-- Beni Setia
IDENTITAS atas boemipoetra, yang dalam hal ini terkait dengan bebundel Boemipoetra yang sampulnya bergambarkan tangan terkepal dan siap menonjok siapa saja, selalu terkait dengan bahasa agitatif yang menyerang KUK/TUK. Tapi benarkah selalu begitu?
Sebelum menjawabnya, perlu dijelaskan bila bebundel boemipoetra itu merupakan buku yang dicetak khusus, dan meski seukuran majalah-(nya), terbitan ini bukan laku kliping dengan penjilidan khusus atas sejumlah edisi djoernal boemipotra sebelumnya. Ini buku terbitan khusus, suatu penanda telah lima tahun (Boemipoetra) berkiprah. Padahal selama ini diandaikan tak akan hidup lama, karenanya tidak pernah dilayani berdialog?sebab dianggap segera mati. Nyatanya?
Terlepas dari itu ikonisasi perlawanan telanjang hanya memakai tangan kosong itu seperti menekankan arti dari epos (sastra) perlawanan. Tidak heran kalau seorang Muhidin M. Dahlan?JP, 13-01-2013?langsung mengacu pada cecorak perlawanan Mas Marco Kartodikromo, yang bersama Tjipto Mangoensaoesoema, menghadirkan koran Goentoer Bergerak, dan kemudian Doenia Bergerak. Dan dengan mengkutip dua teks dari DB, ia menunjukkan kalau perlawanan itu biasa dihadirkan dalam gaya penulisan agresif. Dengan merujuk ke bahasa Melayu Pasar yang tak sekadar berbeda dari bahasa Melayu Tinggi yang dianut oleh Belanda, tapi juga langsung menohok. Persis seperti beberapa tulisan di bp?terutama yang memakai nama samaran, di edisi awal bp.
Meski harus dibedakan, apakah.kriteria kasar serta mencemoohkan (priyayi) itu karena Mas Marco amat ingin mencemoohkan atau memang khazanah bahasa Melayu pasar saat itu memang seperti itu. Kalau dikomparasikan dengan kasus boemipoetra, terasa kalau bahasa pamflet yang amat agresif menyerang itu merupakan pilihan sadar (stilistika) berbahasa Yang Memakai Nama Samaran, karena amat jauh dari kelaziman (ber)-bahasa Indonesia saat ini. Sekaligus kita akan melihat ragam praktek berbahasa itu berbeda dengan esai Saut Situmorang macam esai Politik Komunitas Sastra (bp, Triwulan Pertama 2007) ataupun Politik Kanonisasi Sastra (bp, Edisi November-Desember 2007) yang ketat memakai bahasa teks. Bahasa si X itu hanya satu teriakan agitasi bahasa lisan.
Pose berbahasa yang amat artifisial di sisi teks yang terlihat tertib serta ketat mengacu pada bahasa esei yang analitis dan mengacu eksistensi rujukan, seperti yang ditunjukkan oleh Katrin Bendel?esai Politik Sastra Komunitas Utan kayu di Eropa (bp Mei-Juni 2008) atau Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia (bp, Juli-Agustus 2008), yang juga agresif menyerang KUK/TUK. Atau Abdul Hadi W.M.?esai Apokaliptisisme dan Teokrasi Amerika (bp, Maret-April 2009) ataupun Islam dan Barat: Benturan Budaya yang Tak Kunjung Usai (bp, Juli-Septembr 2009) yang amat menelanjangi Amerika Serikat. Dan yang lainnya. Bahasa pamflet itu ternyata hanya selingan, dan terasa itu hanya selingan saat kita menyadari fakta-fakta yang dilupakan dalam asumsi banyak orang
boemipoetra itu bukan hanya tempat si X (itu) mesilakukan perlawanan, dengan menunjuk siapa yang dilawannya?hingga Kurnia Effendi shock ketika melihat Saut Situmorang, Sitok Srengenge, dan Wowok Hesti Prabowo duduk semeja dalam suatu acara (Ziarah Sepasang Mata Sastra Indonesia, bp, Maret-Aril 2009). Boemipoetra itu tempat Koesprihyanto Namma, yang mewakili sastrawan Islam, atau Wowok Hesti Prabowo, yang mewakili (sastrawan) buruh dan bersemangat mengangkat harkat para buruh yang dianggap embel-embel kapitalik sehingga dibayar murah. Sementara Saut Situmorang bergerak dari sisi ideologi (sekuler) kiri, yang selalu melihat dunia dalam konstelasi biner berhadapan dan harus terus diperhadapkan. Dulu ada Viddy A. Daeri, yang dikeluarkan karena dianggap tak punya pijakan sikap konsisten?berbeda dengan Jumari H.S., buruh yang punya posisi hingga tak terlalu dimarginalkan.
Boemipoetra itu pluralistik, mengabarkan pluralisme. Dan itu terlihat di Prakata untuk terbitan khusus bundel boemipoetra ?5 Tahun boemipoetra, Pena Dilesatkan?. Dalam wawancara dengan sosok Wowok Hesti Prabowo (Kenapa Tak Mengajukan Saja Ke Pengadilan, bp Mei-Juni 2009), Koesprihyanto Namma (Menyemai Sawah Kebudayaan, bp, Okotober-Desember 2009), serta Saut Situmorang (Kegundahan Sastra Saut Situmorang, bp Juli-September 2009, yang menyatakan kebancian kepada sikap antipluralisme dan sekaligus?tersirat?menekankan sifat cinta pluralismenya). Aspek pluralisme itu terlihat dari kecederungan puisi dan cerpen yang tampil?setelah rubrik itu dipegang Koesprihyanto Namma?, atau juga beberapa esai, di samping yang mewakili spirit Saut Situmorang sebagai penjaga gawang, yang sangat koraniah.
Sayang banyak orang yang mengabaikan semua itu. Ia hanya terpaku setengah terpukau oleh tulisan si X, lantas teringat sosok Mas Marco Kartodikromo?bergabung dengan Sarekat Islam atas mandat dari Tirto Adhi Soerjo, yang bersama Sosrokoernio menghidupkan lagi Saratomo, tapi melepaskan semua ikatan itu karena merasa sikap perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto terlalu lembek pada Belanda. Sikap kerasnya dipicu oleh pergaulan dengan Tjipto Mangoenkoesoema, dan dengan D.B. Mas Marco mulai menyatakan perlawanan konsistensi dengan geyaya bahasa mencemoohkan memakai bahasa Melayu Pasar. Pembangkangan dengan tegas menunjuk lawan dan provokatif memakai bahasa agresif itu?Wowok Hesti Prabowo bilang, terpaksa memakai nama samaran untuk menyembunyikan identitas penulis, wawancana di bp Mei?Juni 2009.
Saya senang semangat pemihakan itu, saya menghormati pemihakan yang amat memuja mitos bahasa lisan agitatif boemipoetra, tapi di selain aspek pemihakan itu tidak boleh simplisit berkeinginan mengabarkan nafsu yang kelewat besar dalam hal menyamaratakan orang dan mengelompokkannya secara binner?bersihadapan. Laku generalisasi simplisit itu yang ingin saya tekankan dengan esai singkat ini. Bahwa ada orang lain di luar si X yang selama ini menjadi ciri khas boemipotra tadi.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Februari 2013
IDENTITAS atas boemipoetra, yang dalam hal ini terkait dengan bebundel Boemipoetra yang sampulnya bergambarkan tangan terkepal dan siap menonjok siapa saja, selalu terkait dengan bahasa agitatif yang menyerang KUK/TUK. Tapi benarkah selalu begitu?
Sebelum menjawabnya, perlu dijelaskan bila bebundel boemipoetra itu merupakan buku yang dicetak khusus, dan meski seukuran majalah-(nya), terbitan ini bukan laku kliping dengan penjilidan khusus atas sejumlah edisi djoernal boemipotra sebelumnya. Ini buku terbitan khusus, suatu penanda telah lima tahun (Boemipoetra) berkiprah. Padahal selama ini diandaikan tak akan hidup lama, karenanya tidak pernah dilayani berdialog?sebab dianggap segera mati. Nyatanya?
Terlepas dari itu ikonisasi perlawanan telanjang hanya memakai tangan kosong itu seperti menekankan arti dari epos (sastra) perlawanan. Tidak heran kalau seorang Muhidin M. Dahlan?JP, 13-01-2013?langsung mengacu pada cecorak perlawanan Mas Marco Kartodikromo, yang bersama Tjipto Mangoensaoesoema, menghadirkan koran Goentoer Bergerak, dan kemudian Doenia Bergerak. Dan dengan mengkutip dua teks dari DB, ia menunjukkan kalau perlawanan itu biasa dihadirkan dalam gaya penulisan agresif. Dengan merujuk ke bahasa Melayu Pasar yang tak sekadar berbeda dari bahasa Melayu Tinggi yang dianut oleh Belanda, tapi juga langsung menohok. Persis seperti beberapa tulisan di bp?terutama yang memakai nama samaran, di edisi awal bp.
Meski harus dibedakan, apakah.kriteria kasar serta mencemoohkan (priyayi) itu karena Mas Marco amat ingin mencemoohkan atau memang khazanah bahasa Melayu pasar saat itu memang seperti itu. Kalau dikomparasikan dengan kasus boemipoetra, terasa kalau bahasa pamflet yang amat agresif menyerang itu merupakan pilihan sadar (stilistika) berbahasa Yang Memakai Nama Samaran, karena amat jauh dari kelaziman (ber)-bahasa Indonesia saat ini. Sekaligus kita akan melihat ragam praktek berbahasa itu berbeda dengan esai Saut Situmorang macam esai Politik Komunitas Sastra (bp, Triwulan Pertama 2007) ataupun Politik Kanonisasi Sastra (bp, Edisi November-Desember 2007) yang ketat memakai bahasa teks. Bahasa si X itu hanya satu teriakan agitasi bahasa lisan.
Pose berbahasa yang amat artifisial di sisi teks yang terlihat tertib serta ketat mengacu pada bahasa esei yang analitis dan mengacu eksistensi rujukan, seperti yang ditunjukkan oleh Katrin Bendel?esai Politik Sastra Komunitas Utan kayu di Eropa (bp Mei-Juni 2008) atau Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia (bp, Juli-Agustus 2008), yang juga agresif menyerang KUK/TUK. Atau Abdul Hadi W.M.?esai Apokaliptisisme dan Teokrasi Amerika (bp, Maret-April 2009) ataupun Islam dan Barat: Benturan Budaya yang Tak Kunjung Usai (bp, Juli-Septembr 2009) yang amat menelanjangi Amerika Serikat. Dan yang lainnya. Bahasa pamflet itu ternyata hanya selingan, dan terasa itu hanya selingan saat kita menyadari fakta-fakta yang dilupakan dalam asumsi banyak orang
boemipoetra itu bukan hanya tempat si X (itu) mesilakukan perlawanan, dengan menunjuk siapa yang dilawannya?hingga Kurnia Effendi shock ketika melihat Saut Situmorang, Sitok Srengenge, dan Wowok Hesti Prabowo duduk semeja dalam suatu acara (Ziarah Sepasang Mata Sastra Indonesia, bp, Maret-Aril 2009). Boemipoetra itu tempat Koesprihyanto Namma, yang mewakili sastrawan Islam, atau Wowok Hesti Prabowo, yang mewakili (sastrawan) buruh dan bersemangat mengangkat harkat para buruh yang dianggap embel-embel kapitalik sehingga dibayar murah. Sementara Saut Situmorang bergerak dari sisi ideologi (sekuler) kiri, yang selalu melihat dunia dalam konstelasi biner berhadapan dan harus terus diperhadapkan. Dulu ada Viddy A. Daeri, yang dikeluarkan karena dianggap tak punya pijakan sikap konsisten?berbeda dengan Jumari H.S., buruh yang punya posisi hingga tak terlalu dimarginalkan.
Boemipoetra itu pluralistik, mengabarkan pluralisme. Dan itu terlihat di Prakata untuk terbitan khusus bundel boemipoetra ?5 Tahun boemipoetra, Pena Dilesatkan?. Dalam wawancara dengan sosok Wowok Hesti Prabowo (Kenapa Tak Mengajukan Saja Ke Pengadilan, bp Mei-Juni 2009), Koesprihyanto Namma (Menyemai Sawah Kebudayaan, bp, Okotober-Desember 2009), serta Saut Situmorang (Kegundahan Sastra Saut Situmorang, bp Juli-September 2009, yang menyatakan kebancian kepada sikap antipluralisme dan sekaligus?tersirat?menekankan sifat cinta pluralismenya). Aspek pluralisme itu terlihat dari kecederungan puisi dan cerpen yang tampil?setelah rubrik itu dipegang Koesprihyanto Namma?, atau juga beberapa esai, di samping yang mewakili spirit Saut Situmorang sebagai penjaga gawang, yang sangat koraniah.
Sayang banyak orang yang mengabaikan semua itu. Ia hanya terpaku setengah terpukau oleh tulisan si X, lantas teringat sosok Mas Marco Kartodikromo?bergabung dengan Sarekat Islam atas mandat dari Tirto Adhi Soerjo, yang bersama Sosrokoernio menghidupkan lagi Saratomo, tapi melepaskan semua ikatan itu karena merasa sikap perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto terlalu lembek pada Belanda. Sikap kerasnya dipicu oleh pergaulan dengan Tjipto Mangoenkoesoema, dan dengan D.B. Mas Marco mulai menyatakan perlawanan konsistensi dengan geyaya bahasa mencemoohkan memakai bahasa Melayu Pasar. Pembangkangan dengan tegas menunjuk lawan dan provokatif memakai bahasa agresif itu?Wowok Hesti Prabowo bilang, terpaksa memakai nama samaran untuk menyembunyikan identitas penulis, wawancana di bp Mei?Juni 2009.
Saya senang semangat pemihakan itu, saya menghormati pemihakan yang amat memuja mitos bahasa lisan agitatif boemipoetra, tapi di selain aspek pemihakan itu tidak boleh simplisit berkeinginan mengabarkan nafsu yang kelewat besar dalam hal menyamaratakan orang dan mengelompokkannya secara binner?bersihadapan. Laku generalisasi simplisit itu yang ingin saya tekankan dengan esai singkat ini. Bahwa ada orang lain di luar si X yang selama ini menjadi ciri khas boemipotra tadi.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Februari 2013
No comments:
Post a Comment