DIA perupa yang gigih menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lain yang termarjinalkan. Sejumlah lukisan pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, 11 Juni 1952, itu menggambarkan kondisi sebuah negeri yang menderita akibat ulah dan penindasan tersistem oleh manusia yang berkuasa. Putra Mayjen (Purn) Ricardo Siahaan, ini seorang aktivis murni, yang rela berkorban bagi sesama.
Pelukis yang terakhir menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional (2004), itu meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Tabanan, Rabu 23 Februari 2005 pukul 01.00 WITA. Jenazahnya disemayamkan di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, Kamis 24 Februari 2005, setelah diadakan upacara melepas pukul 11.00.
Pria peranakan, ayah Batak dan ibu keturunan India, ini wafat saat berupaya membangun studionya di Dusun Kesambi, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, 16 Km di utara kota Tabanan, Bali. Saat itu, ia tiba-tiba terlihat lemas ketika mengawasi perataan tanah. Dia mengeluh rasa sakit di bagian dada. Kemudian kejang-kejang. Ahli gambar di atas kertas ini mengalami serangan jantung, yang merenggut nyawanya.
Sejumlah lukisan anak kedua dari enam bersaudara, ini bertema keseharian yang kritis merekam kebobrokan moral masyarakat. Salah satu lukisannya yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional berjudul “Pizza”. Lukisan berbentuk pizza yang di dalamnya ada potongan-potongan segitiga seperti pizza, cukup menggambarkan berbagai fenomena kehidupan saat ini. Di antaranya, penggambaran tentang penjungkirbalikan fakta yang sering terjadi.
Perupa terkenal yang memilih hidup berpihak pada kaum tertindas itu sering menggambarkan kegetiran para kaum buruh dari penindasan majikan. Bahkan kepeduliannya kepada kaum buruh tertindas tidak hanya terpancar dari karya lukis dan patungnya. Dia pun aktif sebagai salah seorang pendiri Serikat Buruh Merdeka bersama H Pongke Princent.
Dia juga sangat peduli terhadap masalah lingkungan. Sejumlah lukisannya bertema keserakahan negara-negara kaya yang membabat hutan di negara-negara miskin. Lukisan itu ikut dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, 17- 31 Agustus 2004. Bahkan pada tahun 1980-an, dia juga aktif di Sekretariat Perlindungan Hutan Indonesia (Skepy) yang menentang pembabatan hutan di berbagai daerah.
Dalam beberapa karyanya, seniman yang tidak mau diatur oleh kurator dan tidak mau didikte dalam berkarya, itu juga memosisikan diri sebagai objek, tidak selalu sebagai subjek yang merekam objek saja. Seperti tergambar dari lukisannya ‘’Self Potrait with Black Orchid’’ dan ‘’Buruh’’.
Semsar Siahaan, yang akrab dipanggil Sam, dikenal sebagai perupa yang kritis dan sering melakukan aksi protes. Pada saat kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981, dia pernah membakar karya lukisnya sendiri karena dianggap hanya bersifat suvenir. Ia menggali lubang-lubang kubur dan mengisinya dengan patung-patung mayat di dalam Bienalle Seni Rupa Jakarta IX di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Lalu, pelukis yang sering melakukan aksi demonstrasi di era pemerintahan Orde Baru, itu pun dipecat dari ITB karena melakukan aksi membakar patung berjudul Irian Dalam Tarso, karya pelukis Soenaryo, dosennya, yang dianggapnya sebagai seni kemasan yang mengeksploitasi orang Papua dan mendapatkan uang dari situ, sementara orang Papua tidak dapat apa-apa. Saat itu, dia membungkus patung karya Soenaryo, sehingga orang mengira itu patung karyanya sendiri. Patung itu dibakar, akibatnya dia dipecat dari ITB.
Dia pun pergi ke Prancis. Di sana dia mendalami seni lukis. Ia juga menyempatkan diri kuliah di San Francisco Art Institute. Bukan kali ini saja dia belajar seni di luar negeri. Ketika mengikuti ayahnya yang menjadi atase militer di Beograd, Semsar juga sempat kursus menggambar. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1984, dia kembali ke Tanah Air. Dia pun menunjukkan integritas dan dukungan pada gerakan mahasiswa yang prodemokrasi dengan menggelar pameran lukisan yang disertai diskusi keliling di sejumlah kampus di Pulau Jawa. Ketika itu, lagi-lagi membakar puluhan lukisannya di hadapan para aktivis.
Ketika Tempo, Editor dan Detik dibredel penguasa Orde Baru, dia pun ikut bergabung demonstrasi. Saat itu (27/6/1994), dia bahkan pasang badan melindungi seorang perempuan yang dianiaya aparat. Dia cedera berat, kakinya patah dan harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Namun, kakinya yang patah tidak bisa disembuhkan total, dia cacat. Dalam kondisi demikian, dia pun ikut membidani berdirinya Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) bersama aktivis pers lainnya di Indonesia.(fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Februari 2013
Pelukis yang terakhir menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional (2004), itu meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Tabanan, Rabu 23 Februari 2005 pukul 01.00 WITA. Jenazahnya disemayamkan di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, Kamis 24 Februari 2005, setelah diadakan upacara melepas pukul 11.00.
Pria peranakan, ayah Batak dan ibu keturunan India, ini wafat saat berupaya membangun studionya di Dusun Kesambi, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, 16 Km di utara kota Tabanan, Bali. Saat itu, ia tiba-tiba terlihat lemas ketika mengawasi perataan tanah. Dia mengeluh rasa sakit di bagian dada. Kemudian kejang-kejang. Ahli gambar di atas kertas ini mengalami serangan jantung, yang merenggut nyawanya.
Sejumlah lukisan anak kedua dari enam bersaudara, ini bertema keseharian yang kritis merekam kebobrokan moral masyarakat. Salah satu lukisannya yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional berjudul “Pizza”. Lukisan berbentuk pizza yang di dalamnya ada potongan-potongan segitiga seperti pizza, cukup menggambarkan berbagai fenomena kehidupan saat ini. Di antaranya, penggambaran tentang penjungkirbalikan fakta yang sering terjadi.
Perupa terkenal yang memilih hidup berpihak pada kaum tertindas itu sering menggambarkan kegetiran para kaum buruh dari penindasan majikan. Bahkan kepeduliannya kepada kaum buruh tertindas tidak hanya terpancar dari karya lukis dan patungnya. Dia pun aktif sebagai salah seorang pendiri Serikat Buruh Merdeka bersama H Pongke Princent.
Dia juga sangat peduli terhadap masalah lingkungan. Sejumlah lukisannya bertema keserakahan negara-negara kaya yang membabat hutan di negara-negara miskin. Lukisan itu ikut dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, 17- 31 Agustus 2004. Bahkan pada tahun 1980-an, dia juga aktif di Sekretariat Perlindungan Hutan Indonesia (Skepy) yang menentang pembabatan hutan di berbagai daerah.
Dalam beberapa karyanya, seniman yang tidak mau diatur oleh kurator dan tidak mau didikte dalam berkarya, itu juga memosisikan diri sebagai objek, tidak selalu sebagai subjek yang merekam objek saja. Seperti tergambar dari lukisannya ‘’Self Potrait with Black Orchid’’ dan ‘’Buruh’’.
Semsar Siahaan, yang akrab dipanggil Sam, dikenal sebagai perupa yang kritis dan sering melakukan aksi protes. Pada saat kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981, dia pernah membakar karya lukisnya sendiri karena dianggap hanya bersifat suvenir. Ia menggali lubang-lubang kubur dan mengisinya dengan patung-patung mayat di dalam Bienalle Seni Rupa Jakarta IX di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Lalu, pelukis yang sering melakukan aksi demonstrasi di era pemerintahan Orde Baru, itu pun dipecat dari ITB karena melakukan aksi membakar patung berjudul Irian Dalam Tarso, karya pelukis Soenaryo, dosennya, yang dianggapnya sebagai seni kemasan yang mengeksploitasi orang Papua dan mendapatkan uang dari situ, sementara orang Papua tidak dapat apa-apa. Saat itu, dia membungkus patung karya Soenaryo, sehingga orang mengira itu patung karyanya sendiri. Patung itu dibakar, akibatnya dia dipecat dari ITB.
Dia pun pergi ke Prancis. Di sana dia mendalami seni lukis. Ia juga menyempatkan diri kuliah di San Francisco Art Institute. Bukan kali ini saja dia belajar seni di luar negeri. Ketika mengikuti ayahnya yang menjadi atase militer di Beograd, Semsar juga sempat kursus menggambar. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1984, dia kembali ke Tanah Air. Dia pun menunjukkan integritas dan dukungan pada gerakan mahasiswa yang prodemokrasi dengan menggelar pameran lukisan yang disertai diskusi keliling di sejumlah kampus di Pulau Jawa. Ketika itu, lagi-lagi membakar puluhan lukisannya di hadapan para aktivis.
Ketika Tempo, Editor dan Detik dibredel penguasa Orde Baru, dia pun ikut bergabung demonstrasi. Saat itu (27/6/1994), dia bahkan pasang badan melindungi seorang perempuan yang dianiaya aparat. Dia cedera berat, kakinya patah dan harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Namun, kakinya yang patah tidak bisa disembuhkan total, dia cacat. Dalam kondisi demikian, dia pun ikut membidani berdirinya Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) bersama aktivis pers lainnya di Indonesia.(fed/berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Februari 2013
No comments:
Post a Comment