-- Riza Multazam Luthfy
DALAM tarafnya masing-masing, puisi dan korupsi sama-sama menjanjikan kenikmatan tiada tara. Keduanya sanggup membawa penikmatnya melayang ke udara sembari menapaki tangga pelangi di cakrawala. Alangkah hebatnya! Dengan puisi, seseorang sanggup menyelami keping-keping rahasia semesta. Pun betapa ajaibnya! Melalui korupsi, seseorang mampu meresapi bebulir dosa dan kebejatannya.
Sesuai kapasitasnya, puisi menghidangkan asupan nilai guna memperkaya jiwa. Adapun korupsi ringan menghibahkan penyakit radang sukma. Atas dasar itulah, menilik kedahsyatan puisi dan korupsi, para sastrawan mengombinasikan keduanya dalam karya-karya mereka. Seperti halnya Remy Sylado (2004) yang melahirkan puisi bertitel “Seorang Prajurit Memulai Korupsi dengan Sumpritan Seharga Rp200”: Satu prit/ Jigo// Empat prit/ Cepek// Delapan prit/ Kembali pokok.
Korupsi Lebih Najis dari Babi
Melukiskan kegalauannya, Gus Mus pernah menulis puisi berjudul ‘’Ada Apa dengan Kalian’’: Bila karena merusak kesehatan, rokok kalian benci/ Mengapa kalian diamkan korupsi/ Yang kadar memabukkannya jauh lebih tinggi/ Bila karena najis, babi kalian musuhi/ Mengapa kalian abaikan korupsi/ Yang lebih menjijikkan ketimbang kotoran seribu babi.
Dalam puisi yang diaktualisasikan secara terbuka tersebut, betapa korupsi dijelmakan menjadi barang yang harus dijauhi. Dijauhi karena mengandung daya mabuk luar biasa, sehingga bisa mengantar penikmatnya hilang kesadaran lalu mengamuk, membabibuta. Parahnya lagi, jika didera ketagihan, maka tak ayal baginya untuk melakukan apapun demi mengetam berbagai ragam khasiat yang dimuat serta merasakan ‘sensasi’-nya.
Korupsi digambarkan pula selaku barang dengan kadar najis selangit. Saking najisnya, bahkan ia lebih najis dari kotoran babi. Padahal dalam Islam, babi adalah hewan najis, yang apabila dijilat, maka seseorang wajib membasuh bagian tubuh yang terkena jilatan itu sebanyak tujuh kali dan salah satu diantarannya dengan air bercampur tanah. Sedemikian hina-dinanya, sebagian orang-orang fasik, orang-orang yang dimurkai Tuhan, menelan kutukan menjadi kera dan babi (surah al-Maidah: 60).
Babi juga dilarang untuk dikonsumsi. Nash Alquran mengharamkan atas hewan yang serat dagingnya memuat cacing pita itu dalam surah al-Baqarah: 173, al-Maidah: 3, dan an-Nahl: 115.
Menurut hikmatu at-tasyri’ (hikmah ditetapkannya suatu syariat), suatu larangan menyimpan mafsadah (kerusakan). Ini berarti, ‘berdasar pada puisi Gus Mus di atas’ bahaya serta kandungan kerusakan pada korupsi jauh lebih besar daripada tubuh babi.
Peti Mati bagi Koruptor
Dalam buku puisi Anak Mencari Tuhan yang dikemas satu paket dengan Pertempuran Rahasia Anggitan Triyanto Triwikromo (Gramedia Pustaka Utama, 2010), Nugroho Suksmanto sempat menuturkan kegelisahan akan korupsi. Berbekal racikan kata sederhana, Nugroho Suksmanto menapak ikhtiar dalam rangka menyuguhkan ‘sesuatu yang paradoks’ dalam korupsi -dengan ketus dan genit, pada puisi bertajuk ‘’di China dan di Kita’’: Di China/ Pemimpinnya keji/ Saat memberantas korupsi/ Tak segan menembak mati// Di Kita/ Para pemimpin baik hati/ Berderma dari hasil korupsi/ Pergi haji berkali-kali.
Dari puisi di atas, tampaklah bahwa Cina membentangkan ketegasan membabibuta. Ketegasan yang mengungkap bahwa guna memberantas korupsi, membenamkan nyawa penikmatnya merupakan pilihan paling tepat. Tidak seperti di negeri kita (Indonesia), yang justru pemimpinnya menjadikan rupiah hasil korupsi untuk bersedekah, bahkan berangkat ke Makkah.
Bukan sebiji kebetulan jika Nugroho Suksmanto mendayagunakan Cina dalam puisinya. Sudah barang tentu, kata tersebut telah melewati penyortiran yang matang. Mengapa? Sebab, Cina adalah salah satu teladan dunia dalam mengatasi korupsi. Sesiapa yang terbukti tersentuh korupsi, maka ia harus bersigap memeluk ajal esok hari. Akibat kegigihan dan keberaniannya, Cina pernah menadah peringkat terpuji dalam ‘’Indeks Persepsi Korupsi’’ (CPI) maupun ‘’Indeks Transparansi’’ (TI): berindeks 3,1; sejajar dengan Mesir.
Puncak dari tekad memberangus korupsi itu ialah ketika Presiden Hu Jintao (mulai berkuasa tahun 2003) berikrar menyediakan 100 peti mati untuk para koruptor dan 1 peti untuk dirinya sendiri, kalau ia juga terendus korupsi. Suatu pernyataan yang mengindikasikan simbol dari perwujudan hasrat seorang pemimpin bertanggung jawab.
Wacana pemberlakuan hukuman mati kepada para koruptor perlu mendapat angin baru. Kaum pengganyang uang negara sudah saatnya dijejali hukuman mati, karena selama ini hukuman bui enggan memberikan efek jera (deterrent effect) bagi mereka. Sebenarnya, dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati genap terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayang, dalam realitasnya pemerintah belum beraniatau lebih tepatnya belum punya nyali, secara tegas menerapkannya, sehingga para koruptor masih bisa menghisap rokok sambil ongkang-ongkang kaki.
Penerapan hukuman mati bagi koruptor merupakan hal yang patut dilaksanakan. Sanksi tersebut bukanlah bersifat bengis atau kejam, karena korupsi tergolong crimes against humanity (kejahatan terhadap umat manusia), bukan lagi sekadar extraordinary crime (kejahatan luar biasa), dimana penikmatnya layak mengunyah balasan seberat-beratnya. Mengingat, bahwa korupsi rentan menetaskan dampak negatif yang tidak hanya membahayakan orang seorang, namun masyarakat secara keseluruhan.
Sudah semestinya hukuman perampasan ajal bagi koruptor mengantongi status primum remedium, di mana sanksi pidana dimanfaatkan selaku sarana utama dan pertama kali diancamkan dalam suatu ketentuan Undang-Undang, bukan lagi ultimum remedium, yang mempergunakan sanksi pidana manakala sanksi perdata maupun sanksi administratif sudah tidak berdaya.
Penerapan sanksi merupakan di antara jalan mengayuh tujuan masyarakat: the greates happiness of the greates number, dalam ungkapan Jeremy Bentham (1748-1832). Meminjam apa yang dilontarkan oleh pendiri utilitarisme individual tersebut, kejahatan menghilangkan kebahagiaan manusia dan penghukuman memastikan keamanan yang merupakan fondasi kebahagiaan. Walau tampak jahat, hanya dengan menerapkan sebuah sistem paksaan rasional, pemerintah dapat menyokong kebahagiaan para warga. Raibnya kebahagiaan (atau kebalikannya, terjadinya kebahagiaan) merupakan basis utama untuk menghukum para pelaku kejahatan. Semakin seorang pelaku kejahatan ‘mengganggu kebahagiaan’, semakin ‘besar tuntutan kebahagiaan untuk menjatuhkan hukuman’. (Richard Schoch, 2009)
Jogjakarta, 2012
Riza Multazam Luthfy, Menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Analisa, Waspada dan lain-lain. Ia adalah ahlul mahad Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Februari 2013
DALAM tarafnya masing-masing, puisi dan korupsi sama-sama menjanjikan kenikmatan tiada tara. Keduanya sanggup membawa penikmatnya melayang ke udara sembari menapaki tangga pelangi di cakrawala. Alangkah hebatnya! Dengan puisi, seseorang sanggup menyelami keping-keping rahasia semesta. Pun betapa ajaibnya! Melalui korupsi, seseorang mampu meresapi bebulir dosa dan kebejatannya.
Sesuai kapasitasnya, puisi menghidangkan asupan nilai guna memperkaya jiwa. Adapun korupsi ringan menghibahkan penyakit radang sukma. Atas dasar itulah, menilik kedahsyatan puisi dan korupsi, para sastrawan mengombinasikan keduanya dalam karya-karya mereka. Seperti halnya Remy Sylado (2004) yang melahirkan puisi bertitel “Seorang Prajurit Memulai Korupsi dengan Sumpritan Seharga Rp200”: Satu prit/ Jigo// Empat prit/ Cepek// Delapan prit/ Kembali pokok.
Korupsi Lebih Najis dari Babi
Melukiskan kegalauannya, Gus Mus pernah menulis puisi berjudul ‘’Ada Apa dengan Kalian’’: Bila karena merusak kesehatan, rokok kalian benci/ Mengapa kalian diamkan korupsi/ Yang kadar memabukkannya jauh lebih tinggi/ Bila karena najis, babi kalian musuhi/ Mengapa kalian abaikan korupsi/ Yang lebih menjijikkan ketimbang kotoran seribu babi.
Dalam puisi yang diaktualisasikan secara terbuka tersebut, betapa korupsi dijelmakan menjadi barang yang harus dijauhi. Dijauhi karena mengandung daya mabuk luar biasa, sehingga bisa mengantar penikmatnya hilang kesadaran lalu mengamuk, membabibuta. Parahnya lagi, jika didera ketagihan, maka tak ayal baginya untuk melakukan apapun demi mengetam berbagai ragam khasiat yang dimuat serta merasakan ‘sensasi’-nya.
Korupsi digambarkan pula selaku barang dengan kadar najis selangit. Saking najisnya, bahkan ia lebih najis dari kotoran babi. Padahal dalam Islam, babi adalah hewan najis, yang apabila dijilat, maka seseorang wajib membasuh bagian tubuh yang terkena jilatan itu sebanyak tujuh kali dan salah satu diantarannya dengan air bercampur tanah. Sedemikian hina-dinanya, sebagian orang-orang fasik, orang-orang yang dimurkai Tuhan, menelan kutukan menjadi kera dan babi (surah al-Maidah: 60).
Babi juga dilarang untuk dikonsumsi. Nash Alquran mengharamkan atas hewan yang serat dagingnya memuat cacing pita itu dalam surah al-Baqarah: 173, al-Maidah: 3, dan an-Nahl: 115.
Menurut hikmatu at-tasyri’ (hikmah ditetapkannya suatu syariat), suatu larangan menyimpan mafsadah (kerusakan). Ini berarti, ‘berdasar pada puisi Gus Mus di atas’ bahaya serta kandungan kerusakan pada korupsi jauh lebih besar daripada tubuh babi.
Peti Mati bagi Koruptor
Dalam buku puisi Anak Mencari Tuhan yang dikemas satu paket dengan Pertempuran Rahasia Anggitan Triyanto Triwikromo (Gramedia Pustaka Utama, 2010), Nugroho Suksmanto sempat menuturkan kegelisahan akan korupsi. Berbekal racikan kata sederhana, Nugroho Suksmanto menapak ikhtiar dalam rangka menyuguhkan ‘sesuatu yang paradoks’ dalam korupsi -dengan ketus dan genit, pada puisi bertajuk ‘’di China dan di Kita’’: Di China/ Pemimpinnya keji/ Saat memberantas korupsi/ Tak segan menembak mati// Di Kita/ Para pemimpin baik hati/ Berderma dari hasil korupsi/ Pergi haji berkali-kali.
Dari puisi di atas, tampaklah bahwa Cina membentangkan ketegasan membabibuta. Ketegasan yang mengungkap bahwa guna memberantas korupsi, membenamkan nyawa penikmatnya merupakan pilihan paling tepat. Tidak seperti di negeri kita (Indonesia), yang justru pemimpinnya menjadikan rupiah hasil korupsi untuk bersedekah, bahkan berangkat ke Makkah.
Bukan sebiji kebetulan jika Nugroho Suksmanto mendayagunakan Cina dalam puisinya. Sudah barang tentu, kata tersebut telah melewati penyortiran yang matang. Mengapa? Sebab, Cina adalah salah satu teladan dunia dalam mengatasi korupsi. Sesiapa yang terbukti tersentuh korupsi, maka ia harus bersigap memeluk ajal esok hari. Akibat kegigihan dan keberaniannya, Cina pernah menadah peringkat terpuji dalam ‘’Indeks Persepsi Korupsi’’ (CPI) maupun ‘’Indeks Transparansi’’ (TI): berindeks 3,1; sejajar dengan Mesir.
Puncak dari tekad memberangus korupsi itu ialah ketika Presiden Hu Jintao (mulai berkuasa tahun 2003) berikrar menyediakan 100 peti mati untuk para koruptor dan 1 peti untuk dirinya sendiri, kalau ia juga terendus korupsi. Suatu pernyataan yang mengindikasikan simbol dari perwujudan hasrat seorang pemimpin bertanggung jawab.
Wacana pemberlakuan hukuman mati kepada para koruptor perlu mendapat angin baru. Kaum pengganyang uang negara sudah saatnya dijejali hukuman mati, karena selama ini hukuman bui enggan memberikan efek jera (deterrent effect) bagi mereka. Sebenarnya, dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati genap terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayang, dalam realitasnya pemerintah belum beraniatau lebih tepatnya belum punya nyali, secara tegas menerapkannya, sehingga para koruptor masih bisa menghisap rokok sambil ongkang-ongkang kaki.
Penerapan hukuman mati bagi koruptor merupakan hal yang patut dilaksanakan. Sanksi tersebut bukanlah bersifat bengis atau kejam, karena korupsi tergolong crimes against humanity (kejahatan terhadap umat manusia), bukan lagi sekadar extraordinary crime (kejahatan luar biasa), dimana penikmatnya layak mengunyah balasan seberat-beratnya. Mengingat, bahwa korupsi rentan menetaskan dampak negatif yang tidak hanya membahayakan orang seorang, namun masyarakat secara keseluruhan.
Sudah semestinya hukuman perampasan ajal bagi koruptor mengantongi status primum remedium, di mana sanksi pidana dimanfaatkan selaku sarana utama dan pertama kali diancamkan dalam suatu ketentuan Undang-Undang, bukan lagi ultimum remedium, yang mempergunakan sanksi pidana manakala sanksi perdata maupun sanksi administratif sudah tidak berdaya.
Penerapan sanksi merupakan di antara jalan mengayuh tujuan masyarakat: the greates happiness of the greates number, dalam ungkapan Jeremy Bentham (1748-1832). Meminjam apa yang dilontarkan oleh pendiri utilitarisme individual tersebut, kejahatan menghilangkan kebahagiaan manusia dan penghukuman memastikan keamanan yang merupakan fondasi kebahagiaan. Walau tampak jahat, hanya dengan menerapkan sebuah sistem paksaan rasional, pemerintah dapat menyokong kebahagiaan para warga. Raibnya kebahagiaan (atau kebalikannya, terjadinya kebahagiaan) merupakan basis utama untuk menghukum para pelaku kejahatan. Semakin seorang pelaku kejahatan ‘mengganggu kebahagiaan’, semakin ‘besar tuntutan kebahagiaan untuk menjatuhkan hukuman’. (Richard Schoch, 2009)
Jogjakarta, 2012
Riza Multazam Luthfy, Menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Analisa, Waspada dan lain-lain. Ia adalah ahlul mahad Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Februari 2013
No comments:
Post a Comment