-- Desi Sommalia Gustina
SENO Gumira Ajidarma bilang penulis adalah orang yang mempertaruhkan hidup bagi setiap kata terbaik yang bisa dicapainya. Jika dicermati, kalimat Seno tersebut terdapat suatu benang merah apabila dihubungkan dengan buku kumpulan cerpen Kinoli karya Yetti A KA yang akan saya bincangkan dalam tulisan ini.
Melalui suguhan bahasa yang detil dan segar pada rangkaian kalimat dalam cerita yang terhimpun dalam buku yang diterbitkan oleh (Javakarsa Media, Juli 2012) ini, secara tak sadar telah memunculkan gaya bahasa yang terasa baru dan memiliki cita rasa yang berbeda pada rangkaian cerita yang terjalin. Pengarang sebagai pencipta bahasa betul-betul terasa dalam cerpen-cerpen Yetti A KA. Misalnya tergambar pada kalimat:
‘’Mataku tampak lelah. Astaga, aku terkesiap. Itu bukan mata yang lelah. Melainkan mata yang telah mati. Disana hanya terlihat sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Betapa mengerikan memiliki mata semacam itu. Bukankah dulu dia, kekasihku, bahkan bisa melihat bermacam-macam semak di sana, bergelantungan di dahan-dahan kecil namun kuat...’’ (“Tebing”, halaman 16). Dalam rangkaian kalimat di atas tampak bagaimana penjelajahan bahasa itu membuat Yetti A KA sebagai pengarang menjadi penemu diksi ataupun majas yang terasa baru dan memiliki keunikan tersendiri.
Di samping itu, sebagai penjelajah bahasa, tak jarang Yetti A.KA menggunakan metafora yang terasa orisinil ketika menyulam konflik cerita. Misalnya dalam cerpen ‘’Naru dan Layang’’. Cerpen ini mengisahkan persahabatan dua perempuan bernama Naru dan Layang. Mereka berteman baik dari kecil meski tidak pernah belajar di sekolah yang sama. Layang kerap mengeluh pada Naru tentang dadanya yang berat. Namun, Naru tak bisa menerka makna kalimat dada yang berat yang kerap dikeluhkan Layang. Hingga ketika Naru dan Layang sama-sama lulus SMA, Layang kembali membicarakan perihal dadanya pada Naru. ‘’Aku berpikir sebenarnya ada seekor kupu-kupu raksasa di dadaku. Kupu-kupu itu berwarna hitam, memiliki mata yang keras, dan sayap yang besar. Pantas ia berat sekali. Warna yang hitam, Naru. Kau bisa bayangkan, bukan?’’ begitu ungkap Layang (halaman 39-40).
Hanya saja, setelah hari itu, Naru kehilangan jejak Layang. Layang seperti lenyap bersama seekor kupu-kupu raksasa yang pernah ia keluhkan. Barulah beberapa bulan kemudian Naru dapat sedikit kejelasan tentang Layang. Ibunya yang membawa kabar itu. Sambil memperlihatkan foto seorang gadis yang sengaja disamarkan di majalah khusus wanita. Ibunya berujar, ‘’Meski disamarkan, gadis ini mirip sekali dengan Layang. Dia diperkosa ayah tirinya selama bertahun-tahun. Kasus ini terbuka karena gadis itu memberi pengakuan pada neneknya...’’ (halaman 41). Naru kemudian mencermati foto dalam majalah yang dibawa oleh sang ibu. Setelah mengamati, Naru bisa memastikan bahwa gadis dalam majalah yang wajahnya disamarkan itu adalah Layang. Sebab, Naru merasa sangat mengenal rambut atau bibir atau hidung Layang, meski disamarkan.
Membaca cerpen ‘’Naru dan Layang’’ ini terlihat bagaimana Yetti menggambarkan sebuah permasalahan dengan cara yang berbeda. Di mana seekor kupu-kupu raksasa yang dikeluhkan Layang pada Naru, merupakan sebuah metafora atas rahasia dan permasalahan hidup yang dialami Layang yang harus ia simpan sendiri selama bertahun-tahun. Sebuah teknik bercerita yang unik, mengajak pembaca berpikir dan mencerna makna pada setiap pilihan kata yang disuguhkan pengarang.
Deskripsi
Kita tahu, latar merupakan faktor yang vital dalam cerpen, meskipun cerpen abstrak atau cerpen yang terjadi di negeri dongeng. Sebab, latar tempat dan suasana dapat menjadi nadi dan menentukan denyut kehidupan sebuah cerpen. Sehingga cerpen menjadi alami, berpijak, tidak sekadar mengawang di angan-angan. Membaca cerpen-cerpen Yetti A.KA dalam kumpulan ini, terlihat betapa Yetti A.KA menunjukkan keseriusannya dalam membuat deskripsi. Dalam rangkaian cerita yang ia jalin, Yetti A.KA berhasil menghadirkan deskripsi mendetail berkaitan dengan tangkapan alat indra, seperti warna, ukuran, motif, bau, rasa, hawa, suara, dan lainnya. Berikut beberapa contoh deskripsi yang begitu detil digambarkan:
‘’Kebetulan sekali rumah kontrakan kami dan rumah anak itu berada dalam satu lorong yang menyisakan halaman sangat sempit dan hanya bisa dilewati sepeda motor. Di mulut lorong terdapat tulisan: mesin motor harap dimatikan. Sebagai orang Sumatera, sebenarnya aku tidak terbiasa dengan keterbatasan semacam itu. Aku akrab dengan halaman yang luas di depan rumah kami atau jalan yang lapang hingga truk pun tidak dilarang lewat...’’ (‘’Tentang Anak Lelaki yang Tinggal Satu Lorong dengan Kami,’’ halaman 96).
‘’Sudah lama Nami menunggu kesempatan untuk melihat bibir merah membara dan mata bulat hitam itu. Bibir yang barangkali serupa kelopak-kelopak mawar; hidup, berani, menyala. Mata yang bagai batu karang; teguh, gelap, basah,’’ (‘’Ibu Laut’’, halaman 25).
‘’Sore hari seusai bekerja di pinggir lapangan yang sekarang kosong. Karena musim hujan, lapangan ini tidak dipakai anak-anak bermain bola. Biasanya disini ramai, terutama sore. Rumput lebih hijau. Cuaca tidak terlalu buruk, tetapi jelas tidak cerah. Kuperkirakan hujan akan turun nanti malam. Atau paling cepat saat senja,’’ (‘’Stro Bertanya: Siapa Lebih Cantik di Antara Kami,’’ halaman 129).
‘’Di luar Malina melihat sawah sedang hijau-hijaunya. Burung-burung kecil hinggap dan terbang. Sebagian sawah yang lain, yang letaknya jauh ke dalam, mulai menguning (Malina Dalam Bus Tua,’’ halaman 78).
‘’Ini bulan Juli. Angin begitu kencang. Dingin. Kering. Gang di depan rumah mesti disiram empat jam sekali. Itu pun masih membuat debu beterbangan. Dinding-dinding warna putih terlihat kusam. Kaca-kaca bening cepat sekali berubah kecoklatan...’’ (‘’Tentang Delori’’, halaman 61).
Membaca beberapa paragraf di atas tampak betapa kesungguhan pengarang dalam menciptakan deskripsi dalam cerita yang dibangun. Membuat pembaca seolah-olah bisa menyaksikan rentetan peristiwa dan seakan-akan berada di dalam jalinan kisahnya.
Melalui cerpen-cerpen dalam kumpulan ini, tidaklah berlebih jika dikatakan Yetti A KA telah memperlihatkan kesabaran dan keseriusannya sebagai pengarang dalam menjelajah bahasa demi mempersembahkan setiap kata terbaik kepada pembaca. Hal ini tentunya merupakan suatu kontribusi yang selalu diharapkan dalam kesusastraan Indonesia. Disamping itu, juga bertujuan agar cerpen tetap mendapat tempat di hati pembaca di tengah keriuhan-keriuhan instan dan praktis dalam era cyberspace dan pesatnya informasi seperti hari ini. n
04 Februari 2013
Desi Sommalia Gustina, Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang
Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Februari 2013
SENO Gumira Ajidarma bilang penulis adalah orang yang mempertaruhkan hidup bagi setiap kata terbaik yang bisa dicapainya. Jika dicermati, kalimat Seno tersebut terdapat suatu benang merah apabila dihubungkan dengan buku kumpulan cerpen Kinoli karya Yetti A KA yang akan saya bincangkan dalam tulisan ini.
Melalui suguhan bahasa yang detil dan segar pada rangkaian kalimat dalam cerita yang terhimpun dalam buku yang diterbitkan oleh (Javakarsa Media, Juli 2012) ini, secara tak sadar telah memunculkan gaya bahasa yang terasa baru dan memiliki cita rasa yang berbeda pada rangkaian cerita yang terjalin. Pengarang sebagai pencipta bahasa betul-betul terasa dalam cerpen-cerpen Yetti A KA. Misalnya tergambar pada kalimat:
‘’Mataku tampak lelah. Astaga, aku terkesiap. Itu bukan mata yang lelah. Melainkan mata yang telah mati. Disana hanya terlihat sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Betapa mengerikan memiliki mata semacam itu. Bukankah dulu dia, kekasihku, bahkan bisa melihat bermacam-macam semak di sana, bergelantungan di dahan-dahan kecil namun kuat...’’ (“Tebing”, halaman 16). Dalam rangkaian kalimat di atas tampak bagaimana penjelajahan bahasa itu membuat Yetti A KA sebagai pengarang menjadi penemu diksi ataupun majas yang terasa baru dan memiliki keunikan tersendiri.
Di samping itu, sebagai penjelajah bahasa, tak jarang Yetti A.KA menggunakan metafora yang terasa orisinil ketika menyulam konflik cerita. Misalnya dalam cerpen ‘’Naru dan Layang’’. Cerpen ini mengisahkan persahabatan dua perempuan bernama Naru dan Layang. Mereka berteman baik dari kecil meski tidak pernah belajar di sekolah yang sama. Layang kerap mengeluh pada Naru tentang dadanya yang berat. Namun, Naru tak bisa menerka makna kalimat dada yang berat yang kerap dikeluhkan Layang. Hingga ketika Naru dan Layang sama-sama lulus SMA, Layang kembali membicarakan perihal dadanya pada Naru. ‘’Aku berpikir sebenarnya ada seekor kupu-kupu raksasa di dadaku. Kupu-kupu itu berwarna hitam, memiliki mata yang keras, dan sayap yang besar. Pantas ia berat sekali. Warna yang hitam, Naru. Kau bisa bayangkan, bukan?’’ begitu ungkap Layang (halaman 39-40).
Hanya saja, setelah hari itu, Naru kehilangan jejak Layang. Layang seperti lenyap bersama seekor kupu-kupu raksasa yang pernah ia keluhkan. Barulah beberapa bulan kemudian Naru dapat sedikit kejelasan tentang Layang. Ibunya yang membawa kabar itu. Sambil memperlihatkan foto seorang gadis yang sengaja disamarkan di majalah khusus wanita. Ibunya berujar, ‘’Meski disamarkan, gadis ini mirip sekali dengan Layang. Dia diperkosa ayah tirinya selama bertahun-tahun. Kasus ini terbuka karena gadis itu memberi pengakuan pada neneknya...’’ (halaman 41). Naru kemudian mencermati foto dalam majalah yang dibawa oleh sang ibu. Setelah mengamati, Naru bisa memastikan bahwa gadis dalam majalah yang wajahnya disamarkan itu adalah Layang. Sebab, Naru merasa sangat mengenal rambut atau bibir atau hidung Layang, meski disamarkan.
Membaca cerpen ‘’Naru dan Layang’’ ini terlihat bagaimana Yetti menggambarkan sebuah permasalahan dengan cara yang berbeda. Di mana seekor kupu-kupu raksasa yang dikeluhkan Layang pada Naru, merupakan sebuah metafora atas rahasia dan permasalahan hidup yang dialami Layang yang harus ia simpan sendiri selama bertahun-tahun. Sebuah teknik bercerita yang unik, mengajak pembaca berpikir dan mencerna makna pada setiap pilihan kata yang disuguhkan pengarang.
Deskripsi
Kita tahu, latar merupakan faktor yang vital dalam cerpen, meskipun cerpen abstrak atau cerpen yang terjadi di negeri dongeng. Sebab, latar tempat dan suasana dapat menjadi nadi dan menentukan denyut kehidupan sebuah cerpen. Sehingga cerpen menjadi alami, berpijak, tidak sekadar mengawang di angan-angan. Membaca cerpen-cerpen Yetti A.KA dalam kumpulan ini, terlihat betapa Yetti A.KA menunjukkan keseriusannya dalam membuat deskripsi. Dalam rangkaian cerita yang ia jalin, Yetti A.KA berhasil menghadirkan deskripsi mendetail berkaitan dengan tangkapan alat indra, seperti warna, ukuran, motif, bau, rasa, hawa, suara, dan lainnya. Berikut beberapa contoh deskripsi yang begitu detil digambarkan:
‘’Kebetulan sekali rumah kontrakan kami dan rumah anak itu berada dalam satu lorong yang menyisakan halaman sangat sempit dan hanya bisa dilewati sepeda motor. Di mulut lorong terdapat tulisan: mesin motor harap dimatikan. Sebagai orang Sumatera, sebenarnya aku tidak terbiasa dengan keterbatasan semacam itu. Aku akrab dengan halaman yang luas di depan rumah kami atau jalan yang lapang hingga truk pun tidak dilarang lewat...’’ (‘’Tentang Anak Lelaki yang Tinggal Satu Lorong dengan Kami,’’ halaman 96).
‘’Sudah lama Nami menunggu kesempatan untuk melihat bibir merah membara dan mata bulat hitam itu. Bibir yang barangkali serupa kelopak-kelopak mawar; hidup, berani, menyala. Mata yang bagai batu karang; teguh, gelap, basah,’’ (‘’Ibu Laut’’, halaman 25).
‘’Sore hari seusai bekerja di pinggir lapangan yang sekarang kosong. Karena musim hujan, lapangan ini tidak dipakai anak-anak bermain bola. Biasanya disini ramai, terutama sore. Rumput lebih hijau. Cuaca tidak terlalu buruk, tetapi jelas tidak cerah. Kuperkirakan hujan akan turun nanti malam. Atau paling cepat saat senja,’’ (‘’Stro Bertanya: Siapa Lebih Cantik di Antara Kami,’’ halaman 129).
‘’Di luar Malina melihat sawah sedang hijau-hijaunya. Burung-burung kecil hinggap dan terbang. Sebagian sawah yang lain, yang letaknya jauh ke dalam, mulai menguning (Malina Dalam Bus Tua,’’ halaman 78).
‘’Ini bulan Juli. Angin begitu kencang. Dingin. Kering. Gang di depan rumah mesti disiram empat jam sekali. Itu pun masih membuat debu beterbangan. Dinding-dinding warna putih terlihat kusam. Kaca-kaca bening cepat sekali berubah kecoklatan...’’ (‘’Tentang Delori’’, halaman 61).
Membaca beberapa paragraf di atas tampak betapa kesungguhan pengarang dalam menciptakan deskripsi dalam cerita yang dibangun. Membuat pembaca seolah-olah bisa menyaksikan rentetan peristiwa dan seakan-akan berada di dalam jalinan kisahnya.
Melalui cerpen-cerpen dalam kumpulan ini, tidaklah berlebih jika dikatakan Yetti A KA telah memperlihatkan kesabaran dan keseriusannya sebagai pengarang dalam menjelajah bahasa demi mempersembahkan setiap kata terbaik kepada pembaca. Hal ini tentunya merupakan suatu kontribusi yang selalu diharapkan dalam kesusastraan Indonesia. Disamping itu, juga bertujuan agar cerpen tetap mendapat tempat di hati pembaca di tengah keriuhan-keriuhan instan dan praktis dalam era cyberspace dan pesatnya informasi seperti hari ini. n
04 Februari 2013
Desi Sommalia Gustina, Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang
Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 Februari 2013
No comments:
Post a Comment