- Iwan Kurniawan
PENIKMAT karya sastra, khususnya novel, pasti sudah tak asing lagi dengan sebuah novel yang cukup menyita perhatian dunia kesusastraan Indonesia, Atheis, karya Achdiat Karta Mihardja (1911-2010).
Bila membacanya kembali, kita akan mengingat roman yang menggunakan tiga gaya naratif. Tentu saja tokoh utama, Hasan, seorang muslim muda, dibesarkan untuk berpegang pada agama. Namun, Hasan meragukan agamanya sendiri setelah berurusan dengan seorang sahabat penganut Marxisme–Leninisme dan seorang penulis penganut nihilisme.
Ada konflik yang membuat novel tersebut tetap laik dibaca hingga saat ini. Dengan mencermati proses penulisan novel tersebut saat Achdiat berusia sekitar 37 atau 38 tahun, tak mengherankan pada usia itulah kebanyakan penulis biasanya menemukan jati diri.
Dalam novel tersebut tersuguh sekelumit persoalan. Terutama, tokoh Hasan yang terpaksa harus menanggalkan status keagamaan lahiriahnya. Apa yang dipikirkan Achdiat menjadi salah satu hal menarik yang patut dikaji dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dalam teori sastra yang ada.
Tentu saja, dalam novel tersebut, ada ideologi yang ia masukkan secara terperinci. Persoalan Marxisme–Leninisme begitu kuat. Entah ia sengaja atau tidak untuk menunjukkan sebuah perlawanan lewat karya sastra. Apalagi, latar belakang Achdiat yang flamboyan itu adalah seorang sosialis.
Memang, akan sulit meletakkan karya sastra secara bebas nilai. Itu mungkin beberapa teori sastra yang terlahir dalam semangat filsafat positivisme, filosofi yang mendukung objektivitas dan netralitas keilmuan.
Teori struktural, misalnya, dalam kadar tertentu memang tidak berpretensi untuk membuka peluang subjektif pengkaji dalam menganalisis karya sastra. Namun, kita tentu saja tahu bahwa kritikan dan timbangan sastra mutlak dilakukan, baik dikaji secara ilmiah maupun sebatas diskusi ala warung kopi.
Novel Atheis menunjukkan ada sebuah pemberontakan dalam jiwa penulis, terutama pada ideologi sebagai seorang penganut sosialis hingga dimasukkan ke novelnya.
Berbeda dengan Achdiat, novel Maluku Kobarkan Cintaku (2010) karya Ratna Sarumpaet mengangkat konflik SARA di Maluku. Namun, ada sebuah kesamaan, yaitu Achdiat dan Ratna begitu berani menghadirkan pandangan ideologi secara nyata dalam karya masing-masing.
Benang merah yang ada yaitu Achdiat menghadirkan konflik batin, sedangkan Ratna menghadirkan konflik sosial. Ratna mampu memberikan sebuah alur yang sangat menggugah. Namun, ia belum begitu berani dalam menunjukkan ideologi secara nakal.
Persoalan sedikit jelas saat Ratna memasukkan tradisi nenek moyang orang Maluku, yaitu pela gandong, dalam novelnya. Itu menjadi sebuah resistensi yang mampu membawa sebuah paradigma baru pada kebinekaan di Maluku.
Pertarungan
Persoalan akan sebuah eksistensi begitu kuat dalam karya sastra. Di balik itu, tentu saja ada pertarungan ideologi untuk menghadirkan konflik dan alur. Walau hanya bersifat fiksi, emosi yang disajikan seorang novelis terbukti lebih lama membekas.
Dalam masyarakat modern, yang juga memengaruhi pribadi sastrawan, ciri perseorangan dalam karyanya biasanya ia memiliki ciri khas tersendiri.
Setiap pengarang pun berusaha untuk tidak menciptakan atau membuat sesuatu yang telah dilakukan pengarang lainnya. Mereka akan malu karena akan dicap sebagai plagiator.
Bagaimana dengan ideologi dalam sastra? Tentu saja, pengarang adalah seorang manusia, bukan dewa. Tanpa disadari, kerap kali ada sastrawan yang mencari sebuah ideologi lewat tokoh yang diciptakan.
Kini, teori-teori sastra terus berkembang. Persoalan objektivitas dan netralitas keilmuan mulai dipertanyakan. Kritikus sastra pun sudah mulai lupa pada jati diri mereka sebagai seorang yang menilai dan menghakimi secara objektif.
Untuk itu, kehadiran kritikus dalam ranah kesusastraan dapat menjadi ‘penjaga’ agar karya-karya sastra yang terlahir dari sastrawan dapat dikaji dan dikritik secara profesional.
Terlepas dari ideologi dan kesadaran sastra, kehadiran sebuah novel mungkin akan lebih diminati bila dibumbui dengan paham-paham yang ekstrem. Itu menjadi mengasyikkan karena sastra dapat menjadi sebuah wadah pembaruan. Menuangkan ide-ide penuh fantasi dan keliaran. (M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 Februari 2013
PENIKMAT karya sastra, khususnya novel, pasti sudah tak asing lagi dengan sebuah novel yang cukup menyita perhatian dunia kesusastraan Indonesia, Atheis, karya Achdiat Karta Mihardja (1911-2010).
Bila membacanya kembali, kita akan mengingat roman yang menggunakan tiga gaya naratif. Tentu saja tokoh utama, Hasan, seorang muslim muda, dibesarkan untuk berpegang pada agama. Namun, Hasan meragukan agamanya sendiri setelah berurusan dengan seorang sahabat penganut Marxisme–Leninisme dan seorang penulis penganut nihilisme.
Ada konflik yang membuat novel tersebut tetap laik dibaca hingga saat ini. Dengan mencermati proses penulisan novel tersebut saat Achdiat berusia sekitar 37 atau 38 tahun, tak mengherankan pada usia itulah kebanyakan penulis biasanya menemukan jati diri.
Dalam novel tersebut tersuguh sekelumit persoalan. Terutama, tokoh Hasan yang terpaksa harus menanggalkan status keagamaan lahiriahnya. Apa yang dipikirkan Achdiat menjadi salah satu hal menarik yang patut dikaji dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dalam teori sastra yang ada.
Tentu saja, dalam novel tersebut, ada ideologi yang ia masukkan secara terperinci. Persoalan Marxisme–Leninisme begitu kuat. Entah ia sengaja atau tidak untuk menunjukkan sebuah perlawanan lewat karya sastra. Apalagi, latar belakang Achdiat yang flamboyan itu adalah seorang sosialis.
Memang, akan sulit meletakkan karya sastra secara bebas nilai. Itu mungkin beberapa teori sastra yang terlahir dalam semangat filsafat positivisme, filosofi yang mendukung objektivitas dan netralitas keilmuan.
Teori struktural, misalnya, dalam kadar tertentu memang tidak berpretensi untuk membuka peluang subjektif pengkaji dalam menganalisis karya sastra. Namun, kita tentu saja tahu bahwa kritikan dan timbangan sastra mutlak dilakukan, baik dikaji secara ilmiah maupun sebatas diskusi ala warung kopi.
Novel Atheis menunjukkan ada sebuah pemberontakan dalam jiwa penulis, terutama pada ideologi sebagai seorang penganut sosialis hingga dimasukkan ke novelnya.
Berbeda dengan Achdiat, novel Maluku Kobarkan Cintaku (2010) karya Ratna Sarumpaet mengangkat konflik SARA di Maluku. Namun, ada sebuah kesamaan, yaitu Achdiat dan Ratna begitu berani menghadirkan pandangan ideologi secara nyata dalam karya masing-masing.
Benang merah yang ada yaitu Achdiat menghadirkan konflik batin, sedangkan Ratna menghadirkan konflik sosial. Ratna mampu memberikan sebuah alur yang sangat menggugah. Namun, ia belum begitu berani dalam menunjukkan ideologi secara nakal.
Persoalan sedikit jelas saat Ratna memasukkan tradisi nenek moyang orang Maluku, yaitu pela gandong, dalam novelnya. Itu menjadi sebuah resistensi yang mampu membawa sebuah paradigma baru pada kebinekaan di Maluku.
Pertarungan
Persoalan akan sebuah eksistensi begitu kuat dalam karya sastra. Di balik itu, tentu saja ada pertarungan ideologi untuk menghadirkan konflik dan alur. Walau hanya bersifat fiksi, emosi yang disajikan seorang novelis terbukti lebih lama membekas.
Dalam masyarakat modern, yang juga memengaruhi pribadi sastrawan, ciri perseorangan dalam karyanya biasanya ia memiliki ciri khas tersendiri.
Setiap pengarang pun berusaha untuk tidak menciptakan atau membuat sesuatu yang telah dilakukan pengarang lainnya. Mereka akan malu karena akan dicap sebagai plagiator.
Bagaimana dengan ideologi dalam sastra? Tentu saja, pengarang adalah seorang manusia, bukan dewa. Tanpa disadari, kerap kali ada sastrawan yang mencari sebuah ideologi lewat tokoh yang diciptakan.
Kini, teori-teori sastra terus berkembang. Persoalan objektivitas dan netralitas keilmuan mulai dipertanyakan. Kritikus sastra pun sudah mulai lupa pada jati diri mereka sebagai seorang yang menilai dan menghakimi secara objektif.
Untuk itu, kehadiran kritikus dalam ranah kesusastraan dapat menjadi ‘penjaga’ agar karya-karya sastra yang terlahir dari sastrawan dapat dikaji dan dikritik secara profesional.
Terlepas dari ideologi dan kesadaran sastra, kehadiran sebuah novel mungkin akan lebih diminati bila dibumbui dengan paham-paham yang ekstrem. Itu menjadi mengasyikkan karena sastra dapat menjadi sebuah wadah pembaruan. Menuangkan ide-ide penuh fantasi dan keliaran. (M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 Februari 2013
No comments:
Post a Comment