Data Buku
Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat
Al Hamid Jakfar Al Qadr
Mizan, Bandung
I, Desember 2012
xvii 117 hlm.
MENJAMUR pemikiran radikal dan ekstrem yang tidak toleran dengan kelompok lain di negeri ini sangat mengkhawatirkan. Jika sampai menyentuh akar rumput, akibatnya fatal. Pertikaian atas nama agama terjadi karena pemikiran radikal. Di antaranya karena cengkeraman fanatisme, tidak paham ajaran agama secara menyeluruh, ataupun karena mempertahankan suatu legitimasi, baik sosial ataupun politik. Ironisnya, semua ini mengatasnamakan agama.
Realitas seperti itulah yang menggerakkan Al-Hamid Jakfar Al-Qadri, intelektual muda dari Indonesia, lulusan Sekolah Darul Musthafa, Tarim, Hadramaut, Yaman, menulis buku dengan judul Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat.
Darul Musthafa sendiri, sebagaimana diberitakan New York Times (2009), adalah tempat yang multikutural, banyak pelajar dari Indonesia hingga California. Buku ini merupakan intisari dari pemikiran Al-Habib Umar bin Hafizh?guru dari Al-Qadri sekaligus pengasuh Sekolah Darul Musthafa?dalam menyikapi perbedaan dan upayanya membangun perdamaian dan persatuan umat yang tertuang dalam makalah maupun pidato-pidato Al-Habib Umar bin Hafizh.
Di awal pembahasan buku ini, Al-Qadri menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan pesan-pesan agama, baik itu berupa ketentuan yang sudah pasti (qath?i) ataupun yang masih bersifat dugaan (zhanni). Pada awalnya, siapa pun orangnya, baik sahabat Nabi, tabi?in, para mujtahid, cendekiawan muslim, apalagi orang awam tidak boleh mengotak-atik ketentuan itu. Sementara pada ranah kedua inilah yang masih memungkinkan terjadinya banyak penafsiran dan ijtihad. Sehingga, ketika terjadi perbedaan pendapat, tidak boleh menganggap kelompoknya paling benar sendiri dan kelompok lain salah (hlm. 3).
Jika memang perbedaan itu adalah sunnatullah di muka bumi ini, ada dua ketentuan yang harus diperhatikan dalam menyikapinya. Pertama, toleran ketika berbeda. Hal ini bisa direpresentasikan dengan menghormati pendapat yang berbeda, bersikap objektif, tidak memusuhi pemilik pendapat yang berbeda, menyepakati demi menjaga persatuan, dan memaklumi perbedaan yang terjadi.
Kedua, tidak saling mengafirkan dan menyesatkan. Para ulama sendiri sangat berhati-hati sekali terhadap masalah ini. Sebab, seorang yang divonis kafir darahnya menjadi halal, halal hartanya. Jika meninggal, tidak boleh disalati dan berbagai konsekuensi lainnya. Terkait hal ini, Al-Ghazali pernah berkata, ?Salah karena membiarkan seribu orang kafir hidup itu lebih ringan dibandingkan menumpahkan darah satu orang Muslim.? (hlm. 21?28).
Selain membangun persaudaraan dan persatuan antarumat Islam, Al-Habib Umar bin Hafizh juga berusaha membangun perdamaian dengan kelompok nonmuslim. Di mana ia termasuk salah satu penandatangan dari dua dokumen internasional yang berpengaruh, yaitu Risalah Amman (2005) dan Common Word (2007).
Kedua dokumen ini ditandatangani oleh tokoh-tokoh muslim dunia, termasuk beberapa pemimpin muslim Indonesia. Buku yang ditulis dengan bahasa renyah dan mudah dipahami ini juga memaparkan konsep persatuan dan perdamaian menurut para ulama dari negeri penyebar Islam di Nusantara: Hadhramaut, Yaman, seperti Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, Imam Faqih Al-Muqaddam, Al-Habib Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syahab, dan lain-lain.
Selain itu, kelebihan dari buku ini adalah sikap moderat dari penulisnya. Artinya, ia tidak terpengaruh pada pemikiran fundamentalisme maupun liberalisme. Secara keseluruhan, buku ini sangat bermanfaaat dalam rangka membangun koeksistensi kehidupan beragama, terlebih dalam masyarakat yang mejemuk seperti di Indonesia. Dengan adanya buku ini, pembaca diharap dapat bersikap bijak dalam memahami sebuah perbedaan.
Zainal F. Marjuni, Mahasiswa Al-Ahgaff University, Hadhramaut-Yaman
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2013
Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat
Al Hamid Jakfar Al Qadr
Mizan, Bandung
I, Desember 2012
xvii 117 hlm.
MENJAMUR pemikiran radikal dan ekstrem yang tidak toleran dengan kelompok lain di negeri ini sangat mengkhawatirkan. Jika sampai menyentuh akar rumput, akibatnya fatal. Pertikaian atas nama agama terjadi karena pemikiran radikal. Di antaranya karena cengkeraman fanatisme, tidak paham ajaran agama secara menyeluruh, ataupun karena mempertahankan suatu legitimasi, baik sosial ataupun politik. Ironisnya, semua ini mengatasnamakan agama.
Realitas seperti itulah yang menggerakkan Al-Hamid Jakfar Al-Qadri, intelektual muda dari Indonesia, lulusan Sekolah Darul Musthafa, Tarim, Hadramaut, Yaman, menulis buku dengan judul Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat.
Darul Musthafa sendiri, sebagaimana diberitakan New York Times (2009), adalah tempat yang multikutural, banyak pelajar dari Indonesia hingga California. Buku ini merupakan intisari dari pemikiran Al-Habib Umar bin Hafizh?guru dari Al-Qadri sekaligus pengasuh Sekolah Darul Musthafa?dalam menyikapi perbedaan dan upayanya membangun perdamaian dan persatuan umat yang tertuang dalam makalah maupun pidato-pidato Al-Habib Umar bin Hafizh.
Di awal pembahasan buku ini, Al-Qadri menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan pesan-pesan agama, baik itu berupa ketentuan yang sudah pasti (qath?i) ataupun yang masih bersifat dugaan (zhanni). Pada awalnya, siapa pun orangnya, baik sahabat Nabi, tabi?in, para mujtahid, cendekiawan muslim, apalagi orang awam tidak boleh mengotak-atik ketentuan itu. Sementara pada ranah kedua inilah yang masih memungkinkan terjadinya banyak penafsiran dan ijtihad. Sehingga, ketika terjadi perbedaan pendapat, tidak boleh menganggap kelompoknya paling benar sendiri dan kelompok lain salah (hlm. 3).
Jika memang perbedaan itu adalah sunnatullah di muka bumi ini, ada dua ketentuan yang harus diperhatikan dalam menyikapinya. Pertama, toleran ketika berbeda. Hal ini bisa direpresentasikan dengan menghormati pendapat yang berbeda, bersikap objektif, tidak memusuhi pemilik pendapat yang berbeda, menyepakati demi menjaga persatuan, dan memaklumi perbedaan yang terjadi.
Kedua, tidak saling mengafirkan dan menyesatkan. Para ulama sendiri sangat berhati-hati sekali terhadap masalah ini. Sebab, seorang yang divonis kafir darahnya menjadi halal, halal hartanya. Jika meninggal, tidak boleh disalati dan berbagai konsekuensi lainnya. Terkait hal ini, Al-Ghazali pernah berkata, ?Salah karena membiarkan seribu orang kafir hidup itu lebih ringan dibandingkan menumpahkan darah satu orang Muslim.? (hlm. 21?28).
Selain membangun persaudaraan dan persatuan antarumat Islam, Al-Habib Umar bin Hafizh juga berusaha membangun perdamaian dengan kelompok nonmuslim. Di mana ia termasuk salah satu penandatangan dari dua dokumen internasional yang berpengaruh, yaitu Risalah Amman (2005) dan Common Word (2007).
Kedua dokumen ini ditandatangani oleh tokoh-tokoh muslim dunia, termasuk beberapa pemimpin muslim Indonesia. Buku yang ditulis dengan bahasa renyah dan mudah dipahami ini juga memaparkan konsep persatuan dan perdamaian menurut para ulama dari negeri penyebar Islam di Nusantara: Hadhramaut, Yaman, seperti Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, Imam Faqih Al-Muqaddam, Al-Habib Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syahab, dan lain-lain.
Selain itu, kelebihan dari buku ini adalah sikap moderat dari penulisnya. Artinya, ia tidak terpengaruh pada pemikiran fundamentalisme maupun liberalisme. Secara keseluruhan, buku ini sangat bermanfaaat dalam rangka membangun koeksistensi kehidupan beragama, terlebih dalam masyarakat yang mejemuk seperti di Indonesia. Dengan adanya buku ini, pembaca diharap dapat bersikap bijak dalam memahami sebuah perbedaan.
Zainal F. Marjuni, Mahasiswa Al-Ahgaff University, Hadhramaut-Yaman
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2013
No comments:
Post a Comment