-- Iwan Kurniawan
Taufik Ismail membacakan puisi religius dengan khusyuk, Ahmadun berapi-api dalam mengingat Sang Khalik.
BACA PUISI: Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda saat membacakan sebuah puisi di Taman Ismail Marzuki, Selasa (19/2). (MI/ANGGA YUNIAR)
SAMBIL merapikan pecinya, penyair Taufik Ismail, 77, melangkah perlahan dari sudut kiri deretan kursi penonton menuju ke sebuah panggung. Wajahnya masih terlihat segar malam itu.
Tubuhnya yang tua sudah sedikit membungkuk, tapi panggilan jiwa untuk bersajak seakan tak pernah lekang. Sesekali ia terbata-bata saat berbicara. Sesekali pula ia tersenyum ranum.
Kala tampil membacakan sajak pada Kongres Internasional Nabi Muhammad SAW dalam Literatur Puisi Persia dan Melayu, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini, Taufik begitu menjiwai setiap lirik demi lirik.
Malam itu, Taufik menyiapkan empat puisi untuk dibacakan. Keempat puisi itu ialah Janganlah Kiranya Ditutupkan Cahaya Quran, Rasulullah Menyuruh Kita, Mengenang Awal Sejarah Kita, dan Rindu Kami Padamu, Ya Rasul.
'Pada malam kedua belas Rabiul Awwal bulannyaEmpat belas abad silam masanyalahirlah sang bayi sangat utama Yang telah ditunggu-tunggu oleh jagat semesta raya dan seisinya....'
'Dua puluh tiga tahun dilaksanakan Di Mekkah dan Madinah sebagai permulaan Akhirnya ke seluruh penjuru dunia membawa perubahan....' Taufik lantang membacakan karyanya itu berjudul Rindu Kami Padamu, Ya Rasul.
Gaya pembacaan sajak di atas panggung cukup sederhana. Dengan pakaian batik rapi, ia tampak santai. Itu menunjukkan Taufik adalah seorang penyair Angkatan 66 yang masih memiliki karisma dalam dunia kesusastraan.
Selain Taufik, ada pula sederet penyair seperti Jamal D Rahman, Ahmadun Yosi Herfanda, Fatin Hamama, dan Abdul Hadi WM. Ada pula penyair asal Malaysia Mukhari Lubis dan Rabani dari Iran.
"Lewat kongres ini, kita ingin mendekatkan budaya antara Indonesia dan Iran lewat kesusastraan. Bangsa Persia pernah masuk ke Tanah Melayu dalam menyebarkan Islam," ujar Taufik seusai pementasan.
Malam itu semua penyair membacakan puisi-puisi bernapaskan Islam dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Setiap sajak yang keluar serupa doa-doa dan merindukan Sang Pencipta.
Fatin membacakan Maulid dengan penuh penjiwaan. Suaranya terdengar lantang dan konsisten. 'Dibiarkannya api kobarTak dihiraukannya kota terbakar Kakek yang agung Dengan takzim penuh damai Menanti saat-saat hadir Lahirnya cucu si bayi yatim'.
Pujian
Pembacaan puisi penyair Indonesia hingga Iran menunjukkan ada sebuah kesamaan. Para penyair mencoba mendekatkan diri lewat setiap helaan napas.
Bila dicermati, puisi pujian kepada Nabi Muhammad di dalam sastra Arab disebut mada'ih al-nabawiyah yang kemudian disebut mada'ih.
Meski para penyair telah menulisnya, kebangkitan genre itu dalam kesastraan Islam bermula pada abad ke-12. Dalam sastra Arab, hal tersebut tampak dalam Qasida al-Burda karya Syekh al-Busiri. Adapun dalam sastra Persia tampak pada sajak-sajak Syekh Fariduddin Attar. Sampai pada abad ke-18, penulis mada'ih umumnya adalah kaum sufi. Tak mengherankan apabila genre ini digolongkan sebagai bagian dalam kesusastraan sufi.
"Politik memecah belah, tetapi budaya menyatukan. Pengaruh budaya Persia di Indonesia begitu kuat. Ini yang membuat persahabatan lewat budaya begitu erat," tutur Abdul Hadi saat mengomentari acara tersebut.
Pembacaan puisi malam itu ditutup dengan penampilan Ahmadun. Ia begitu lantang membacakan sajaknya, Musang Berbulu Agama. Lirik yang ia baca terdengar jelas.
'Jika musang berbulu domba Berbahaya bagi anak ayam Yang tak tahu kapan akan diterkam Jika musang berbulu agama Berbahaya bagi semua anak bangsa Yang tak sadar tiap hari dimangsa Karena si musang berpeci dan fasih mengucapkan ayat suci....'
Sebagai karya sastra, mada'ih juga ditulis para penyair nonmuslim, khususnya di India. Banyak penyair Hindu melahirkan mada'ih tanpa terlepas dari pengaruh sastra sufi seperti penyair Rumi dan Hafiz.
Malam pembacaan puisi lintas bangsa tersebut terasa sangat khusyuk. Para penyair mencoba mengekspos kerinduan kepada Sang Khalik. Bahkan, Ahmadun membacakan sajak lainnya, Tuhan, Aku Berlindung Padamu.
"Tuhan aku berlindung padamu. Dari godaan tuhan-tuhan baru. Yang bermunculan di sekelilingku...," teriak Ahmadun seraya mengepal tangan kanannya.
Pembacaan sajak religius selama 2 jam lebih memberikan sebuah arti kekhusyukan dalam meneladani Nabi Muhammad. "Ini membuat saya begitu dekat dengan teman-teman di sini," pungkas Rabani.(M-1)
Sumber: Media Indonesia, Mingggu, 24 Februari 2013
Taufik Ismail membacakan puisi religius dengan khusyuk, Ahmadun berapi-api dalam mengingat Sang Khalik.
BACA PUISI: Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda saat membacakan sebuah puisi di Taman Ismail Marzuki, Selasa (19/2). (MI/ANGGA YUNIAR)
SAMBIL merapikan pecinya, penyair Taufik Ismail, 77, melangkah perlahan dari sudut kiri deretan kursi penonton menuju ke sebuah panggung. Wajahnya masih terlihat segar malam itu.
Tubuhnya yang tua sudah sedikit membungkuk, tapi panggilan jiwa untuk bersajak seakan tak pernah lekang. Sesekali ia terbata-bata saat berbicara. Sesekali pula ia tersenyum ranum.
Kala tampil membacakan sajak pada Kongres Internasional Nabi Muhammad SAW dalam Literatur Puisi Persia dan Melayu, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini, Taufik begitu menjiwai setiap lirik demi lirik.
Malam itu, Taufik menyiapkan empat puisi untuk dibacakan. Keempat puisi itu ialah Janganlah Kiranya Ditutupkan Cahaya Quran, Rasulullah Menyuruh Kita, Mengenang Awal Sejarah Kita, dan Rindu Kami Padamu, Ya Rasul.
'Pada malam kedua belas Rabiul Awwal bulannyaEmpat belas abad silam masanyalahirlah sang bayi sangat utama Yang telah ditunggu-tunggu oleh jagat semesta raya dan seisinya....'
'Dua puluh tiga tahun dilaksanakan Di Mekkah dan Madinah sebagai permulaan Akhirnya ke seluruh penjuru dunia membawa perubahan....' Taufik lantang membacakan karyanya itu berjudul Rindu Kami Padamu, Ya Rasul.
Gaya pembacaan sajak di atas panggung cukup sederhana. Dengan pakaian batik rapi, ia tampak santai. Itu menunjukkan Taufik adalah seorang penyair Angkatan 66 yang masih memiliki karisma dalam dunia kesusastraan.
Selain Taufik, ada pula sederet penyair seperti Jamal D Rahman, Ahmadun Yosi Herfanda, Fatin Hamama, dan Abdul Hadi WM. Ada pula penyair asal Malaysia Mukhari Lubis dan Rabani dari Iran.
"Lewat kongres ini, kita ingin mendekatkan budaya antara Indonesia dan Iran lewat kesusastraan. Bangsa Persia pernah masuk ke Tanah Melayu dalam menyebarkan Islam," ujar Taufik seusai pementasan.
Malam itu semua penyair membacakan puisi-puisi bernapaskan Islam dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Setiap sajak yang keluar serupa doa-doa dan merindukan Sang Pencipta.
Fatin membacakan Maulid dengan penuh penjiwaan. Suaranya terdengar lantang dan konsisten. 'Dibiarkannya api kobarTak dihiraukannya kota terbakar Kakek yang agung Dengan takzim penuh damai Menanti saat-saat hadir Lahirnya cucu si bayi yatim'.
Pujian
Pembacaan puisi penyair Indonesia hingga Iran menunjukkan ada sebuah kesamaan. Para penyair mencoba mendekatkan diri lewat setiap helaan napas.
Bila dicermati, puisi pujian kepada Nabi Muhammad di dalam sastra Arab disebut mada'ih al-nabawiyah yang kemudian disebut mada'ih.
Meski para penyair telah menulisnya, kebangkitan genre itu dalam kesastraan Islam bermula pada abad ke-12. Dalam sastra Arab, hal tersebut tampak dalam Qasida al-Burda karya Syekh al-Busiri. Adapun dalam sastra Persia tampak pada sajak-sajak Syekh Fariduddin Attar. Sampai pada abad ke-18, penulis mada'ih umumnya adalah kaum sufi. Tak mengherankan apabila genre ini digolongkan sebagai bagian dalam kesusastraan sufi.
"Politik memecah belah, tetapi budaya menyatukan. Pengaruh budaya Persia di Indonesia begitu kuat. Ini yang membuat persahabatan lewat budaya begitu erat," tutur Abdul Hadi saat mengomentari acara tersebut.
Pembacaan puisi malam itu ditutup dengan penampilan Ahmadun. Ia begitu lantang membacakan sajaknya, Musang Berbulu Agama. Lirik yang ia baca terdengar jelas.
'Jika musang berbulu domba Berbahaya bagi anak ayam Yang tak tahu kapan akan diterkam Jika musang berbulu agama Berbahaya bagi semua anak bangsa Yang tak sadar tiap hari dimangsa Karena si musang berpeci dan fasih mengucapkan ayat suci....'
Sebagai karya sastra, mada'ih juga ditulis para penyair nonmuslim, khususnya di India. Banyak penyair Hindu melahirkan mada'ih tanpa terlepas dari pengaruh sastra sufi seperti penyair Rumi dan Hafiz.
Malam pembacaan puisi lintas bangsa tersebut terasa sangat khusyuk. Para penyair mencoba mengekspos kerinduan kepada Sang Khalik. Bahkan, Ahmadun membacakan sajak lainnya, Tuhan, Aku Berlindung Padamu.
"Tuhan aku berlindung padamu. Dari godaan tuhan-tuhan baru. Yang bermunculan di sekelilingku...," teriak Ahmadun seraya mengepal tangan kanannya.
Pembacaan sajak religius selama 2 jam lebih memberikan sebuah arti kekhusyukan dalam meneladani Nabi Muhammad. "Ini membuat saya begitu dekat dengan teman-teman di sini," pungkas Rabani.(M-1)
Sumber: Media Indonesia, Mingggu, 24 Februari 2013
No comments:
Post a Comment