-- Fanny J Poyk
Gerson Poyk yang lahir di Namodale, Baa, Rote, Nusa Tnggara Timur, 16 Juni 1931, terpilih sebagai pemenang kategori sastra dan humaniora di ajang Nusa Tenggara Timur (NTT) Academia Award. Penyerahan hadiah berlangsung di Rektorat Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, NTT 19 Januari lalu. Penghargaan ini hampir bisa di sebut sebagai 'nobel' khas NTT, di mana para pemenangnya merupakan mereka yang telah dan mampu berkarya secara konsisten di bidangnya, memiliki reputasi karya melalui bukti-bukti media, hasil penelitian, dan buku yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain sastra dan humaniora, juga diberikan penghargaan bidang Science and Engineering kepada Dr. I Wayan Mudita, Lifetime Achievement Dr. Aloysius Benedictus Mboi Mph, dan Social & Policy Entrepreneur kepada Maria Mediatrix Mali.
NTT Academia Award merupakan forum Academia NTT (FAN) yang beranggotakan 543 anak NTT yang tersebar di berbagai belahan dunia. Kegiatan ini memasuki usia yang keempat dan hadiah yang diberikan kepada pemenangnya merupakan bakti kepedulian terhadap para inovator yang sudah menyumbangkan segala bentuk perhatian dan kepeduliannya pada NTT.
Gerson Poyk juga pernah memeroleh penghargaan bidang jurnalistik seperti Adinegoro pada tahun 1985 dan 1986 dari PWI Pusat, South East Asian Writers (SEA) tahun 1989, Lifetime Achievement Award Kompas, dan anugerah kebudayaan sebagai maestro seni dan budaya dari pemerintah.
Kini Gerson lebh banyak meluangkan waktunya untuk menulis novel, cerpen dan drama. Untuk bidang sastra, ratusan cerpen dan novel, essay, laporan jurnalistik, telah dihasilkannya. Novel dan kumpulan cerpennya yang memberi warna khazanah sastra Indonesia antara lain, Hari-Hari Pertama (1964), Sang Guru (1971), Jerat (1978), Cumbuan Sabana (1979), Giring-Giring (1982), Doa Perkabungan (1987), Poti Wolo (1988), Oleng-Kemoleng dan Surat-Surat Cinta Alexander Rajaguguk (1975), Nostalgia Nusa Tenggara (1976), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requeiem untuk Seorang Perempuan (1983), Mutiara di Tengah Sawah (1984) Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988), Negeri Lintasan Petir (2009) dan Eno Molas di Lembah Lingko (2009).
Pada kuliah umumnya di hadapan para mahasiswa/i Universitas Kristen Arthe Wacana, Kupang, NTT, Gerson bertutur, kita hidup di dunia ini menghadapi kendala absurd. Absurd berarti kontradiktif dan imposible (ketidakmungkinan/mustahil). Yang absurd di dunia ini beragam dan yang paling mutlak adalah ajal. Manusia itu sebenarnya lebih sengsara dari ayam, seekor ayam akan terus makan dan dia tidak sadar perlahan-lahan akan mati.Tapi manusia, meski dia hidup kemudian beranak cucu, lalu mencari pekerjaan dan mencari kekayaan, di otaknya tetap terbayang akan datangnya "ajal".
Selain kematian, alam juga absurd. Manusia mengatakan kembali ke alam akan senang, akan tetapi sebenarnya alam itu liar, di dalamnya sangat berbahaya, dan ini kontradiktif dengan gaung yang sekarang terus bergema untuk kembali kepada alam.
Selain alam, manusia memiliki ambang batas kebaikan, sekali kita ajak bercanda dia akan senang, namun kalau keterlaluan dia marah. Jadi di satu sisi manusia memiliki segi-segi kebinatangan (inhuman). Jadi waspadalah dengan manusia.
Gerson juga melihat kondisi urbanisasi yang memprihatinkankeadaan di Indonesia. Urbanisasi itu sama dengan keterasingan dari firdaus. Sangat ironis. Manusia Indonesia terasing dari bumi subur dan laut yang kaya, datang ke kota yang penuh dengan bangunan batu, sehingga terjadi pengangguran. Kalau di desa, hidup bisa diperoleh dari padi dan sawah.
Namun di desa pun saat ini petani mulai terasing dari sawah-sawahnya, karena tanah mereka banyak yang dikuasai tuan tanah, sehingga lambat laun mereka kota, mencari pekerjaan dan berhadapan dengan belantara beton. Mereka akhirnya terasing dari bumi subur dan para nelayan terasing dari laut kaya karena bahan bakar untuk melaut sangat mencekik leher. Ini adalah kekuasaan kapitalis yang tanpa batas. Kaum kapitalis memeras tenaga buruh untuk kepentingan mereka.
Solusi untuk terlepas dari keterasingan, dalam pandangan Gerson, adalah melalui program pemerintah yaitu transmigrasi modern. Transmigrasi model ini juga harus punya perhitungan, para cendekiawan dikumpulkan untuk dimintai ide-ide mereka, ahli-ahli matematika harus membuat perhitungan kebutuhan maksimal seorang individu untuk bertransmigrasi.
Gerson juga menyarankan untuk membuat sebuah kelompok PR group, di mana di sana berkumpul teman-teman se ide, sebaya yang saling memberikan masukan dengan berdiskusi dan belajar. Melalui kelompok ini akan tercipta sebuah kampung modern, yang berasal dari beragam ide. Ide itu erat kaitannya dengan industri informasi. Di situ ada event organizer, ada panggung teater, ada kursus menulis, ada pelatihan tari, ada penyuluhan pertanian, ada IT yang bisa mengakses seluruh informasi yang ada di dunia ini. Melalui peer group teman sebaya dan sebakat, kita saling belajar, itulah yang dinamakan pendidikan modern.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 2 Februari 2013
Gerson Poyk yang lahir di Namodale, Baa, Rote, Nusa Tnggara Timur, 16 Juni 1931, terpilih sebagai pemenang kategori sastra dan humaniora di ajang Nusa Tenggara Timur (NTT) Academia Award. Penyerahan hadiah berlangsung di Rektorat Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, NTT 19 Januari lalu. Penghargaan ini hampir bisa di sebut sebagai 'nobel' khas NTT, di mana para pemenangnya merupakan mereka yang telah dan mampu berkarya secara konsisten di bidangnya, memiliki reputasi karya melalui bukti-bukti media, hasil penelitian, dan buku yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain sastra dan humaniora, juga diberikan penghargaan bidang Science and Engineering kepada Dr. I Wayan Mudita, Lifetime Achievement Dr. Aloysius Benedictus Mboi Mph, dan Social & Policy Entrepreneur kepada Maria Mediatrix Mali.
NTT Academia Award merupakan forum Academia NTT (FAN) yang beranggotakan 543 anak NTT yang tersebar di berbagai belahan dunia. Kegiatan ini memasuki usia yang keempat dan hadiah yang diberikan kepada pemenangnya merupakan bakti kepedulian terhadap para inovator yang sudah menyumbangkan segala bentuk perhatian dan kepeduliannya pada NTT.
Gerson Poyk juga pernah memeroleh penghargaan bidang jurnalistik seperti Adinegoro pada tahun 1985 dan 1986 dari PWI Pusat, South East Asian Writers (SEA) tahun 1989, Lifetime Achievement Award Kompas, dan anugerah kebudayaan sebagai maestro seni dan budaya dari pemerintah.
Kini Gerson lebh banyak meluangkan waktunya untuk menulis novel, cerpen dan drama. Untuk bidang sastra, ratusan cerpen dan novel, essay, laporan jurnalistik, telah dihasilkannya. Novel dan kumpulan cerpennya yang memberi warna khazanah sastra Indonesia antara lain, Hari-Hari Pertama (1964), Sang Guru (1971), Jerat (1978), Cumbuan Sabana (1979), Giring-Giring (1982), Doa Perkabungan (1987), Poti Wolo (1988), Oleng-Kemoleng dan Surat-Surat Cinta Alexander Rajaguguk (1975), Nostalgia Nusa Tenggara (1976), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requeiem untuk Seorang Perempuan (1983), Mutiara di Tengah Sawah (1984) Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988), Negeri Lintasan Petir (2009) dan Eno Molas di Lembah Lingko (2009).
Pada kuliah umumnya di hadapan para mahasiswa/i Universitas Kristen Arthe Wacana, Kupang, NTT, Gerson bertutur, kita hidup di dunia ini menghadapi kendala absurd. Absurd berarti kontradiktif dan imposible (ketidakmungkinan/mustahil). Yang absurd di dunia ini beragam dan yang paling mutlak adalah ajal. Manusia itu sebenarnya lebih sengsara dari ayam, seekor ayam akan terus makan dan dia tidak sadar perlahan-lahan akan mati.Tapi manusia, meski dia hidup kemudian beranak cucu, lalu mencari pekerjaan dan mencari kekayaan, di otaknya tetap terbayang akan datangnya "ajal".
Selain kematian, alam juga absurd. Manusia mengatakan kembali ke alam akan senang, akan tetapi sebenarnya alam itu liar, di dalamnya sangat berbahaya, dan ini kontradiktif dengan gaung yang sekarang terus bergema untuk kembali kepada alam.
Selain alam, manusia memiliki ambang batas kebaikan, sekali kita ajak bercanda dia akan senang, namun kalau keterlaluan dia marah. Jadi di satu sisi manusia memiliki segi-segi kebinatangan (inhuman). Jadi waspadalah dengan manusia.
Gerson juga melihat kondisi urbanisasi yang memprihatinkankeadaan di Indonesia. Urbanisasi itu sama dengan keterasingan dari firdaus. Sangat ironis. Manusia Indonesia terasing dari bumi subur dan laut yang kaya, datang ke kota yang penuh dengan bangunan batu, sehingga terjadi pengangguran. Kalau di desa, hidup bisa diperoleh dari padi dan sawah.
Namun di desa pun saat ini petani mulai terasing dari sawah-sawahnya, karena tanah mereka banyak yang dikuasai tuan tanah, sehingga lambat laun mereka kota, mencari pekerjaan dan berhadapan dengan belantara beton. Mereka akhirnya terasing dari bumi subur dan para nelayan terasing dari laut kaya karena bahan bakar untuk melaut sangat mencekik leher. Ini adalah kekuasaan kapitalis yang tanpa batas. Kaum kapitalis memeras tenaga buruh untuk kepentingan mereka.
Solusi untuk terlepas dari keterasingan, dalam pandangan Gerson, adalah melalui program pemerintah yaitu transmigrasi modern. Transmigrasi model ini juga harus punya perhitungan, para cendekiawan dikumpulkan untuk dimintai ide-ide mereka, ahli-ahli matematika harus membuat perhitungan kebutuhan maksimal seorang individu untuk bertransmigrasi.
Gerson juga menyarankan untuk membuat sebuah kelompok PR group, di mana di sana berkumpul teman-teman se ide, sebaya yang saling memberikan masukan dengan berdiskusi dan belajar. Melalui kelompok ini akan tercipta sebuah kampung modern, yang berasal dari beragam ide. Ide itu erat kaitannya dengan industri informasi. Di situ ada event organizer, ada panggung teater, ada kursus menulis, ada pelatihan tari, ada penyuluhan pertanian, ada IT yang bisa mengakses seluruh informasi yang ada di dunia ini. Melalui peer group teman sebaya dan sebakat, kita saling belajar, itulah yang dinamakan pendidikan modern.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 2 Februari 2013
No comments:
Post a Comment