-- Rian Harahap
RATUSAN orang masuk riuh dan sibuk dalam gedung pertunjukan, mencari-cari bangku yang tepat untuk diduduki. Sementara lampu panggung masih gelap dengan segala kemisterian pertunjukannya.
Seorang pria keluar dengan celana ketat dan baju yang mengecil, wajahnya penuh dengan kumis klimis kemudian menghentak keheningan panggung.
Ia menyampaikan orasi budaya yang terus berceloteh tentang sebuah kehidupan, layaknya puisi dan roda yang terus berputar. Penonton pun termangu mendengar celotehan yang terdengar seperti aktor teater.
Sekilas dengan kostum dan keanehan wajahnya, sepertinya pertunjukan di balik tirai yang belum terbuka itu pastilah sebuah garapan teater. Itulah kiranya yang akan membuat pola dan konsepsi yang berputar di kepala penonton.
Namun semuanya salah ketika tirai panggung tersibak lalu muncullah kumpulan komposisi yang padu dari berbagai alat musik.
Pertunjukan musikkah? Tentu saja kita (penonton) kembali diliarkan oleh dugaan-dugaan sementara. Sampai masuklah pada sebuah alunan musik modern yang dipenuhi techno dan dentuman tuts keyboard yang singgah di telinga.
Lampu pun memenuhi panggung proscenium anjung seni idrus tintin dengan latar siluet sebuah bangunan tinggi pencakar langit. Inilah sebuah pertunjukan yang ditaja oleh komunitas Home Poetry (HP) Medan.
Dalam pertunjukan yang ditaja dalam dua sesi ini pada Sabtu (9/2) ini, banyak sekali kejutan yang dihadirkan. Mulai dari anggapan penonton yang menganggap pertunjukan ini aneh hingga asumsi yang mendasar dan menikmati pertunjukan ini dengan konsep yang tertata rapi.
Komunitas HP dalam hal ini membuat garapan dengan judul ‘Melainkan’ yang merupakan sebuah garapan yang didasarkan pada benturan ‘kelainan’ yang ia cicipi selama menemui sebuah titik dalam musikalisasi puisi.
Dengan menggandeng sebuah prestasi juara umum nasional musikalisasi puisi pada 2011. Agaknya para juri yang memenangkannya seperti Sujiwo Tedjo, Uli Sigar Rusyadi dan Iman Soleh membuat keputusan yang tepat.
Dalam kompetisi yang dimenangkan oleh Hasan Al-Banna yang sebelumnya membawa nama sanggar Rumput Hijau SMAN 2 Binjai itu masih memiliki kekurangan disana-sini.
Dari kemenangan itulah mereka terus mencari bentuk musikalisasi puisi yang seutuhnya. Hingga membenturkan diri kembali dalam bentuk garapan musikalisasi puisi dan bertransformasi menjadi sebuah grup utuh.
Dengan sadar Hasan Al-Banna menggandeng Musikalinea yang merupakan lanjutan dari sanggar Rumput Hijau serta digabungkan dengan Musisi Dunia Akhirat yang notabene memiliki aliran musik tradisi batak dan modern.
Alunan sordam berlayar bersama kesiur angin/ Menelusuri persawahan di antara padi-padi/ Sepanjang hamparan sigalangan membakar dingin/ Dan burung-burung yang sibuk memetik hasapi. Begitulah sepenggal sajak ‘’Torsa Ni Namora Pande Bosi’’ karya M Raudah Jambak.
Puisi itu menjadi alunan keeempat yang dihadirkan ke telinga penonton. Alunan yang datang dalam bahasa musik halus, disertai pukulan ‘keteng-keteng’ alat musik khas karo dan taganing khas toba seketika menghantarkan penonton masuk dalam wilayah sumatera utara.
Dentingan kecapi dan alunan suling dan notasi yang menggetarkan sudah membuat penonton nyaman dibangkunya. Inilah mungkin sejenak keberhasilan yang diraih Hasan Al-Banna dalam membuat penonton yang nyaman hingga pertunjukan berakhir.
Belum lagi sajak yang pendek dari Sutardji Calzoum Bachri digubah dalam alunan musikalisasi puisi.
Sepisau luka sepisau duri/ sepikul dosa sepukau sepi/ sepisau duka serisau diri/ sepisau sepi sepisau nyanyi/ sepisaupa sepisaupi/ sepisapanya sepikau sepi/ sepisaupa sepisaupoi/ sepikul diri keranjang duri/ sepisaupa sepisaupi/ sepisaupa sepisaupi/sepisaupa sepisaupi/ sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi (1973).
Sajak singkat itu menjadi sangat padat tatkala komunitas HP mengaransemennya dalam notasi balok, pukulan taganing dan jimbe sampai pada tiupan seruling lalu petikan gitar hingga menyatu dan mengalunkan penonton jauh dari kesan heroic.
Padahal puisi ini banyak dibacakan dengan suara yang garang dan tatapan yang tajam.
Pada titik ini itulah ‘kelainan’; yang dinyatakan oleh Hasan Al-Banna. Ia tidak ingin membuat sebuah paradigma tentang puisi selalu dengan kesan gagah dan malah menjadi konvensi di tengah masyarakat.
Sekitar tujuh puisi dihadirkan pada pertunjukan dua sesi itu. Mereka menjadi sebuah pertunjukan yang sangat lain dalam ranah sisi musikalisasi puisi sendiri.
Keanehan itu tersebar dalam “Ceracau Sebongkah Kota”, “Rindu 1” (Hasan Al-Banna), “Cintaku Jauh di Pulau” (Chairil Anwar), “Torsa Ni Namora Pande Bosi” (M Raudah Jambak), “Sepiasupi” (Sutardji Calzoum Bachri), “Hotel Siantar” (Damiri Mahmud) dan “Akulah Medan” (Teja Purnama).
Garapan yang dengan persinggungan modernism dan tradisi. Itu sangat terlihat dalam kontrasnya alat musik yang digabung dalam alat musik yang mereka mainkan.
Sebuah taganing akan berhadapan dengan alunan gitar elektrik dengan distorsi yang keras. Maka jadilah sebuah persinggungan dan menjelaskan kegundahan dalam garapan yang bertajuk “Melainkan”.
Namun dari semua keberhasilan Hasan Al-Banna dalam membuat pertunjukan itu sangatlah berbanding terbalik ketika penonton sudah sadar pertunjukan habis.
Mereka seperti dilenakan oleh pertunjukan grup musik yang menyanyikan sebuah lagu. Apa lagi pangsa dalam pertunjukan ini adalah siswa sekolah menengah yang masih minim dalam pengajaran sastra.
Apa hal yang membuat ini terjadi? Tentu saja kita harus kembali menilik konsep dasar musikalisasi puisi itu sendiri.
Dalam hal ini kita tak boleh ragu menimang konsep tersebut. Meski dalam buku-buku teks sastra tak pernah ada yang jelas membuat konsep ini.
Musikalisasi puisi sendiri bisa digambarkan seperti beberapa istilah yaitu yang menyebutkan Poetry Singing, Tembang Puitik, Musik Puisi, musisi Amir Pasaribu menyebutkannya Musiklisasi Syair, atau barangkali ada istilah yang lain.
Kegiatan bermusikalisasi puisi sudah berlangsung cukup lama, bahkan Sunan Kalijaga juga sudah memusikalisasikan puisi, banyak ajaran sunan Kalijaga yg berupa syair, ditembangkan (Latief Noer, ‘’Musik Puisi Dari Istilah ke Aksi’’/Musik Puisi jalan Pintas Menuju Sukses, Penerbit Pustaka Sastra LkiS Yogyakarta 2005).
Maka musikalisasi puisi belum sangat tenar di negeri ini. konsep yang dihadirkan masih rancu. Apakah musikalisasi puisi merupakan musik yang dipuisikan atau puisi yang diramu menjadi sebuah alunan musik?
Sekiranya itu pula yang coba dihadirkan dalam apresiasi setelah pertunjukan berakhir.
Seorang alumnus Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) bernama Slamet dengan jelas mengutarakan kegundahannya tentang garapan yang dibawa Hasan Al-Banna, dkk.
Ia seperti dibawa dalam ranah lama dan dipakemi oleh beberapa komunitas di Jawa, bahwa musikalisasi puisi haruslah didasarkan pada puisi, lalu bagaimana dengan lagu yang pernah diciptakan oleh Ebiet G Ade, Iwan Fals serta (alm) Franky Sahilatua yang memang lirik-liriknya sangat puitik. Maka itu pulalah yang menjadi perdebatan penting setelah acara ini berlangsung.
‘’Konsep dasar musikalisasi puisi sebenarnya terus berkembang, mulai dari nada, irama dan puisi. Setiap orang berhak memiliki presentasi sendiri atas musikalisasi puisi, boleh saja puisi itu dilakukan dengan segala macam alat musik, baik tradisi maupun elektrik namun asal saja sebuah puisi itu tidak diulang sajaknya dan ruh puisinya tetap hidup dalam alunan musik tersebut,’’ terang Hasan Al-Banna.
Musikalisasi puisi tak boleh mengulang sajaknya dan ruh puisi itu harus terus hidup.
Itulah sebenarnya hal yang paling dapat diajarkan dalam kebingungan penonton yang merasa sedang menonton pertunjukan grup yang menyanyikan lagu atau musikalisasi puisi.
Pada hal ini terang saja musikalisasi puisi adalah suatu kegiatan penciptaan musik berdasar sebuah puisi, sehingga pesan yang ada dipuisi tersebut makin jelas maknanya.
Dalam perkembangannya, memberikan syair pada sebuah melodi yang sudah ada juga dikategorikan sebagai musikalisasi puisi. Keberhasilan sebuah penghadiran ruh puisi dalam bentuk musik sangat penting, sehingga unsur pembentuknya berada pada dua titik, musik dan puisi.
Kontan saja nama yang menjadi pembentuk sebutan bisa saja berubah, terserah orang ingin membuat nama dan sebutan yang konvensi untuk sebuah puisi yang dimainkan dalam alunan musik.
Pada dasarnya pastilah jelas seorang penyair dan musik memiliki kesamaan dalam sebuah penciptaan seni. Tidak heran kalau Carlyle kemudian mendefinisikan puisi sebagai pemikiran yang bersifat musikal.
Profesor sastra dari UGM, Rahmad Djoko Pradopo kemudian menambahkan pula, penyair dalam menciptakan puisi memikirkan bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya.
Keberadaan yang berimbang semestinya disadari sebagai pelajaran penting dalam ‘Melainkan’ musikalisasi puisi, terserah puisi itu dinyanyikan, dibacakan dan diiringi musik atau musik menjadi dominan didalamnya, namun jika semua itu berangkat dari sebuah puisi maka jelas sudah puisi itu berubah menjadi musikalisasi puisi.
Pada akhirnya pertunjukan komunitas HP sudah membuat suasana di Pekanbaru lebih baik. dalam pertunjukan berdurasi enam puluh menit itu mereka menjadikan musikalisasi lebih bebas dan liar.
Musik tradisi Batak, reggae, jazz menjadi penghantar selera baru menuju musikalisa yang sangat ‘Melainkan’ di masa yang akan datang.
Pertunjukan yang bekerjasama dengan teater Selembayung ini mendapat apresiasi juga dari Wakil Gubernur Provinsi Riau yang datang menyaksikan hingga pertunjukan berakhir.
Meski ekspektasi kota Medan hanya tergambar dalam musik dan sajaknya dan tak memanfaatkan seting visual panggung yang mengarahkan penonton lebih dekat ke wajah bangunan kota itu, akhirnya Hasan Al-Banna menutup pertunjukannya dengan membacakan sajak ‘’Akulah Medan’’ dengan menaiki tangga tinggi, persis sebuah tugu Guru Patimpus di Medan.
Mungkin itulah yang membuat komunitas ini membuat sebuah garapan puisi ‘Melainkan’, lain bukan? ***
Rian Harahap, guru swasta dan sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sajak, cerpen dan esainya dimuat di berbagai media seperti Harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Riau Pos, Analisa, Waspada, Mimbar Umum, Medan Bisnis dan Majalah Daulat. Bermastautin di Pekanbaru, Riau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Februari 2013
RATUSAN orang masuk riuh dan sibuk dalam gedung pertunjukan, mencari-cari bangku yang tepat untuk diduduki. Sementara lampu panggung masih gelap dengan segala kemisterian pertunjukannya.
Seorang pria keluar dengan celana ketat dan baju yang mengecil, wajahnya penuh dengan kumis klimis kemudian menghentak keheningan panggung.
Ia menyampaikan orasi budaya yang terus berceloteh tentang sebuah kehidupan, layaknya puisi dan roda yang terus berputar. Penonton pun termangu mendengar celotehan yang terdengar seperti aktor teater.
Sekilas dengan kostum dan keanehan wajahnya, sepertinya pertunjukan di balik tirai yang belum terbuka itu pastilah sebuah garapan teater. Itulah kiranya yang akan membuat pola dan konsepsi yang berputar di kepala penonton.
Namun semuanya salah ketika tirai panggung tersibak lalu muncullah kumpulan komposisi yang padu dari berbagai alat musik.
Pertunjukan musikkah? Tentu saja kita (penonton) kembali diliarkan oleh dugaan-dugaan sementara. Sampai masuklah pada sebuah alunan musik modern yang dipenuhi techno dan dentuman tuts keyboard yang singgah di telinga.
Lampu pun memenuhi panggung proscenium anjung seni idrus tintin dengan latar siluet sebuah bangunan tinggi pencakar langit. Inilah sebuah pertunjukan yang ditaja oleh komunitas Home Poetry (HP) Medan.
Dalam pertunjukan yang ditaja dalam dua sesi ini pada Sabtu (9/2) ini, banyak sekali kejutan yang dihadirkan. Mulai dari anggapan penonton yang menganggap pertunjukan ini aneh hingga asumsi yang mendasar dan menikmati pertunjukan ini dengan konsep yang tertata rapi.
Komunitas HP dalam hal ini membuat garapan dengan judul ‘Melainkan’ yang merupakan sebuah garapan yang didasarkan pada benturan ‘kelainan’ yang ia cicipi selama menemui sebuah titik dalam musikalisasi puisi.
Dengan menggandeng sebuah prestasi juara umum nasional musikalisasi puisi pada 2011. Agaknya para juri yang memenangkannya seperti Sujiwo Tedjo, Uli Sigar Rusyadi dan Iman Soleh membuat keputusan yang tepat.
Dalam kompetisi yang dimenangkan oleh Hasan Al-Banna yang sebelumnya membawa nama sanggar Rumput Hijau SMAN 2 Binjai itu masih memiliki kekurangan disana-sini.
Dari kemenangan itulah mereka terus mencari bentuk musikalisasi puisi yang seutuhnya. Hingga membenturkan diri kembali dalam bentuk garapan musikalisasi puisi dan bertransformasi menjadi sebuah grup utuh.
Dengan sadar Hasan Al-Banna menggandeng Musikalinea yang merupakan lanjutan dari sanggar Rumput Hijau serta digabungkan dengan Musisi Dunia Akhirat yang notabene memiliki aliran musik tradisi batak dan modern.
Alunan sordam berlayar bersama kesiur angin/ Menelusuri persawahan di antara padi-padi/ Sepanjang hamparan sigalangan membakar dingin/ Dan burung-burung yang sibuk memetik hasapi. Begitulah sepenggal sajak ‘’Torsa Ni Namora Pande Bosi’’ karya M Raudah Jambak.
Puisi itu menjadi alunan keeempat yang dihadirkan ke telinga penonton. Alunan yang datang dalam bahasa musik halus, disertai pukulan ‘keteng-keteng’ alat musik khas karo dan taganing khas toba seketika menghantarkan penonton masuk dalam wilayah sumatera utara.
Dentingan kecapi dan alunan suling dan notasi yang menggetarkan sudah membuat penonton nyaman dibangkunya. Inilah mungkin sejenak keberhasilan yang diraih Hasan Al-Banna dalam membuat penonton yang nyaman hingga pertunjukan berakhir.
Belum lagi sajak yang pendek dari Sutardji Calzoum Bachri digubah dalam alunan musikalisasi puisi.
Sepisau luka sepisau duri/ sepikul dosa sepukau sepi/ sepisau duka serisau diri/ sepisau sepi sepisau nyanyi/ sepisaupa sepisaupi/ sepisapanya sepikau sepi/ sepisaupa sepisaupoi/ sepikul diri keranjang duri/ sepisaupa sepisaupi/ sepisaupa sepisaupi/sepisaupa sepisaupi/ sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi (1973).
Sajak singkat itu menjadi sangat padat tatkala komunitas HP mengaransemennya dalam notasi balok, pukulan taganing dan jimbe sampai pada tiupan seruling lalu petikan gitar hingga menyatu dan mengalunkan penonton jauh dari kesan heroic.
Padahal puisi ini banyak dibacakan dengan suara yang garang dan tatapan yang tajam.
Pada titik ini itulah ‘kelainan’; yang dinyatakan oleh Hasan Al-Banna. Ia tidak ingin membuat sebuah paradigma tentang puisi selalu dengan kesan gagah dan malah menjadi konvensi di tengah masyarakat.
Sekitar tujuh puisi dihadirkan pada pertunjukan dua sesi itu. Mereka menjadi sebuah pertunjukan yang sangat lain dalam ranah sisi musikalisasi puisi sendiri.
Keanehan itu tersebar dalam “Ceracau Sebongkah Kota”, “Rindu 1” (Hasan Al-Banna), “Cintaku Jauh di Pulau” (Chairil Anwar), “Torsa Ni Namora Pande Bosi” (M Raudah Jambak), “Sepiasupi” (Sutardji Calzoum Bachri), “Hotel Siantar” (Damiri Mahmud) dan “Akulah Medan” (Teja Purnama).
Garapan yang dengan persinggungan modernism dan tradisi. Itu sangat terlihat dalam kontrasnya alat musik yang digabung dalam alat musik yang mereka mainkan.
Sebuah taganing akan berhadapan dengan alunan gitar elektrik dengan distorsi yang keras. Maka jadilah sebuah persinggungan dan menjelaskan kegundahan dalam garapan yang bertajuk “Melainkan”.
Namun dari semua keberhasilan Hasan Al-Banna dalam membuat pertunjukan itu sangatlah berbanding terbalik ketika penonton sudah sadar pertunjukan habis.
Mereka seperti dilenakan oleh pertunjukan grup musik yang menyanyikan sebuah lagu. Apa lagi pangsa dalam pertunjukan ini adalah siswa sekolah menengah yang masih minim dalam pengajaran sastra.
Apa hal yang membuat ini terjadi? Tentu saja kita harus kembali menilik konsep dasar musikalisasi puisi itu sendiri.
Dalam hal ini kita tak boleh ragu menimang konsep tersebut. Meski dalam buku-buku teks sastra tak pernah ada yang jelas membuat konsep ini.
Musikalisasi puisi sendiri bisa digambarkan seperti beberapa istilah yaitu yang menyebutkan Poetry Singing, Tembang Puitik, Musik Puisi, musisi Amir Pasaribu menyebutkannya Musiklisasi Syair, atau barangkali ada istilah yang lain.
Kegiatan bermusikalisasi puisi sudah berlangsung cukup lama, bahkan Sunan Kalijaga juga sudah memusikalisasikan puisi, banyak ajaran sunan Kalijaga yg berupa syair, ditembangkan (Latief Noer, ‘’Musik Puisi Dari Istilah ke Aksi’’/Musik Puisi jalan Pintas Menuju Sukses, Penerbit Pustaka Sastra LkiS Yogyakarta 2005).
Maka musikalisasi puisi belum sangat tenar di negeri ini. konsep yang dihadirkan masih rancu. Apakah musikalisasi puisi merupakan musik yang dipuisikan atau puisi yang diramu menjadi sebuah alunan musik?
Sekiranya itu pula yang coba dihadirkan dalam apresiasi setelah pertunjukan berakhir.
Seorang alumnus Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) bernama Slamet dengan jelas mengutarakan kegundahannya tentang garapan yang dibawa Hasan Al-Banna, dkk.
Ia seperti dibawa dalam ranah lama dan dipakemi oleh beberapa komunitas di Jawa, bahwa musikalisasi puisi haruslah didasarkan pada puisi, lalu bagaimana dengan lagu yang pernah diciptakan oleh Ebiet G Ade, Iwan Fals serta (alm) Franky Sahilatua yang memang lirik-liriknya sangat puitik. Maka itu pulalah yang menjadi perdebatan penting setelah acara ini berlangsung.
‘’Konsep dasar musikalisasi puisi sebenarnya terus berkembang, mulai dari nada, irama dan puisi. Setiap orang berhak memiliki presentasi sendiri atas musikalisasi puisi, boleh saja puisi itu dilakukan dengan segala macam alat musik, baik tradisi maupun elektrik namun asal saja sebuah puisi itu tidak diulang sajaknya dan ruh puisinya tetap hidup dalam alunan musik tersebut,’’ terang Hasan Al-Banna.
Musikalisasi puisi tak boleh mengulang sajaknya dan ruh puisi itu harus terus hidup.
Itulah sebenarnya hal yang paling dapat diajarkan dalam kebingungan penonton yang merasa sedang menonton pertunjukan grup yang menyanyikan lagu atau musikalisasi puisi.
Pada hal ini terang saja musikalisasi puisi adalah suatu kegiatan penciptaan musik berdasar sebuah puisi, sehingga pesan yang ada dipuisi tersebut makin jelas maknanya.
Dalam perkembangannya, memberikan syair pada sebuah melodi yang sudah ada juga dikategorikan sebagai musikalisasi puisi. Keberhasilan sebuah penghadiran ruh puisi dalam bentuk musik sangat penting, sehingga unsur pembentuknya berada pada dua titik, musik dan puisi.
Kontan saja nama yang menjadi pembentuk sebutan bisa saja berubah, terserah orang ingin membuat nama dan sebutan yang konvensi untuk sebuah puisi yang dimainkan dalam alunan musik.
Pada dasarnya pastilah jelas seorang penyair dan musik memiliki kesamaan dalam sebuah penciptaan seni. Tidak heran kalau Carlyle kemudian mendefinisikan puisi sebagai pemikiran yang bersifat musikal.
Profesor sastra dari UGM, Rahmad Djoko Pradopo kemudian menambahkan pula, penyair dalam menciptakan puisi memikirkan bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya.
Keberadaan yang berimbang semestinya disadari sebagai pelajaran penting dalam ‘Melainkan’ musikalisasi puisi, terserah puisi itu dinyanyikan, dibacakan dan diiringi musik atau musik menjadi dominan didalamnya, namun jika semua itu berangkat dari sebuah puisi maka jelas sudah puisi itu berubah menjadi musikalisasi puisi.
Pada akhirnya pertunjukan komunitas HP sudah membuat suasana di Pekanbaru lebih baik. dalam pertunjukan berdurasi enam puluh menit itu mereka menjadikan musikalisasi lebih bebas dan liar.
Musik tradisi Batak, reggae, jazz menjadi penghantar selera baru menuju musikalisa yang sangat ‘Melainkan’ di masa yang akan datang.
Pertunjukan yang bekerjasama dengan teater Selembayung ini mendapat apresiasi juga dari Wakil Gubernur Provinsi Riau yang datang menyaksikan hingga pertunjukan berakhir.
Meski ekspektasi kota Medan hanya tergambar dalam musik dan sajaknya dan tak memanfaatkan seting visual panggung yang mengarahkan penonton lebih dekat ke wajah bangunan kota itu, akhirnya Hasan Al-Banna menutup pertunjukannya dengan membacakan sajak ‘’Akulah Medan’’ dengan menaiki tangga tinggi, persis sebuah tugu Guru Patimpus di Medan.
Mungkin itulah yang membuat komunitas ini membuat sebuah garapan puisi ‘Melainkan’, lain bukan? ***
Rian Harahap, guru swasta dan sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sajak, cerpen dan esainya dimuat di berbagai media seperti Harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Riau Pos, Analisa, Waspada, Mimbar Umum, Medan Bisnis dan Majalah Daulat. Bermastautin di Pekanbaru, Riau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Februari 2013
No comments:
Post a Comment