematis. Hal ini menjadi simpul terbalik di mana akhirnya pendidikan yang didapat dan diidamkan oleh para orang tua akhirnya malah menjadi senjata yang akan mencoba mendekonstruksi tatanan adat.
Dalam upacara kematian sendiri terdapat narasi yang memperlihatkan sudut pandang narator bermakna sindiran atas peristiwa yang ada. Dapat dilihat dari kalimat ketika meninggalnya orangtua perempuan Paltibonar. ‘’(Orang-orang di kampung itu sebagaimana kebiasaan orang Batak Toba umumnya, selalu menyikapi kematian dengan raung tangis, tak jadi soal usia si mati)’’. Terdapat suatu sindiran terhadap masyarakat Batak yang terlalu menyikapi kematian dengan berlebihan, meskipun kematian adalah hal yang harus sangat dimaklumi, cukuplah ratapan dihadirkan dengan sekedarnya. Akan tetapi di kultur ini mengenal istilah ‘andung-andung’, peristiwa yang sepertinya telah menjadi prosesi yang berisi ratapan yang mendayu-dayu. Peristiwa ini seakan-akan telah disakralkan sebagai suatu proses tata cara menyambut kematian.
Selain itu narator juga melugaskan kalimat ‘’Ada pesta di tengah duka, ada suka cita di tengah berlinangnya air mata’’. Di sini jelas sang narator memberikan parodi terhadap peristiwa kematian itu. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya tetek bengek dalam upacara kematian. Sebelum jenazah tiba, masyarakat sekitaran orang yang meninggal telah menyiapkan kerbau, babi, ayam, ikan mas, kayu bakar, kopi, gula, teh, beras yang dipesan dan dibeli. Hal ini dilakukan dengan dalil penghormatan karena yang meninggal telah berposisi sebagai ‘Saurmatua’, seseorang meninggal dalam keadaan di mana anak-anaknya telah menikah dan berketurunan. Hajatan ini akan dilakukan tiga sampai lima hari. Dalam hari-hari tersebut seperti dalam novel ini, Para pelayat wajib dijamu, pagi, siang, malam. Gelas-gelas kopi, teh, tuak, bir, akan terus dialirkan. Kedai-kedai kopi, pedagang rokok dan jajanan akan muncul di sekitar rumah duka. Belum lagi ‘tortor’ beriring ‘gondang sabangunan’ yang patutlah digelar, orang-orang yang mengasihi yang meninggal pantaslah menari sepanjang malam.
Tak hanya habis sampai di situ, adalagi upacara ‘’mangongkal holi’’ untuk menggali tulang belulang kakek nenek dan segenap keturunannya, diurut sejak tiga generasi di atasnya. Kesemua tulang belulang itu akan dikumpulkan dan masing-masing diletakkan dalam piring keramik Cina berlapiskan kain putih dan ulos sebelum dimasukkan ke peti mati berukuran kecil. Sesudah diupacarai tiga hari tiga malam, kesemua tulang dan tengkorak itu akan dimasukkan ke dalam bangunan tugu yang disebut ‘batu napir’ atau ‘tambak napir’. Gondang sabangunan dan tortor pun digelar dan tak lupa puluhan karung beras, lima ekor kerbau, 20 ekor babi besar, puluhan ekor ayam, berkrat-krat bir dan berbagai minuman beralkohol serta ringan telah disiapkan.
Dalam prosesi yang bagi Paltibonar adalah penggalian tulang ayahnya, dia menyiratkan nada tak sepaham dengan upacara itu. Dalam narasi diceritakan ‘’Ia merasa tak patut sisa-sisa tubuh yang telah kembali ke asalnya itu dipindahkan, dipisahkan dari daging yang sudah menyatu dengan tanah’’. Menurut Palti prosesi ini hanyalah suatu ajang memperlihatkan status sosial di mana orang-orang akan berlomba menghias tugu dengan berbagai arsitektur. Dalam pikiran Palti mengapa setelah mati itu diberikan semua, yang ketika hidup tak pernah mendapatkannya. Kegalauan dan kegelisahan ini juga menjadi warna sendiri dalam hal warna lokalitas di mana tak melulu lokalitas itu dibangga-banggakan namun ada juga upaya kritis untuk menggugat kemapanan yang telah ada.
Gugatan lain yang ada dalam novel ini adalah terhadap prosedur perkawinan yang memberatkan orang yang ingin menikah. Hal itu adalah yang dikenal dengan ‘Sinamot’ yang merupakan semacam mahar dalam perkawinan Batak. Diceritakan perkara temannya yang batal menikah hanya gara-gara ‘Sinamot’ tidak cocok jumlahnya dengan yang diinginkan. Ketidaksepahaman lain juga dialami oleh Paltibonar dalam hal penentuan jodoh di mana dia menemukan cinta seorang Jawa, namun orangtua lebih memilih untuk anaknya menikah dengan sesama Batak. Bahkan dalam cerita inipun Paltibonar akhirnya menikah dengan orang Inggris, akibatnya Ibunya meraung-raung akan ulahnya. Pada saat Paltibonar pulang pun setelah itu Ibunya tak menyambut dengan senang, bahkan tak ingin menyentuhnya.
Sementara itu kegelisahan sebagai orang beridentitas Batak juga dialaminya di dalam dunia kerjanya sebagai advokat. Tak dimungkiri lagi memang banyak pengacara di Indonesia ini berasal dari etnis Batak. Di sini Palti mengungkap kotornya permainan yang dilakukan oleh para advokat di mana hukum hanya bekerja atas legal fee seorang klien tanpa mengindahkan hukum nurani. Segala hal dilakukan untuk melindungi yang bersalah dengan mencari-cari celah dalam undang-undang yang ada. Tak hanya itu permainan juga dilakukan dengan ber-kongkalingkong dengan aparat hukum lain. Sementara bila ada kasus hukum yang tak mempunyai angka rupiah, para advokat seperti menutup mata untuk membela, dalam cerita ini kasus buruh.
Gugatan tak hanya diberikan pada suatu kebiasaan masyarakat Batak, namun juga pada kondisi terkini. Dia melihat telah banyak juga terjadi praktek kolusi dan korupsi di tanah kelahirannya. Mengenai kepala daerah yang semakin tak memperdulikan rakyat, di sini dengan contoh diizinkannya perusahaan pulp untuk membabat hutan Samosir. Kegelisahannya dalam konflik sekte Protestan yang bahkan memisahkan para kerabat. Gundah juga dia melihat pola hidup anak Medan yang semakin elitis tanpa adanya persaudaraan. Jelas di sini terlihat gugatan yang dilakukannya bukan hanya terhadap sesuatu yang telah mapan di tanahnya, namun juga menggugat pada perubahan yang terjadi. Dalam kata lain ada hal kontradiktif, di satu sisi dia menggugat untuk adanya suatu perubahan dan di sisi lain menggugat karena telah berubahnya suatu keadaan. n
Bayu Agustari Adha, Lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Negeri Padang. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa seperti Riau Pos, Padang Ekspres, Singgalang dan lainnya.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 3 Februari 2013
No comments:
Post a Comment