Tuesday, November 30, 2010

[Kompas Kita] Linda Christanty: Menulis adalah Kehidupan Saya

Pengantar Redaksi

Linda Christanty tentu tidak menyangka catatan harian pemberian kakeknya menjadi titik awal dia memulai dirinya menulis apa saja. Puisi, opini, atau sekadar cerita. Kini Linda dikenal sebagai perempuan penulis negeri ini. Cerpen-cerpen Linda dikenal kuat mengangkat tema sosial politik, persamaan hak, serta membela mereka yang terpinggirkan.

Perempuan yang memimpin kantor berita Aceh Feature Service di Banda Aceh ini telah menetapkan pilihan hidupnya sebagai penulis.

Apa yang membuat Anda menekuni dan cinta dengan dunia menulis?

(Yulianti, Palembang)

Semula saya tidak tahu bagaimana menulis catatan harian. Kakek saya kemudian berkata bahwa di hari dia memberi catatan itu Raja Juan Carlos dan Ratu Sofia dari Spanyol melakukan kunjungan diplomatik mereka yang pertama ke Indonesia dan saya kemudian menulis peristiwa tersebut dalam catatan saya.

Bertahun-tahun kemudian, saya mulai mengirim cerita pendek atau esai saya ke surat kabar dan majalah. Harian Kompas yang pertama kali memublikasikan cerita pendek saya. Waktu itu saya jadi salah satu pemenang lomba cerpen Kompas tahun 1989.

Saya pemenang termuda.

Menulis adalah salah satu cara saya untuk berkomunikasi dan yang paling saya kuasai sampai hari ini sehingga tanpa ini saya seperti orang bisu.

Dalam buku Mbak Linda yang berjudul Dari Jawa Menuju Atjeh, di dalamnya ada tulisan tentang homoseksual. Mengapa Mbak mau menuliskan isu-isu homoseksual?

(Hartoyo, Jakarta Selatan)

Hartoyo yang baik, homoseksualitas adalah hal yang ilmiah, yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan biologi. Ia menjadi fenomena sosial ketika seseorang dengan genetik tertentu mengekspresikan dirinya melalui perilaku tertentu, yang sesuai kodratnya dan ditakdirkan Tuhan atas ciptaan-Nya.

Jadi menulis tentang kaum homoseksual adalah menulis tentang ilmu pengetahuan dan kebesaran Tuhan, yang sesuai dengan realitas.

Diskriminasi, prasangka, kekerasan, dan pelecehan terhadap kaum homoseksual adalah dampak dari ketidaktahuan masyarakat tentang hal tadi.

Tolong berbagi hal-hal yang tidak mudah Anda jalani dan perjuangan Anda dalam mencapai proses kesuksesan karier Anda?

(Dadang Rachmany, Denpasar)

Menulis adalah hal utama dalam kehidupan saya. Tidak mudah untuk menghasilkan karya yang baik. Tapi, saya terus belajar untuk itu. Membaca, bertukar pikiran dengan teman, bepergian, atau berbicara dengan banyak orang dari berbagai latar belakang telah memperkaya tulisan-tulisan saya.

Mengapa Anda memilih berkarya dan berjuang di Aceh yang citranya dikenal kurang ramah terhadap perempuan aktivis, apalagi berdarah Tionghoa.

(Monica Poppy Darwis, xxxx@ymail.com)

Dear Monica, saya berada di Aceh untuk berbagi ilmu tentang bagaimana membuat liputan dan menulis kepada anak-anak muda Aceh, yang terdiri dari mahasiswa, aktivis HAM dan lingkungan, serta wartawan. Tujuannya, agar mereka punya pilihan masa depan di masa damai.

Kami bekerja sama dengan media lokal di Aceh untuk memublikasikan versi cetak berita-berita kami. Aceh sedang dalam masa transisi demokrasi. Berita-berita yang bias, tanpa verifikasi, dan berdasarkan desas-desus akan berpotensi memicu konflik baru. Jadi saya juga melatih kontributor kami untuk menjalankan prosedur liputan yang benar dan elemen-elemen jurnalisme.

Diskriminasi atau kekerasan terhadap perempuan atas nama apa pun atau diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak boleh dibiarkan terjadi. Saya dan teman-teman di Aceh memperjuangkan keadilan itu melalui tulisan kami.

Saya sangat menyukai feature-feature Mbak Linda. Begitu hidup dan serasa nyata di ranah sesungguhnya. Bagaimana Mbak membangun tradisi menulis yang demikian kuat dan apakah diperlukan mood yang bagus untuk menghasilkan sebuah karya yang baik?

(Adian Saputra, Bandar Lampung)

Menulis dan membaca adalah dua hal yang tak terpisahkan. Orang tidak bisa hanya semata-mata menulis tanpa belajar membuat tulisan yang lebih baik. Novel atau buku yang bagus bisa memberi pengetahuan baru tentang teknik atau tema tertentu. Menonton film, teater, tari, atau musik juga perlu untuk memperluas wawasan.

Ada masanya saya mengalami kebuntuan dalam menulis dan bahkan, bosan, juga frustrasi dengan gaya bertutur saya. Ibarat sarapan, menunya tiap hari sama. Saya kadang mengejek tulisan saya sendiri. Ha-ha-ha....

Bagaimana proses Anda menggabungkan sebuah fakta sejarah di alam sosial politik ke dalam cerita fiksi?

(Darojatun, Bekasi Timur)

Ya, dalam beberapa cerita pendek saya, saya melakukan riset kecil-kecilan. Sebagian lagi, tidak. Tapi, untuk menulis reportase saya harus melakukan riset.

Banyak tulisan Linda yang menggelitik ketika mengangkat kehidupan orang-orang atau kelompok yang pada zamannya merupakan pihak yang ditakdirkan ataupun dikondisikan sebagai minoritas dan tersisihkan. Bagaimana menurut Linda tentang sisi lain realitas kehidupan dari kacamata pandang kekuasaan dan kemewahan.

(Petrus Krisologus, Serpong)

Ketidakadilan atau kesewenang-wenangan atau tindak korupsi yang sering kita saksikan atau kita dengar merupakan sebagian dari praktik kekuasaan.

Saya memilih Aceh sebagai tempat berkarya karena ada banyak hal yang bisa ditulis tentang Aceh. Konflik masa lalu, bencana, hukum agama, kopi Aceh, kue ketan, dan macam-macam lagi. Tulisan-tulisan itu bisa membuat orang belajar untuk tidak mengulangi keburukan-keburukan di masa lalu dan mengetahui apa potensi atau ikatan yang bisa membangun tempat ini.

Apa yang melatarbelakangi Anda mengangkat tema sosial politik dalam karya tulis Anda dan apakah ada korelasi dengan hobi Anda?

(Azis MK, Karawang, Jabar)

Aziz, tema itu ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Perang, teror, diskriminasi, pemogokan, ketidakadilan, bencana, dan banyak lagi terkait dengan itu semua. Kalau menulis bisa dikategorikan sebagai hobi, ya korelasinya tulisan-tulisan saya mengungkapkan hal tadi.

Bagaimana menulis tentang sosial- politik dalam kondisi yang menjemukan seperti sekarang ini?

Ahmad Miftahul Haq, Sidoarjo)

Menulis tentang orang-orang biasa, bukan pejabat atau tokoh politik. Menulis tentang orang-orang ”kecil” kadang bisa mengungkap hal besar.

Mbak, piye to carane mbagi waktu antara koordinasi mengejar deadline berita dengan mengonsep lalu menuliskan cerpen-cerpen yang tiap penggalnya perlu konsentrasi pikiran?

(Kuntjoro Sukardi, Bekasi)

Mas Kuntjoro, saya menulis cerpen kalau ada waktu senggang. Tahun ini saya hanya menulis satu cerpen yang dipublikasikan di surat kabar dan tiga cerpen lain. Sangat sedikit. Mudah-mudahan kelak saya lebih punya banyak waktu untuk menulis fiksi.

Saya senang menulis cerpen. Banyak teman bilang tema tulisan saya sangat ’sedih’ dan ’gelap’. Apakah ini negatif dan salah?

(Greg Subanti, xxxx@mq.edu.au)

Greg yang baik, menulis cerita sedih dan gelap itu tidak salah. Kehidupan ini tidak hanya bahagia dan terang.

Ada cara yang mudah untuk menciptakan tokoh-tokoh dengan jiwa dan kebiasaan yang beragam.

Mbak, saya mau tanya, bagaimana caranya menghasilkan esai hak asasi manusia yang sangat menyentuh sisi sensitif masyarakat seutuhnya?

(Cut Irna Setiawati, Bandung)

Cut Irna yang baik, saya tidak memiliki resep khusus. Tapi, kepekaan itu akan terbangun ketika kita sering bertemu dan berbicara dengan berbagai orang dan mendengar cerita mereka.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan mulai dari ide, judul, dan kerangka cerita mempersiapkan satu cerpen?

(Etha, Jakarta)

Dear Etha, tiap cerpen yang saya tulis berbeda waktu penyelesaiannya. Cerpen ”Ingatan” (dalam kumpulan Rahasia Selma) hanya memerlukan waktu sekitar satu jam. Cerpen Rahasia Selma memerlukan waktu bertahun-tahun. Pasalnya, saya waktu itu baru menulis beberapa alinea dan tiba-tiba tidak bisa melanjutkannya.

Pernahkah mengalami kejenuhan dengan tema sosial politik?

(Sriwahyuni, Tangerang)

Sri, kadang kala saya mengalami kebuntuan dalam menulis dan frustrasi juga. Tapi, ketika hal itu terjadi, saya akan berjalan-jalan, menonton film, atau mendengarkan musik, nanti cahaya gagasan itu akan muncul lagi.

Kebiasaan unik apa yang sering Anda lakukan sehingga membuat Anda ingin menulis cerita sampai selesai? Agatha Christie contohnya sebelum menulis cerita berendam dulu di kamar mandi.

(Hikmat Nugraha, Bandung)

Ha-ha-ha…. Biasanya saya menulis sambil mendengarkan musik. Saya juga tidak bisa melihat kursi atau meja yang bergeser dari posisinya semula atau barang-barang yang tidak pada tempatnya atau taplak meja yang miring atau bunyi tetes air keran di kamar mandi. Seperti Adrian Monk dalam film seri televisi Mr Monk, saya pengidap obsessive compulsive disorder.

Halo Mbak Linda, sebagai seorang aktivis jender dan persamaan hak perempuan, bagaimana Anda melihat perkembangan hak persamaan jender di Aceh. Mengingat beberapa tempat di Provinsi NAD menerapkan kebijakan syariah dengan nuansa Wahabi ortodok yang cenderung bertentangan atau menolak adanya persamaan jender.

(Stan Marsh, xxxx@yahoo.com)

Sejarah Aceh membuktikan, para perempuan memiliki peran penting dalam pemerintahan dan politik. Aceh memiliki sejumlah ratu yang memerintah dengan bijak dan disegani pada masanya, termasuk Sultanah Safiatuddin. Aceh juga memiliki pejuang melawan kolonial Belanda, seperti Tjut Nyak Dien.

Aceh mempunyai panglima perang perempuan yang tak akan terjadi dalam tradisi Wahabi. Pada masa Nabi Muhammad, bahkan bibi Nabi sendiri, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, adalah panglima perang. Putrinya, Fatimah, diabadikan namanya oleh Dinasti Fatimiyah yang kelak mendirikan universitas tertua di dunia, Al Azhar.

Paham atau aliran yang tidak menghargai perempuan dan menolak kesetaraan tentu bertentangan dengan ajaran Islam.


***

Linda Christanty

• Lahir: Pulau Bangka, 18 Maret 1970 • Profesi: Sastrawan dan Wartawan

• Pendidikan: Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI)

• Karier:
- Redaktur Majalah Pantau (2000-2003)
- Menulis drama radio bertema transformasi konflik untuk Common Ground Indonesia (2003-2005)
- Pemimpin Redaksi Kantor Berita Aceh Feature Service di Banda Aceh (2005-sekarang)


• Publikasi (antara lain):
- ”Kuda Terbang Maria Pinto”, Kumpulan cerpen (2004)
- ”Pohon Kersen”, cerpen (2006)
- ”Dari Jawa Menuju Atjeh”, kumpulan tulisan tentang politik, Islam, dan gay (2008)
- Rahasia Selma, kumpulan cerpen (2010)


• Penghargaan:
- Cerpen ”Daun-daun Kering” memenangkan lomba menulis cerpen Kompas (1989)
- Tulisan berjudul ”Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste” meraih penghargaan esai terbaik hak asasi manusia (1998)
- Kumpulan cerita pendek ”Kuda Terbang Maria Pinto” memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award (2004)
- Suara Perempuan Award versi Radio Komunitas Suara Perempuan Aceh (2010)
- Penghargaan Anugerah Sastra Khatulistiwa untuk kategori prosa dengan karya berjudul Rahasia Selma (2010)

Sumber: Kompas, Selasa, 30 November 2010

Habibie Award: Hadiah untuk Sejarawan, Ilmuwan, dan Tokoh Agama

Jakarta, Kompas - Penghargaan Habibie Award 2010 dianugerahkan kepada peneliti di bidang ilmu rekayasa, Dr Eng Eniya Listiani Dewi (36), dan sejarawan maritim Indonesia, Prof Dr Adrian Bernard Lapian (81). Selain itu, dua tokoh agama, Syafii Maarif (75) dan Franz Magnis-Suseno (74), dianugerahi Penghargaan Khusus Habibie tentang Harmoni Kehidupan Beragama.

Eniya, peraih gelar doktor di Universitas Waseda, Jepang, mendapatkan penghargaan karena keberhasilannya melakukan rekayasa teknologi sel bahan bakar dan hidrogen yang menghasilkan energi listrik ramah lingkungan. Atas temuannya itu, dia pernah meraih penghargaan Mizuno Award, Koukenkai Award, dan Polymer Society Japan pada tahun 2003.

Lapian, penulis disertasi Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX di Universitas Gadjah Mada tahun 1987, mendapatkan penghargaan karena dedikasinya mendalami sejarah maritim Indonesia. Mantan wartawan surat kabar The Indonesian Observer ini juga pernah mendapat Bintang Jasa dari pemerintah pada 2002.

Syafii Maarif, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Franz Magnis-Suseno, pendiri Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mendapatkan penghargaan khusus karena kontribusinya dalam menciptakan harmoni dalam kehidupan beragama. ”Penghargaan khusus tahun ini diberikan karena kontribusi kedua tokoh itu dalam menciptakan harmoni beragama,” kata Direktur Eksekutif The Habibie Center (THC) Rahimah Abdulrahim, Senin (29/11).

Dewan Pengurus Yayasan Sumber Daya Manusia-Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SDM Iptek)—salah satu yayasan yang menjadi bagian dari THC—Zuhal AQ menyatakan, Habibie Award diberikan kepada putra bangsa yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi agar bermanfaat bagi bangsa.

Penghargaan Habibie Award 2010 akan diberikan kepada empat tokoh itu pada peringatan hari ulang tahun THC, Selasa ini di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Wakil Presiden Boediono rencananya akan menyampaikan pidato pada acara itu. (why)

Sumber: Kompas, Selasa, 30 November 2010

Monday, November 29, 2010

Keraton Berpartisipasi

Palembang, Kompas - Para raja, sultan, dan pemangku adat dari 155 kerajaan atau keraton se-Nusantara siap berpartisipasi memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya menjaga kekayaan nilai adat budaya sehingga bisa dimanfaatkan sebagai aset pariwisata nasional.

Puluhan wakil dari Kesultanan Bima melintasi kawasan Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera, Kota Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (27/11). Kirab Agung diikuti 155 kerajaan dan keraton dari Nusantara dan tujuh perwakilan kerajaan dari mancanegara. (KOMPAS/BONI DWI PRAMUDYANTO)

Demikian disampaikan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dari Kesultanan Palembang Darussalam sebelum Musyawarah Besar sekaligus Deklarasi Pembentukan Lembaga Adat Nusantara dalam rangkaian Festival Keraton Nusantara VII di Kota Palembang, Minggu (28/11).

Selain musyawarah dan deklarasi, kegiatan pada hari terakhir atau hari ketiga FKN VII ini antara lain pameran benda pusaka keraton dan kerajaan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, pentas seni tari keraton dan kerajaan di Benteng Kuto Besak, serta pembentukan koperasi.

Pameran pusaka

Menurut Sultan, semua peserta membawa benda-benda pusaka dari tempatnya untuk diperkenalkan kepada peserta lain, termasuk publik Palembang. Di pameran, Kesultanan Palembang Darussalam juga memamerkan benda pusaka peninggalan Raja SMB I dan SMB II, antara lain keris, tongkat, manuskrip kuno, dan tombak.

”Pameran benda pusaka yang berlangsung selama tiga hari ini cukup direspons masyarakat karena pengunjung Museum SMB II diperkirakan lebih dari 1.000 orang,” katanya.

Selain pameran, semua peserta FKN VII juga memperkenalkan tarian tradisional khas keraton dan kerajaan. Sultan Palembang menjamin sepenuhnya keunikan tarian-tarian ini karena ada perbedaan dengan tarian daerah.

Berdasarkan susunan acara, lebih dari 100 tarian keraton dan kerajaan akan ditampilkan sejak sore sampai malam selama acara itu. Semangatnya yakni memperkenalkan tarian yang sangat jarang dipentaskan ini agar tidak hilang tergilas modernisasi.

”Tetapi ingat, kita tidak antimodernisasi. Hanya jangan sampai kita terlena dengan perubahan zaman tanpa mempertahankan budaya tradisi. Jika semua adat budaya dari keraton terjaga dengan baik, negara ini akan diuntungkan dari sisi pariwisata,” ujar Sultan Iskandar.

Tak politis

Ketua Panitia FKN VII Ismed Adiguna menambahkan, ajang pertemuan para pemimpin adat budaya dan pergelaran seni keraton setiap dua tahun sekali ini jangan diartikan sebagai salah satu upaya membangkitkan semangat feodalisme. FKN VII juga tidak diarahkan untuk menjadi ajang politik, perebutan kekuasaan, atau isu disintegrasi.

”Sebaliknya, ini merupakan event perjumpaan para pelaku budaya dan semangatnya justru untuk mempererat tali silaturahim di antara lembaga-lembaga adat, yang diharapkan bisa meningkatkan nasionalisme sebagai bagian dari Indonesia,” ujarnya. (ONI)

Sumber: Kompas, Senin, 29 November 2010

[Sosok] Muhammad Haji Salleh: Menjejaki Kekayaan Sastra Nusantara

-- Khaerudin

JIKA ingin melihat betapa bijaknya orang-orang yang tinggal di Nusantara ini memandang alam dan kehidupan, bacalah ribuan pantun dan peribahasa yang tersebar mulai dari semenanjung di Malaysia hingga perairan Laut Sulawesi yang menjadi rumah suku Bajo. Bagi ahli perbandingan sastra Indonesia-Malaysia, Muhammad Haji Salleh, pantun dan peribahasa merupakan khazanah sastra yang tak ada bandingannya di dunia.

Muhammad Haji Salleh (KOMPAS/KHAERUDIN)


Haiku dari Jepang boleh dibilang canggih, tetapi tak seindah dan sekaya pantun. Dalam pantun, ada ajaran agama, filosofi, lagu, ada juga mainannya. Pantun ada dalam banyak suku di Nusantara Raya,” ujar Muhammad. Dia mengabdikan hampir separuh hidupnya dalam pencarian berbagai jenis pantun dan peribahasa pada suku bangsa di Malaysia dan Indonesia.

Sesungguhnya, dasar pendidikan kesarjanaan Muhammad adalah Sastra Inggris. Ketika menempuh gelar master dan doktoralnya di University of Michigan, Amerika Serikat, selama kurun 1970-1973, Muhammad merasakan kerinduan kampung halaman setelah meresapi berbagai bentuk pantun dan peribahasa. ”Saya ini awalnya sarjana Sastra Inggris, tetapi ketika berada jauh dari kampung halaman, saya merasakan betul betapa eksotisnya sastra negeri sendiri,” ujarnya.

Dia sempat mengenyam pendidikan singkat kesusastraan Indonesia di Universitas Indonesia begitu tamat dari Universiti Malaya. Di AS pun Muhammad mengonsentrasikan studi doktoral dalam perbandingan puisi Indonesia-Malaysia. Kecintaan akan segala bentuk karya sastra Nusantara, khususnya puisi, pantun, dan peribahasa, membuat dia bersahabat dengan banyak sastrawan Indonesia. ”Saya pernah bertandang ke rumah Rendra saat masih di Solo. Rumahnya ketika itu hanya beralas tanah,” kenangnya.

Pemersatu serumpun

Sastra bagi Muhammad menjadi pemersatu Malaysia dan Indonesia sebagai bangsa serumpun di gugusan Nusantara. Meski Malaysia seolah berada terpisah karena terletak di semenanjung, bagian paling tenggara dari daratan Benua Asia, menurut Muhammad, tak ada sempadan atau batas dalam khazanah sastra kedua negara.

Dia mencontohkan, babad atau hikayat Melayu, Sulalat al-Salatin karangan Tun Seri Lanang. Tun sebenarnya adalah bendahara Kesultanan Pahang. Namun, saat Pahang diserang Kesultanan Samudra Pasai, hampir semua bangsawan Melayu Pahang—termasuk Tun—dibawa ke Aceh. Karena kecerdikan Tun, penguasa Aceh menjadikannya penasihat dan diberi wilayah kuasa di Samalanga. ”Separuh masa Tun Seri Lanang mengarang Sulalat al Salatin dilakukannya ketika di Samalanga. Jadi, karya itu tak bisa diklaim milik Malaysia semata. Itu karya besar dua bangsa serumpun ini,” katanya.

Itulah yang mendorong Muhammad selama 25 tahun lebih mengumpulkan sedikit demi sedikit pantun dan peribahasa yang terserak pada banyak suku bangsa di kepulauan Nusantara. Dia mau bersusah payah datang berkunjung ke Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Muhammad rela menyusuri perairan Sulawesi Tenggara untuk mengoleksi pantun suku Bajo hingga mengumpulkan pantun yang ada pada suku Minahasa di Sulawesi Utara.

Koleksi pantun yang dikumpulkan Muhammad meretas dari Pulau Adang di Thailand hingga Bunaken di Sulawesi Utara. Hasil koleksinya sebagian telah dibukukan.

”Ada tiga buah buku yang telah terbit. Satu buku kira-kira berisi 1.000 pantun. Akan ada empat buku pantun lagi yang menyusul terbit,” ujarnya. Dia mengumpulkan semua jenis pantun, dari pantun peranakan hingga pantun orang asli (suku asli di Malaysia). Dia juga mengoleksi pantun dari Pulau Adang hingga Bunaken. Ada sekitar 30 ragam daerah Nusantara yang memiliki koleksi pantun.

Muhammad juga tekun mengumpulkan peribahasa, bentuk sastra Nusantara lain yang tak kalah elok dan kaya akan ilmu kehidupan. Muhammad memilah peribahasa dalam 21 kategori yang berhubungan dengan ilmu dan pekerjaan, sikap manusia terhadap ilmu, hingga fungsi ilmu dalam masyarakat. Satu kesimpulan Muhammad setelah mengoleksi tak kurang dari 8.000 peribahasa adalah orang Melayu, dan banyak suku bangsa lain di Nusantara, tidak hanya menjadikan ilmu dan pekerjaan sebagai pusat hidup, tetapi juga merenungkan bagaimana ilmu dan pekerjaan dibuat sebagai solusi menyelesaikan masalah.

Muhammad mencontohkan peribahasa dari Brunei yang mengajarkan betapa manusia harus cukup ilmu jika ingin berhasil, ”mun (jikalau) rotan panjang sejengkal, jangan mendaluh (menduga) lautan dalam”.

Peribahasa pula yang menurut Muhammad membuat orang di Nusantara sangat demokratis dalam belajar dan berani berargumentasi meski dengan gurunya sekalipun. Dia mencontohkan peribahasa dari Sumatera Barat, ”melawan guru dengan kajinya, melawan mamak dengan adatnya”.

Kepandaian suku bangsa di Nusantara ini dalam merangkai kata hingga menjadi karya sastra indah penuh ilmu, menurut Muhammad, karena alamlah yang dijadikan guru. Dia mencontohkan peribahasa Melayu, ”kais pagi, makan pagi”, yang menggunakan kata untuk binatang (ayam), tetapi dipakai untuk menggambarkan nasib manusia. ”Kata kais kan semestinya untuk ayam yang mencari makanan, tetapi itu yang orang lihat setiap hari sehingga dipakai juga untuk manusia,” ujarnya.

Pada intinya, lanjut Muhammad, kepandaian berbahasa adalah elemen penting bagi banyak suku bangsa di Nusantara. Pada kasus orang Melayu, kata dia, suasana kosmopolitan di hampir semua bandar Melayu sejak dulu menjadikan orang-orangnya pandai berbahasa.

Meski tak berhubungan secara langsung, ketekunan Muhammad mengoleksi pantun dan peribahasa di Nusantara, baik yang terserak di Malaysia maupun di kepulauan Indonesia, sedikit banyak dipengaruhi oleh keyakinannya bahwa adalah sastra yang mempersatukan dua jiran yang kadang suka ”berkelahi” ini. Dan tentu saja, meski berkewarganegaraan Malaysia, Muhammad pun tak lupa kampung sebenarnya nenek moyangnya di Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

”Ayah saya merantau dari Bandar Khalipah ke Pulau Pinang tahun 1920-an. Pada banyak orang yang tinggal di Semenanjung (Malaysia) ataupun di Sumatera, ulang alik seperti yang dilakukan ayah saya lazim adanya,” kata Muhammad

Sumber: Kompas, Senin, 29 November 2010

Langkan: China Minati Program Studi Bahasa Indonesia

GUANXI Normal University berminat membuka program studi pendidikan Bahasa Indonesia. Alasannya, minat mahasiswa China untuk belajar bahasa Indonesia sangat tinggi. ”Kami akan bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) untuk mewujudkan pembukaan jurusan Bahasa Indonesia yang diperkirakan mulai aktif tahun 2011. Sebaliknya, kami juga akan membantu UPI mendirikan jurusan Bahasa Mandarin,” kata Dekan Departemen Bahasa dan Sastra China Guanxi Normal University (GXNU) yang berada di Provinsi Guilin, China, Wang Deming dalam rapat teknis pembentukan program studi Bahasa Indonesia di GXNU dan pembukaan program studi Bahasa Mandarin di UPI di Bandung, Sabtu (27/11). (CHE)

Sumber: Kompas, Senin, 29 November 2010

Sunday, November 28, 2010

[Buku] Mimpi-mimpi Tokoh Tua

-- Mohamad Sobary

APA istimewanya ’mimpi-mimpi’ para tokoh yang saat ini berusia lebih dari 78 tahun? Bagaimana mimpi itu diletakkan di lintasan kehidupan tiga zaman pergolakan yang meresahkan?

Perancang, sekaligus editor buku ini, memiliki asumsi dasar mengapa pemikiran tokoh-tokoh tua perlu dibukukan. Pertama, orang-orang yang mengalami banyak hal di zaman-zaman yang meresahkan itu dengan sendirinya bisa berbicara tentang banyak hal yang patut diabadikan dalam bentuk buku.

Kedua, tiga zaman yang panjang itu memberi endapan pengalaman—pahit, getir, dan manisnya—yang dihayati sebagai makna hidup yang tetap melekat dalam kenangan anak-anak yang saat itu masih remaja, belum terampil menghubungkan satu fenomena dengan fenomena lain. Mereka pun belum terlampau menyadari perlunya menempatkan makna hidup tadi ke dalam konteks politik kebangsaan yang lebih luas.

Meskipun begitu, mungkin sekali mereka telah memiliki ’mimpi-mimpi’ buat masa depan: mimpi akan kemerdekaan bangsa, mimpi akan kehidupan lebih adil, atau mimpi meningkatkan dunia pendidikan, setara dengan bangsa asing. Semua ini kemudian menjadi bahan penulisan buku yang berharga.

Ketiga, sesamar apa pun ’mimpi-mimpi’ masa lalu itu, ketika mereka menginjak dewasa, niscaya mampu menjalinnya dalam kenangan sejarah sebagai wujud mimpi-mimpi orang dewasa. Dalam pemikiran kebudayaan, mimpi di tahap itu disebut aspirasi kultural yang menandai komitmen atau kepedulian mereka sebagai warga negara. Dan kita tahu aspirasi kultural macam itu harus direkam sebagai wujud ’cita-cita’ kolektif kita, maupun sebagai bagian ’bangunan’ tradisi politik kita. Di atas landasan asumsi-asumsi dasar seperti inilah, kira-kira, buku Guru-guru Keluhuran ini ditulis.

Judulnya merupakan penghormatan terhadap para penulis, yang memang layak memperolehnya. Ada sejumlah penulis yang merasa judul itu terlalu tinggi buat mereka. Tapi, perasaan itu malah membuktikan lebih jauh keluhuran budi mereka sebagai tokoh masyarakat, yang ”seranting ditinggikan, dan selangkah didahulukan” seperti citra keluhuran budi Minangkabau.

Latar belakang para tokoh yang diminta menuliskan mimpi-mimpi mereka sangat menarik. Ada wartawan terkemuka, ada tokoh dunia pendidikan, psikolog, filsuf, sosiolog, sejarawan, ekonom, tokoh dunia bisnis, dan birokrat. Ada pula sastrawan yang mengabdi bangsa lewat dongeng dan dunia anak-anak. Semuanya para ’empu’ dalam dunia ilmu.

Tokoh-tokoh ini diminta mengungkapkan—sebagaimana dapat dibaca di sampul depan buku—”ketulusan, kerendahan hati, dan penghayatan” atas pengalaman dan harapan tentang Indonesia merdeka. Beberapa dari tokoh ini menulis, bahwa di masa itu—ketika masih remaja—mereka belum memiliki gagasan politik keindonesiaan yang jelas sosoknya, seperti sudah diduga sebelumnya.

Tapi, kini, di usia di atas 78 tahun, para tokoh kita ini bermimpi mengenai Indonesia yang lebih baik, seperti impian kita semua. Karena mereka tahu, tata kelola pemerintahan kita berlangsung tidak berdasarkan suatu perencanaan yang ideal, dan berwawasan, melainkan hanya menyambung rutinitas yang telah ada. Dan kita tahu, rutinitas itu bagian yang kita kritik, kita keluhkan dan harus ditingkatkan, tapi kita tak melihat peningkatan itu.

Indonesia masa depan

Indonesia yang ’lebih baik’ itu merupakan aspirasi warga negara yang menaruh peduli, dengan kesungguh-sungguhan pribadi memikirkan nasib bangsa di masa depan. Di balik buku ini, ada gagasan besar yang memiliki perspektif masa depan yang jauh. Ini adalah buku antropologi politik yang menarik dan kaya detail pemikiran dan latar belakang daerah. Ditulis dari sudut pandang pribadi dan unik. Namun, karena latar belakang penulis semuanya kelas menengah perkotaan, terasa cita rasanya elite. Beberapa bahkan terlalu elitis: sibuk ’berkaca’ di dalam lapisan sosialnya, dan lupa akan lapisan sosial lain. Mereka lebih mewakili potret Indonesia, yang mewajibkan tiap anak—atau kita semua—bermimpi dan berharap–terwujudnya Indonesia yang lebih baik.

Tampaknya buku ini sedang berbicara mengenai tanda-tanda zaman—mungkin akhir zaman—yang membuat kita merasa risau, gundah, dan kecewa sehingga kita harus berbicara mengenai Indonesia yang ’lebih baik’ sebagai tema sentral.

Kapan lahir buku sejenis yang khusus memotret ’impian’ lapisan sosial bawah, yang masih tertindas, untuk ’bermimpi’ kebebasan—juga kebebasan ekonomi—yang membuat mereka merasa sebagai warga negara terhormat? Dan kapan kita selesai bermimpi?

Mohamad Sobary, Budayawan

Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010

Catatan Minggu: Pak, Saya Hendak Diperkosa

-- Bre Redana

BERTEMU teman lama Joss Wibisono yang kini menjadi penyiar radio Nederland di Belanda, yang ia kenang cerita pembantu di Salatiga tempat kami sama-sama kuliah dulu. Pembantu perempuan itu sudah berumur, janda, tidak berani pulang ke rumahnya sendiri. Usut punya usut, ternyata dia ketakutan. Ada petugas KB hendak memaksanya untuk dipasangi spiral.

Persoalan waktu itu membesar. Sejumlah mahasiswa disemangati dosen seperti Dr Arief Budiman mendatangi beberapa instansi resmi untuk protes. Tubuh adalah hak privat kita. Negara tak boleh campur tangan. Kami langganan berbenturan dengan rezim Orba kala itu.

Masih kami ingat pula adanya pelatihan di kota kecil ini untuk para perempuan yang berminat menjalani profesi sebagai pembantu rumah tangga. Sejumlah dosen dan aktivis mengajari para perempuan dari desa-desa memasak, menggunakan mesin cuci, dan lain-lain. Diberikan pula wawasan mengenai cara hidup di negara lain.

Dari dulu hingga kini niscaya banyak orang tahu, betapa banyak saudara kita atau bahkan kita sendiri tergagap-gagap menghadapi lingkungan modern. Tidak usah membayangkan seorang pembantu dari Pacitan yang harus hidup dengan sebuah rumah tangga di apartemen di Singapura. Majikan dari sebuah apartemen di Kuningan, Jakarta, saja bisa pusing tujuh keliling menghadapi pembantu yang baru datang dari Indramayu. Tidak bisa mengoperasikan mesin cuci, tidak bisa menyetrika. Gaun majikan bermerek Armani mengerut karena dimasukkan mesin cuci, digilas bersama tumpukan jins.

Tanya kepada siapa saja di Jakarta tentang pembantu, pengasuh anak-anak, ataupun sopir. Yang terakhir itu bisa lebih aneh-aneh ceritanya. Dipanggil-panggil lewat ”car call” di mal sopir tak kunjung muncul. Padahal, majikan sudah ada janji mendesak. Terpaksa majikan naik taksi karena si sopir tertidur di tempat parkir. Ada sopir cerdas, muda, ujung-ujungnya menimbulkan masalah di rumah. Dia menyatroni cewek-cewek sekitar sampai ada yang hamil.

Cerita bisa ke mana-mana kalau Anda menanyai orang satu per satu. Tak ada orang sempurna. Kita tak bisa hanya judek, jutek, mabuk, menghadapi para pembantu atau mereka yang bekerja untuk kita. Dibutuhkan kesabaran untuk melatih mereka dari proses gegar budaya. Seorang teman berkata arif: ya sudahlah. Kita punya sopir yang bisa mengantar kita ke mana-mana dengan selamat saja sudah bagus.

Lalu bagaimana dengan pembantu-pembantu rumah tangga dari desa-desa, yang lewat calo-calo tenaga kerja dikirim ke sejumlah negara? Tanpa pelatihan, tanpa orientasi? Tanpa penanganan programatik oleh negara? Yang keberadaannya di bandara malah membuat risih para anggota DPR yang terhormat, yang berjas bagus dan si perempuan berambut licin membuat terpeleset lalat yang menclok?

Bagaimana dari kondisi hidup di desa di dekat kandang sapi, mereka harus hidup di metropolitan dunia yang asing? Di mana di sejumlah tempat ada yang melucuti semua milik mereka agar mereka tak kabur?

Banyak orang mengelus dada mendengar pemecahan: kasih mereka semua handphone untuk melapor. Alangkah repot call center yang harus menangani jutaan TKI di sejumlah negara ini. Pak, bagaimana naik lift? Pak, bagaimana menghidupkan mesin cuci? Pak, saya hendak diperkosa....

Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010

Instalasi: Bilik Hitam Sunaryo

-- Putu Fajar Arcana

APA yang bisa dikerjakan dalam bilik 6 x 7 meter? Di tangan perupa seperti Sunaryo bilik itu bisa lahir menjadi karya instalasi tentang pohon-pohon yang merintih dan bumi yang bergejolak lalu meruapkan bencana.

Istimewanya, karya instalasi bertajuk ”Titik Bumiku” itu dipamerkan 18-21 November 2010 dalam Design.ID 2010, sebuah pameran interior internasional di Jakarta Convention Center, yang jelas-jelas berorientasi dagang. Dalam ajang itu Sunaryo seperti berada di tengah pasar, yang riuh oleh transaksi. Ia berani menyeberangi kebiasaan dalam pameran dagang dengan senjata etika kesenian.

”Saya coba mengajak mereka membuat stan yang tidak harus berorientasi transaksi seketika,” ujar Sunaryo. Dalam mewujudkan karya ini, perupa kelahiran Banyumas ini bekerja sama dengan sebuah produsen keramik mewah. ”Saya bersedia dengan syarat, tidak ada transaksi dan pameran produksi keramik. Ternyata itu dituruti, ya saya berkarya,” kata Sunaryo.

Titik Bumiku adalah karya yang independen. Ia tidak memiliki kaitan apa pun dengan produk keramik yang menjadi sponsor pameran. Di pintu akhir bilik memang terdapat brosur produk-produk keramik yang diproduksi oleh satu perusahaan. Tetapi, tidak terdapat contoh barang yang dijajakan.

Lingkungan

Di luar bilik, Sunaryo ”menancapkan” sebatang pohon jati seukuran pelukan orang dewasa yang sedang merangas. Pada bagian atas pohon ditancapkan besi-besi dan beton. Jelas ini simbol tentang kondisi lingkungan kita sekarang. Pohon berbeton ini adalah ancang-ancang untuk memasuki bilik yang di dalamnya menyimpan tragedi tentang hancurnya sebuah peradaban kehijauan.

Pada bagian pertama sebuah lukisan tentang hutan terbakar di dinding. Sunaryo menyapukan cahaya merah ke arah lukisan dan seseorang yang sedang bergerak sembari menaburkan dedaunan kering. Lalu di bagian kedua sebuah karya video instalasi tentang lingkungan yang di depannya terdapat batu besar dengan sebuah keris tertancap di atasnya. Di situlah titik bumi, ketika eksploitasi atas nama keuntungan berbalik menjadi penghancuran.

Titik puncak dari karya terletak di bilik ketiga. Sunaryo melapisi dinding dengan cermin yang saling berhadapan. Di antara cermin itu ia memasang beberapa tonggak pohon yang ditebang serta sebuah keran air.

Kedua cermin yang sedang berhadapan itu kemudian saling memantulkan obyek yang berada di antara keduanya. Terciptalah dataran luas dengan pohon-pohon yang ditebang serta tetesan air dari sebuah keran. Lagi-lagi ini sebuah peringatan tentang hancurnya lingkungan kita akibat eksploitasi manusia sehingga air pun menyusut tajam.

Dalam bilik hitam ini Sunaryo sedang mengkritik perilaku semena-mena terhadap lingkungan, yang hasilnya bisa saja banjir yang melanda Jakarta, sebagaimana yang ia juga ia pajang dalam karya ini. Sunaryo juga sedang memaparkan betapa karya seni diciptakan dengan sebuah gagasan yang relasinya begitu intim dengan realitas.

”Seni adalah gagasan dan dagang adalah transaksi, maka di sini saya sedang bertransaksi tentang gagasan,” katanya. Transaksi dalam pengertian Sunaryo tentu mengarah pada beberapa hal. Pertama, bisa jadi mengarah pada konteks pameran yang dilakukan di tengah-tengah pameran dagang. Ia sedang mencoba bernegosiasi dengan kondisi untuk menyodorkan gagasan tentang sebuah karya yang tidak harus tampak komersial.

Kedua, Sunaryo jelas sedang melakukan ”jual-beli” gagasan dengan para penikmat pamerannya. Jika Anda tidak tersentuh setelah menyaksikan kajian-kajian yang dipresentasikan Sunaryo, jangan-jangan Anda kehilangan kepekaan terhadap tragedi.

Pada dasarnya bilik hitam Sunaryo adalah sebuah tragedi di tengah riuh-rendah transaksi dagang yang berlangsung di lobi gedung Balai Sidang itu. Ia hadir menjadi titik idealistis dalam hamparan konsumtivisme, yang terkadang menyesatkan. Maka itu, seharusnya sebuah pameran dagang mengarah pada sinergi produk-produk konsumsi yang ramah terhadap lingkungan.

Hanya dengan cara itu, kita terhindar dari kemungkinan melakukan perusakan terhadap lingkungan secara ”sengaja” tetapi tanpa disadari. Dalam pameran dagang ini, Titik Bumiku justru menemukan habitatnya yang tepat. Dan, belum tentu berbicara banyak jika ia dicabut lalu dipamerkan secara mandiri.

Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010

Pentas: Spiritualisme Ayu Laksmi

-- Ilham Khoiri & Putu Fajar Arcana

Om Mani Padme Hum/
Om Mani Padme Hum
Om Mani Padme Hum/
Om Mani Padme Hum
Om Mani Padme Hum/
Om Mani Padme Hum
Om Mani Padme Hum/
Om Mani Padme Hum…

Ayu Laksmi bersama grup musiknya tampil di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (25/11), dalam konser bertajuk "Svara Semesta". Penampilan ini sekaligus merupakan peluncuran album perdananya yang juga bernama "Svara Semesta".(KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Mantra Avalokitesvara (Chenrezig) dalam tradisi Budhisme Tibet itu dilantunkan berulang-ulang oleh Ayu Laksmi (43), pemusik dan penyanyi asal Singaraja, Bali. Nadanya lembut, mirip gumaman. Penonton kemudian diajak mendendangkannya bersama-sama.

Bagai zikir, petikan mantra Buddha itu mengalun berulang-ulang. Iringan tabla dan suling yang mendayu—agak serupa musik tradisional India—mengentalkan kesan magis, mengingatkan pada suasana ritual dalam wihara. Ayu juga menyanyikan lirik berbahasa Inggris, tetapi kemudian kembali mengajak penonton menyuarakan ”Om Mani Padme Hum”.

Sutradara Garin Nugroho yang hadir malam itu juga diajak menyanyi. Gema mantra itu menggoda penonton untuk masuk dalam suasana kontemplatif. Di sela menyanyi, Ayu menjelaskan, ”Om Mani Padme Hum” kurang lebih berarti keutuhan, welas asih, kebijaksanaan, dan penyatuan antara welas asih dan kebijaksanaan.

Lagu berjudul ”Here, Now, and Forever—Om Mani Padme Hum” itu merupakan bagian dari pertunjukan musik dan peluncuran album Ayu Laksmi, Svara Semesta (Voice of The Universe), di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis (25/11) malam. Dalam pentas berdurasi sekitar dua jam itu, ada sembilan lagu yang dikumandangkan Ayu. Iringan musik didukung, antara lain, oleh gitaris Wayan Balawan, Ketut Riwin, pemetik sitar asal Shanghai, China, Wang Ying, dan pemain tabla asal India, Viki Vines Rajantran.

Gambaran tadi mungkin bisa mencerminkan semangat musik Ayu. Lirik dan komposisi musik dasar garapan Ayu dalam album itu berusaha menyajikan kembali khazanah tradisi dengan landasan spirit kontemporer. Kidung sakral, sebagian berasal dari ritual Hindu di Bali, dilantunkan dalam kemasan yang lebih bebas, modis. Musiknya pun leluasa mempertemukan instrumen lokal dari Nusantara dan asing.

Dalam lagu ”Wirama Totaka,” misalnya, Ayu memasukkan petikan Kakawin Arjuna Wiwaha, karya Empu Kanwa dari abad ke-10 Masehi. Salah satu kutipan itu berbunyi: Sasiwimba haneng ghatta mesi banyu/ndan asing suci nirmala mesi wulan/iwa mangkana rakwa kiteng kadadin/ring angambeki yoga kiteng sakala. Lirik ini tak dibaca dalam irama mantra yang monoton, melainkan dilantunkan dalam adonan agak ngepop dan dibaurkan dengan lirik berbahasa Inggris.

Selain bahasa Sansekerta dan Inggris, Ayu juga menggunakan bahasa Kawi, bahasa Bali, dan bahasa Indonesia. Keluwesan juga terasa pada olah vokal Ayu yang kadang melengking, mengalun merdu, atau serak. Semua itu mencerminkan keinginannya membebaskan diri dari batas-batas bahasa, agama, dan negara, sembari memperkuat universalitas bahasa musik.

Pada era 1990-an nama Ayu Laksmi dikenal sebagai penyanyi rock. Bahkan, pada periode itu, ia malang-melintang dalam dunia hiburan malam di kawasan Kuta, Bali. Ada yang berubah pada dirinya, memang. ”Ini dipilihkan Tuhan dan kemudian saya jalani dengan nyaman. Album ini adalah persembahan untuk Tuhan, manusia, dan semesta. Dengan ketulusan hati, seni akan terdengar, terlihat, dan terasa lebih indah,” katanya.

Universal

Sastrawan dan pengamat budaya asal Bali, Cok Sawitri, menilai, jenis musik yang diusung Ayu Laksmi menemukan relevansinya dalam kehidupan sekarang. Bagaimanapun, kenyataannya agama-agama telah memisahkan manusia dalam kelompok-kelompok berbeda. Dunia saat ini juga dipenuhi kekerasan.

Lewat bahasa seni yang bersifat universal, seperti seni musik, manusia bisa menyatu kembali. ”Seni membebaskan kita untuk menemukan diri sebagai individu yang independen,” katanya.

Bagi Bens Leo, pengamat musik yang menjadi moderator dalam jumpa pers sebelum pentas, jenis musik yang ditekuni Ayu termasuk world music—dalam arti sajian musik yang melewati batas-batas negara, bahasa, dan budaya.

”Musik Ayu masuk dalam jajaran musik dunia. Kekuatannya terletak pada pentas di panggung yang menyajikan lagu selama tujuh menit lebih, tetapi tetap menarik,” katanya.

Kemunculan Ayu Laksmi dengan kidung kontemporer memang cukup menyegarkan, termasuk dilihat dari perjalanannya sendiri. Bayangkan saja, debut penyanyi ini berawal dari musik rock, dengan album perdana, Istana yang Hilang (tahun 1991). Ketika album itu kurang sukses dalam pasar industri musik nasional, Ayu yang sebelumnya tinggal di Jakarta pulang ke Bali. ”Mungkin garis nasib saya bukan di industri musik hiburan,” katanya.

Setelah menjajaki berbagai hal, Ayu kembali menemukan dirinya kembali lewat budaya Bali. Kepercayaan itu kian kukuh ketika dia menikah dengan Steven Van Lierde, lelaki asal Belgia, tahun 2006. Dia kemudian menekuni musik yang berangkat dari khazanah budaya lokal, tetapi dikemas dalam sajian universal.

Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010

Drama Musikal: Menonton Penonton Onrop!

-- Agus Noor

HARAPAN, gairah, dan kerinduan itu terasa selama sembilan hari pertunjukan Onrop! yang berlangsung 13-21 November lalu, di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Berada di antara para penonton, kita bisa ikut merasakan kegembiraan mereka, yang ikut bertepuk, menyanyi, dan tertawa, sepanjang pertunjukan drama musikal yang disutradarai Joko Anwar itu. Inilah tontonan, yang terasa pas dengan para sosialita dan kelas menengah Jakarta, yang merindukan ”hiburan alternatif”, di luar film dan konser musik yang berlimpah.

Onrop (ERIEKN JURAGAN)


Sebagai sebuah tontonan, Onrop! memang telah memuaskan banyak penonton. Tapi, menyaksikan gairah para penonton tersebut, juga menjadi tontonan tersendiri. Setidaknya bagi saya: seperti menonton penonton yang punya kelas sendiri. Penonton yang ingin mengidentifikasikan selera dan minatnya terhadap bentuk pertunjukan yang mereka tonton.

Situasi itu mengingatkan saya pada masa-masa ketika Teater Koma muncul dan menjadi alternatif pertunjukan yang banyak ditonton publik Jakarta. Kemunculan Teater Koma, selain pencapaian artistik yang mereka kembangkan, tidak bisa dilepaskan dari tumbuhnya selera penonton kelas menengah yang kemudian menjadi basis penontonnya. Teater Koma mampu mengisi ”ruang kosong” dunia pertunjukan dan hiburan yang sesuai dengan selera kelas menengah Jakarta. Seperti ditengarai Jakob Sumardjo, yang mencatat sejarah pertunjukan teater di Indonesia, pertumbuhan panggung teater di negeri ini memang tak bisa dilepaskan dari dinamika dan perubahan selera yang terjadi di kelas menengah perkotaan.

Ekspresi budaya kota

Perlu dicatat, pada periode kemunculan Teater Koma itu, pentas-pentas seni tradisi terasa semakin tidak mendapat tempat, terpinggirkan, dan ditinggalkan penonton, seakan panggung pertunjukan tradisi itu tak lagi mewakili ekspresi budaya perkotaan yang tengah berubah. Publik penonton kelas menengah seakan ”merindukan” bentuk pertunjukan yang lebih segar dan baru. Karena itu, kemasan teater modern, dengan nyanyian dan struktur dramaturgi yang terencana rapi, yang dikembangkan Teater Koma dalam pentas-pentasnya (mulai dari Opera Julini, Opera Ikan Asin, sampai Burisrawa) seolah menjadi bentuk pertunjukan yang cocok dan sesuai dengan pertumbuhan selera penonton kelas menengah Jakarta itu. Dengan formulasi komedi, satir, kritik sosial, nyanyian dan tata artistik pemanggungan yang tergarap dengan baik, pentas-pentas Teater Koma kemudian menarik hasrat penonton untuk mendatangi gedung teater.

Dengan formulasi pertunjukan yang tak jauh berbeda dengan Teater Koma itu, pertunjukan drama musikal Onrop! bisa langsung tune in dengan penonton. Berkisah tentang Bram, penulis novel, yang cemas dan tertekan karena lingkungan sosial yang mulai menerapkan ”standar moralitas bagi setiap warga negaranya”, Onrop! seperti mengingatkan bahaya otoritarianisme berkedok moralitas yang kini terasa mengancam kehidupan yang penuh cinta dan toleransi. Bram, yang dianggap melanggar moralitas, akhirnya dihukum buang ke Pulau Onrop, sebuah pulau yang angker dan mengerikan, tempat di mana para penjahat yang mengancam ketertiban moral dibuang dan diasingkan. Tapi pada kenyataannya, Pulau Onrop tidaklah sebagaimana yang digambarkan oleh penguasa moral, hakim-hakim moral.

Kita tak hanya mendapatkan bentuk hiburan yang tergarap dengan baik secara artistik dan dramatik, tetapi juga (ini yang penting) komunikatif dan lumayan reflektif. Penonton menemukan hiburan yang secara artistik sesuai dengan selera mereka, sekaligus memperoleh peluang untuk mengenali apa yang menjadi persoalan dan kegelisahan bersama.

Cerita yang ringan, dengan struktur penceritaan yang populer, menjadikan alur pertunjukan bisa mengalir lancar. Humor seputar seksualitas, dan sentilan sosial atas isu-isu aktual, dengan gampang memancing tawa penonton. Dan inilah yang membuat Onrop! terasa akrab, dekat dan komunikatif. Tema soal ”ornopgrafi dan ornopaksi” juga merupakan tema yang langsung menjadi kegelisahan para penonton yang modis dan wangi itu. Onrop! seperti mampu mengartikulasikan kegelisahan, kecemasan, sampai kejengkelan mereka terhadap ancaman ”otoritarianisme” moral yang langsung bersentuhan dengan gaya hidup mereka.

Mengaitkan Onrop! dengan karakter dan antusiasme penonton yang menyertainya, tak bisa dilepaskan dari banyaknya drama musikal yang belakangan ini banyak digelar di Jakarta. Bisa dicatat pementasan Gita Cinta The Musical (Ari Tulang, diproduksi ArtSwara), yang digelar 19-21 Maret di Graha Bakti Budaya, TIM. Kemudian Jakarta Love Riot (Rusdy Rukmarata-EKI Dance Company) yang digelar 2-4 Juli di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ); Diana (Garin Nugroho-Kompas) Balai Sidang, Senayan, 7-8 Juli; Dreamgirls (Frida Tumakaka, Alicia Kasih-Jakarta Broadway Team) Balai Kartini, Jakarta, 17-18 Juli 2010. Dan yang juga terasa antusias ditunggu oleh publik Jakarta, yang sebentar lagi digelar: Laskar Pelangi (Riri Reza).

Di luar pertunjukan musikal yang disebut itu, sudah tentu masih banyak lagi pertunjukan yang telah menjadi bagian ingatan penonton Jakarta. Terus terang, saya tak menonton semua pertunjukan itu. Tetapi rasanya pertunjukan Onrop! itulah yang seakan mampu memperlihatkan gairah dan antusiasme penonton kelas menengah Jakarta terhadap fenomena drama musikal. Tak berlebihan apabila kita berharap, andai saja Joko Anwar atau yang lain mau secara kontinu memproduksi drama musikal, maka antusiasme penonton itu akan makin terbentuk dan menjadi penopang industri pertunjukan seperti ini. Persoalan terbesar yang sering bikin ngeper adalah biaya produksi yang tinggi. Juga tiket yang akhirnya menjadi mahal.

Soal tiket yang mahal itu, saya ingat sebuah joke: bila bikin pertunjukan di Jakarta, semakin mahal tiketnya, justru semakin diburu. Karena sering kali terjadi, tiket yang pertama kali ludes atau habis terjual justru tiket yang paling mahal, bukan yang kelas festival. Joke itu mungkin menggambarkan minat dan antusiasme penonton kelas menengah itu: yang butuh hiburan bagus, tak soal tiket mahal.

Jadi, jangan khawatir. Ayo terus bikin drama musikal!

Agus Noor, Cerpenis dan Penulis Naskah Monolog

Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010

Menggarami Laut Kritik Sastra

-- Maman S. Mahayana

KESALAHPAHAMAN atas kritik sastra Indonesia telah membentuk sejarahnya sendiri. Bagaimanapun, latar belakang pendidikan dan tingkat apresiasi setiap pembaca, tidaklah seragam. Maka, simpang siur pemikiran tentang kritik sastra Indonesia menggelinding, membentangkan perjalanannya yang panjang. Tanggapan atas buku Darah Daging Sastra Indonesia (2010), Damhuri Muhammad, adalah satu contoh. Semangat untuk menghasilkan kritik sastra khas Indonesia 1980-an, juga kesalahpahaman lain lagi. Contoh lain tentu masih dapat kita deretkan. Sejak istilah kritik sastra dilontarkan Sutan Takdir Alisjahbana (Pandji Poestaka, edisi 5, Th. X, Juli 1932), kesalahpahaman itu kerap terjadi hingga menjelma salah kaprah yang lalu diperlakukan seolah-olah sebagai kebenaran.

Esai "Seolah-olah Kritik Sastra" (Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2010), substansinya adalah coba menekankan pentingnya keadilan dalam memperlakukan karya. Diingatkan pula perlunya berhati-hati dalam melontarkan istilah dan cermat memanfaatkan sumber, agar tidak terjadi sesat nalar dan salah data. Tetapi apa yang terjadi? Muncul beberapa pandangan yang malah makin menjauhkan panggang dari api. Jadi, kesimpangsiuran gagasan itu menegaskan lagi terjadinya kesalahkaprahan dalam memaknai-memahami-substansi kritik sastra.

Kritikus hendaklah berperilaku arif ketika menanggapi karya apa pun. Maka, ketika satu istilah diperlakukan untuk merontokkan keseluruhan, jelas hal itu dapat mencederai rasa keadilan. Problem itu pula yang dalam Metode Ganzheit hendak ditekankan, yaitu menempatkan setiap elemen sebagai penyatuan totalitas.

Pembaca memang punya kebebasan untuk menanggapi dengan cara apa pun. Akan tetapi, hak mutlak pembaca itu, patut dibarengi kesadaran untuk bersikap arif dan cerdas yang justru mesti menjadi semangat dasar kritik(us) sastra. Sikap serampangan dalam menulis kritik sastra, tak hanya menunjukkan kerdilnya kecerdasan, tetapi juga cermin kebelummatangan wawasan dan kebeliaan memasuki wilayah yang sesungguhnya baru diketahui kulitnya belaka. Sebagai mualaf tentu saja belajar berhati-hati jauh lebih terpuji. Dalam konteks itulah, pemahaman kesejarahan adalah hal yang mustahak dan penting. Jika ada yang mengingatkan kesalahan elementer itu, sepatutnya pula ditanggapi bukan dengan cara mengulangi kembali ketersesatannya, melainkan dengan memperlakukan catatan masa lalu secara kritis untuk mampu memilah, mana sumber terpercaya, mana fakta yang masih patut dipertanyakan, seperti kisah pertentangan H.B. Jassin dan Chairil Anwar itu. Jadi, eloklah menambah satu atau dua buku pengantar ilmu sejarah. Sebab, tugas kritikus bukan sekadar sebagai Sherlock Holmes yang mesti tetap waspada dan kritis, tetapi juga akurat dalam memilih data agar tak terkecoh oleh fakta yang fiktif atau oleh fiksi yang dimitoskan jadi fakta.

Ada tiga faktor utama yang menggelindingkan ketersesatan pemahaman atas kritik sastra Indonesia selama ini: (1) lalai membaca sejarah, (2) salah kaprah memahami hakikat dan tujuan kritik sastra, (3) keliru memahami kategori kritik sastra.

Bermula Maret 1932 saat majalah Pandji Poestaka membuka rubrik "Memadjoekan Kesoesasteraan." Dari sana, kritik sastra teoretis berupa konsep-konsep puisi dengan model estetikanya, melengkapi praktik kritik sastra berupa pembahasan sejumlah puisi. Model kritik sastra itu lalu merebak semarak ketika STA hengkang dari majalah itu dan mengelola Poedjangga Baroe. Bahkan, estetika pantun pun muncul di sana sebagai penolakan atas pandangan peneliti Barat yang memperlakukannya dengan estetika puisi Eropa. Esai-esai kritik sastra yang semarak di berbagai media massa 1950-an (baca: Akar Melayu: Ideologi dalam Sastra, 2001; 2010), menunjukkan panorama adanya benang merah pada model esai kritik sastra STA. Pada 1970-an, meski ada sejumlah surat kabar dan majalah masih memainkan peranan penting, wibawanya di dunia akademik, mulai direbut kritik aliran Rawamangun. Akan tetapi, apa yang terjadi selepas pengaruh Aliran Rawamangun mulai pudar?

Seolah-olah terjadi krisis kritik sastra. Padahal, Aliran Rawamangun membangun paradigmanya di lingkungan akademis. Lalu muncul kerinduan pada H.B. Jassin dengan model esai-kritiknya. Jassin sebenarnya bagian dari kelompok Rawamangun itu. Jelas, ada dua jalur perkembangan: (1) kritik akademis dengan segala kurikulumnya sebagai produk institusi sastra, dan (2) kritik umum yang ditanamkan STA dan dikembangkan Jassin yang medianya majalah dan surat kabar. Oleh karena itu, tak perlulah repot-repot menderetkan berbagai kutipan tentang esai. Bukankah judul buku Jassin yang empat jilid itu tegas menyebut: kritik dan esai.

Keinginan menjadi kritikus (sastra) adalah hak segenap manusia. Pendidikan formal lewat institusi hanya satu cara. Cara lain dengan latar belakang keilmuan atau wawasan yang juga lain, tentu saja sangat diizinkan. Institusi sastra tidaklah dimaksudkan semata-mata sebagai lembaga pencetak kritikus (sastra). Jadi, menulis kritik sastra dapat dilakukan siapapun. Latar belakang pendidikan adalah alat bantu. Skripsi-disertasi atau esai-resensi hakikatnya sama, yaitu apresiasi atas karya, meski ekornya jatuh pada kebertanggungjawaban ilmiah (kritik akademis) dan kemengaliran (kritik umum).

Sejak Plato dan Aristoteles menganalogikan posisi kritikus sebagai hakim yang mesti adil melakukan timbangan (evaluasi), konsep evaluasi itu terus menggelinding, berkembang biak melahirkan konsep dan istilah baru dengan segala cabang rantingnya. Meski begitu, hakikat dan tujuan kritik sastra tidak bergeser dari semangat awal: melakukan timbangan yang bijaksana dan sekaligus mengungkap kekayaan teks (sastra). Kritik sastra yang memperkarakan konsep, metode, aliran, pendekatan, atau segala yang berkaitan dengan teori, membentangkan paradigmanya sendiri. Itulah yang disebut kritik sastra teoretis (theoretical criticism). Manakala segala konsep itu coba diaplikasikan pada karya sastra, disebutlah kritik sastra konkret, kritik praktik (practical criticism) atau kritik terapan (applied criticism). Pandangan-pandangan Roman Jakobson, Cleanth Brooks, Roland Barthes, atau STA, Jassin (Aliran Rawamangun), Goenawan Mohamad-Arief Budiman (Metode Ganzheit), atau Ariel Heryanto (Sastra Kontekstual) adalah kategori kritik sastra teoretis. Tentu saja perbincangannya berbeda dengan kritik sastra konkret, meski tak terhindarkan: kerap bersinggungan.

Nah, yang terjadi dalam polemik ini--dan sebelum itu sudah berulang kali terjadi--adalah pencampuradukan pengertian antara kritik sastra teoretis dan model kritik praktik. Itulah yang saya maksud dengan sesat nalar. Oleh karena itu, meski masih mualaf, penting artinya memahami dulu kategori kritik sastra. Maka, klaim diri sebagai pujangga dengan bergincu di balik rangkaian istilah yang terkesan canggih, hakikatnya tak beda dengan menggarami laut.

Maman S. Mahayana, pengajar FIB-UI, kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010

Perjalanan Media Diplomasi

PERJALANAN Unit Kesenian Unpad ke Eropa, khususnya Prancis, menurut Atase Kebudayaan RI di Prancis, Sudradjat, menjadi media diplomasi strategis secara budaya. KBRI merasa terbantu dengan program seni yang dipergelarkan. Apalagi tim juga tampil di ajang pameran cokelat terbesar yang mendatangkan wisatawan dari berbagai kota dan negara di Eropa. Termasuk berkeliling ke kota-kota kecil di Prancis yang sebagian besar penduduknya lansia.

Hal ini menurut Sudrajat, dapat "mendulang" pasar wisata Indonesia sekaligus. Di ajang pameran "Salon Du Chocolat" dapat mengenalkan Indonesia ke berbagai negara, sedangkan di berbagai kota kecil di Prancis dapat menggaet para lansia untuk berwisata. Mengingat para lansia Prancis merupakan pelaku wisata Eropa terbanyak yang mengunjungi Indonesia.

"Jadi, bila secara ekonomi, sosial, politik, dan perkembangan teknologi Indonesia masih sulit berbicara di kancah dunia, melalui seni dan budayalah, media diplomasi strategis bagi Indonesia," ujarnya.

Dari sisi akademisi, Dr. Ramdan Panigoro memaparkan, selain misi kesenian yang dipentaskan di berbagai tempat termasuk di perguruan tinggi, melalui tim ini Unpad telah berhasil membuka peluang kerjasama dengan dua perguruan tinggi. Scienes Po Universitiy di Le Harve (Prancis) dan Leiden University di Amsterdam).

Kerja sama dengan Scienes Po University dimediasi langsung oleh Guru Busar Ekonomi yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor II Unpad Prof. Dr. Rina Indiastuti, SE, MSEI, mengingat konsentrasi perguruan tinggi tersebut lebih pada bidang ekonomi. Sedangkan kerja sama dengan Leiden University merupakan lanjutan dari kerja sama yang sudah dilakukan sebelumnya dengan Unpad.

Kerja sama ini menurut Dr. Ramdan Panigoro, berkenaan dengan peluang penelitian dan pengembangan fitofarmaka. Setelah sebelumnya Unpad dan universitas tersebut bekerja sama dalam program "Integrated Microfinance Management" (IMM). Bahkan, pada saat Unit Kesenian Unpad berada di Amsterdam pun, Unpad bekerja sama dengan Leiden University sedang menggelar seminar internasional tentang jamu di Bandung.

Ramdan menilai, seni sebagai media diplomasi perguruan tinggi, sangat fleksibel dan tidak kaku. Banyak calon mahasiswa maupun dosen yang tertarik melakukan penelitian di Unpad setelah menyaksikan pertunjukan yang dipersembahan tim. Itu artinya, kata Ramdan, seni Sunda telah menjadi "ikon" bagi masyarakat Eropa dalam mengenal Unpad.

"Saya kira langkah ini tidak salah, sebab di satu sisi seni Sunda terus berkembang di Unpad dan dikenal masyarakat dunia. Sedangkan di sisi lain, melalui seni Sunda pula, Unpad berhasil menjajaki berbagai kerja sama untuk mengembangkan lembaganya secara akademik," ujarnya.

Selain itu, pada saat pentas di Leiden University, tim juga berhasil mengumpulkan dana kemanusiaan untuk korban tsunami di Mentawai dan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Hal itu mengemuka setelah Wakil Duta Besar RI di Amsterdam Umar Hadi dan Director LEAD Programme Unversitas Leiden, Prof. Dr. Dr. (h.c.) L. Jan Slikkerveer menyampaikan pidato kemanusiaannya seusai pementasan sehingga ribuan euro pun terkumpul untuk disumbangkan.

"Seni (baca: Sunda, red) itu memang luar biasa. Mampu berbicara universal. Batas bangsa dan negara pun menjadi lebur. Tidak ada lagi perbedaan, yang ada hanya persamaan rasa akan keindahan," ujar Tuti C. Atmawidjaja, warga Indonesia yang sudah lama tinggal di Den Haag saat menyampaikan komentarnya tentang pertunjukan Unit Kesenian Unpad di Leiden University. (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010

Sunda yang Mendunia

BEGITULAH cita-cita Ganjar Kurnia saat menjabat sebagai Atase Kebudayaan dan Pendidikan KBRI di Prancis. Terbukti, hampir setiap tahun KBRI Prancis senantiasa menggelar pertunjukan seni dan budaya Sunda di antara pertunjukan seni dan budaya dari daerah lain. Cita-cita itu sudah bertumbuh jauh sebelum ia menjabat sebagai Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) seperti sekarang.

Atase Kebudayaan KBRI Prancis yang kini menjabat, Sudradjat, mengatakan, hal itu kini sudah menjadi semacam "amanah". Agar KBRI Prancis senantiasa memasukkan seni budaya Sunda sebagai salah satu agenda pertunjukan budaya yang digelarnya. Mengingat, sebelumnya seni Sunda sudah dikenal masyarakat Prancis.

Kebijakan ini bersambung dengan Unpad sekarang yang menjadikan seni Sunda sebagai pengembangan kampus. Ganjar Kurnia mengatakan, bila di Jawa masih ada keraton yang dapat mempertahankan seni dan tradisi setempat atau di Bali ada pura, di Jawa Barat, perguruan tinggilah lembaga yang harus memelihara dan mengembangkan seni budaya Sunda.

Kebijakan ini direalisasikan dalam banyak agenda, antara lain penerimaan mahasiswa Unpad melalui jalur talent scouting bidang seni Sunda, mendirikan Gedung Kesenian Bale Rumawat dan menggelar berbagai pementasan seni Sunda di sana, serta memberangkatkan Unit Kesenian Unpad ke berbagai negara. Seperti keberangkatan Unit Kesenian Unpad ke Eropa pada 15 Oktober s.d. 10 November lalu.

Kegiatan ini merupakan realisasi dari pengembangan seni budaya Sunda. Hasilnya sangat membanggakan. Pepatah mengatakan, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Tim bukan saja berhasil memukau masyarakat Eropa, tetapi juga sukses mengemban misi sebagai duta budaya bangsa.

Dengan kerja keras, Unit Kesenian Unpad mampu memberi citra baik Indonesia di mata masyarakat Eropa. Masyarakat Eropa memandang Indonesia sebagai negeri yang cantik, kaya dengan potensi seni, dan menakjubkan untuk dikunjungi. Seperti pada antusiasme penonton yang menanyakan Indonesia di setiap akhir pertunjukan.

Tim didukung 23 personel penari/nayaga dan 6 ofisial, 3 perwakilan akademisi Unpad masing-masing Direktur Kerja Sama Unpad Dr. Ramdan Panigoro, Pembantu Rektor II Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E., M.E.I., dan Manajer Ofisial Dr. Keri Dandan Lestari, Apt. Selain itu, ikut serta pula perwakilan Dirjen Dikti, P. Suharyono.

Tim mengunjungi tiga negara paling berpengaruh di Eropa, Prancis, Amsterdam, dan Budhapest selama 24 hari, 14 hari digunakan di Prancis, 5 hari di Amsterdam, dan 5 hari di Budhapest. Di Prancis tampil di 6 tempat, di Amsterdam di 2 tempat, dan di Budhapest di 2 tempat.

Efektif

Sejak awal keberangkatan, tim beranggotakan 10 perempuan, 13 pria, dan 1 orang penata pentas ini mensyaratkan para pemain tidak hanya piawai menari, menyanyi, atau bermain musik, tetapi juga harus siap merangkap sebagai pengelola pentas. Tujuannya agar jumlah orang yang berangkat efektif dan efesien.

Di Prancis, tim tampil di berbagai tempat dengan jadwal pentas sangat padat. Mulai dari Gedung Kesenian Conservatoire Antony, di St. Antony, Perancis (16/10), Gedung Kesenian Arthur Honegger, Le Harve, Auditorium SCiences Po, Le Harve (19/10), Gedung Kesenian La Mothe St. Heray (21/10), Gedung Pertemuan masyarakat Kota Sanxay (22/10), Gedung Kesenian Neuville (23/10), di Gedung Kesenian La Sale De Fetes, Clermont (26/10), dan puncaknya di ajang pameran "Salon Du Chocolat" yang diselenggarakan di jantung kota Paris (28-31/10).

Hampir setiap hari ada pentas. Kalau pun terdapat hari kosong tanpa pementasan, waktu tersebut digunakan untuk perjalanan antarkota. Mengingat jarak satu tempat pementasan dengan lainnya sangat berjauhan padahal base camp panitia tetap di Paris. Ada kalanya tim harus menempuh lebih kurang 400 km perjalanan sampai ke tempat tujuan.

Seperti pentas di Clermont, tim menghabiskan perjalanan lebih kurang tiga jam. Dilanjutkan agenda menata panggung selama lebih kurang dua jam, pementasan dua jam, dan tiga jam lagi perjalanan kembali ke Paris. Hal ini sangat menguras tenaga tim, apalagi cuaca sangat dingin ditambah angin akhir musim gugur yang sangat kencang.

Namun, di semua tempat itu pula, tempat duduk yang tersedia tidak pernah tersisa. Padahal tidak semua gedung kesenian merupakan bagian dari sekolah musik. Ada kalanya, gedung yang digunakan berupa gedung pertemuan masyarakat sekitar. Seperti di La Mothe dan Sanxay, gedung yang digunakan berupa gedung pertemuan masyarakat setempat. Namun karena rasa ingin tahu masyarakat Prancis sangat tinggi, semua gedung terisi penuh.

Menurut KBRI Prancis yang memfasilitasi rangkaian kegiatan ini, semua penonton memesan tempat duduk terlebih dahulu melalui internet. Gratis, memang. Tetapi justru karena gratis, tidak mudah bagi masyarakat Prancis untuk memperoleh undangan itu. Mengingat kapasitas tempat duduk yang tersedia terbatas dan pertunjukan hanya satu kali di setiap tempat.

Pentas di Conservatoire Antony, misalnya. Di gedung kesenian yang menjadi bagian dari sekolah musik Antony ini, Unit Kesenian Unpad berhasil memikat lebih dari 250 penonton. Penonton sampai "meluber" di tangga masuk. Bahkan pentas terasa semakin tidak berjarak manakala penonton terlibat langsung dalam permainan angklung.

Puas

Bagi masyarakat Prancis, angklung menjadi alat musik ajaib yang menakjubkan. Karena angklung bukan hanya bisa memainkan lagu-lagu tradisional dalam nada pentatonik, tetapi juga lagu-lagu populer yang digemari dunia seperti "You Rise Me Up", "Here The World", "My Way", dll.

Komentar yang disampaikan sangat membanggakan. Deputy Major Antony, Anny Leon mengatakan, "C`est Joilie, C`es agreable!" ("Sangat cantik, sangat menyenangkan!"). Sedangkan Direktur Guy Borderieux, Issabelle Donnet berkomentar, "C`est manifique!" ("Sangat menarik!")

Pentas dikemas dalam satu rangkain acara yang berujung pada klimaks. Dimulai dengan suguhan tari-tarian gemulai seperti tari "Merak" dan tari "Ponggawa Gawil". Dilanjutkan dengan tari-tarian yang lebih mengentak seperti tari "Jaipong Gandes" dan tari "Cikeruhan". Disambung Arumba dengan suguhan lagu-lagu menawan dari Novi Aksmiranti, satu-satunya penembang yang mahir membawakan lagu-lagu Sunda maupun pop.

Pentas berlanjut pada permainan angklung bersama yang dipandu Nadya PuspaPujianti. Sampai tak ada lagi batas bangsa dan negara, semua larut dalam bahasa seni yang universal. Pentas mencapai klimaks dengan rampak kendang. Semua penonton bertepuk tangan, berjingkrak mengikuti irama kendang yang mengentak.

Selain tampil di berbagai tempat, tugas Unit Kesenian Unpad selama di Prancis adalah mengenalkan dan mengajarkan seni Sunda kepada pelajar maupun mahasiswa. Pada bagian ini, tim juga bertugas ganda sebagai guru tari, seni musik, dan wayang. Di Sekolah Musik St. Antony misalnya, tim mengajarkan tarian Jaipong dan rampak kendang kepada lebih kurang lima puluh mahasiswa seni.

Yang cukup menantang, tim sengaja tinggal bersama masyarakat setempat di kota kecil Sanxay karena sekolah yang akan mengikuti lokakarya cukup banyak. Kota Sanxay terletak 400 km dari Paris mengarah Timur Selatan dengan jarak tempuh empat jam dari Paris. Di kota berpenduduk 600 kk ini, tim disebar dan tinggal bersama orang tua angkat masing-masing.

Ada tujuh orang tua angkat yang menerima tim tinggal di rumahnya. Di keluarga-keluarga ini, tim menginap selama empat hari tiga malam.

Selama empat hari berturut-turut, tim mengajar seni Sunda di dua tempat, sekolah Beaussais Vitre di St Heray dan sekolah-sekolah di kota Sanxay. Di kedua tempat ini, tim mengajarkan angklung, arumba, jaipong, dan mengenalkan wayang kepada ratusan siswa preschool (taman kanak-kanak) sampai sekolah dasar (SD).

Mengajar seni dilakukan setiap pagi sampai siang hari. Malam harinya tampil di Gedung Kesenian La Mothe St. Heray, Gedung Pertemuan Kota Sanxay, dan Gedung Pertemuan Neuville. Pentas juga melibatkan para pelajar yang sudah mengikuti workshop angklung pada siang harinya.

Melekat

Workshop sengaja diberikan kepada pelajar TK dan SD. Tujuannya kata Dr. Ramdan Panigoro, agar memori peserta melekat kepada seni Sunda. Hal itu terbukti, setiap pentas digelar pada malam harinya, para pelajar kecil-kecil inilah yang dengan bangga mengenalkan angklung, arumba, tari-tarian, dan wayang golek kepada orang tua mereka yang hadir.

Bahkan kedekatan tim dengan masyarakat Prancis, tidak terbatas di pentas. Konsep homestay yang diterapkan, menjadikan hubungan kedua bangsa melebur satu sama lain. Para penari yang umumnya masih mahasiswa tingkat 1-2 merasa menemukan pengganti orang tua. Para orang tua angkat yang menerima mereka pun, seperti menemukan anak-anak mereka yang sudah pergi jauh.

Puncak tantangan Unit Kesenian Unpad selama di Prancis adalah saat manggung di pameran coklat "Salon Du Chocolat 2010". Pameran ini digelar di jantung Porte de Versailles, Paris. Diikuti ratusan lebih produsen dan pengusaha coklat terbesar dari berbagai negara di dunia. Sehingga acara-acara yang digelar pun sangat spektakuler. Mulai dari para ahli kuliner coklat, desaigner miniatur coklat, dan para ahli coklat, termasuk para perancang busana dunia yang memamerkan karya-karyanya. Di panggung ini, Unit Kesenian Unpad harus berbagi pentas dengan tim dari negara-negara lain. Namun berkat tari-tarian yang indah dan rampak kendang yang semarak, mereka berhasil merebut perhatian.

Satu hal yang harus digarisbawahi dari semua keberhasilan tim ini, adalah sejauhmana potensi kekayaan dan keindahan seni budaya Sunda ini dilindungi hak paten. Bukankah semakin dikenal dunia, semakin memungkinkan negara lain membuat, menciptakan, dan "mengklaim" seni serupa sebagai milik dari negaranya? (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010

STB: Protoplasma Teater Bandung

-- Fathul A. Husein

KERAP terdengar bahwa Studiklub Teater Bandung (STB) merupakan kelompok teater modern paling tua di tanah air. Didirikan pada 13 Oktober 1958, diresmikan dengan Akta Notaris Lie Kwee Nio tertanggal 22 Mei 1959. Mencermati fakta dari titimangsa masa berdirinya itu, dan notabene belum pernah ada pihak yang merasa keberatan atau bahkan menegasi fakta tersebut, hal itu boleh jadi telah diterima sebagai kebenaran umum.

Kendati bukan satu-satunya contoh, kekhasan STB salah-satunya terletak pada azas pendirian kelompok tersebut yang menitikberatkan prinsip-prinsip studi dan organisasi. Makanya dinamai dengan "studiklub". Hal yang jarang terjadi dalam struktur komunal kelompok-kelompok teater di Indonesia, yang kebanyakan lebih memperlihatkan diri dalam bentuk sanggar murni yang melulu berorientasi kepada eksistensi dan kehendak seorang tokoh. Sejak awal sejarahnya, STB menggeliat dari kegelisahan anak-anak muda (waktu itu) yang dipenuhi gelora hasrat kuriositas yang massif, bak spirit zaman Barok, untuk mendalami dan mempraktikkan prinsip-prinsip seni peran sejati dan bagaimana mengejawantahkannya ke atas pentas teater.

Produk-produk artistik mereka yang menyejarah (setidaknya dalam memori zamannya), adalah bukti dari dahaga pengetahuan dan pembelajaran yang dikonkretisasi dengan semangat disiplin dan kecermatan tingkat tinggi untuk membuahkan suguhan seni peran dan teater yang bisa dicerap secara estetis. Akan tetapi, mereka senantiasa sadar jika semangat belajar pada hakikatnya eksplorasi tanpa titik, tanpa kepuasan-kepuasan semu yang sesaat dan stagnan. Parameter yang mereka gunakan untuk menggulirkan kontinuitas kegiatan artistiknya tidak lain adalah parameter "demokratis" sebagai ranah kearifan organisatoris untuk menggodok tema-tema terpilih, menebar muslihat-muslihat produksi, hingga kecermatan dalam membangun divisi kerja dan penentuan casting.

Demokrasi tentu bukan tanpa risiko. Di dalamnya berlangsung sengitnya diskusi, perdebatan, bahkan berseminya bibit-bibit perbedaan. Orang datang dan pergi. Namun, STB jalan terus. Roda organisasi yang menghasilkan banyak produksi nyata-nyata memegang fungsi pivotal (poros) yang berpretensi memediasi dan menengarai eksistensi kelompok. Hasilnya, setengah abad lebih pencapaian sejarah artistik mereka terbentang dalam senarai ratusan produksi teater seni peran (orang menyebutnya teater realisme) yang pada zamannya sangat diakui bahkan tidak sedikit yang dijadikan tolok ukur teater nasional.

Tantangan fraktalitas personal yang sejak dini muncul dalam sepak terjang kelompok teater yang kharismatik ini, dengan penanda besar bermigrasinya Jim Adhilimas (salah-satu kreator utama STB saat itu, selain Suyatna Anirun) ke Paris pada 1967 (hingga kini), tak jua menyurutkan STB sebagai kelompok studi dan organisasi untuk terus melangkah maju dan kreatif. Fraktalitas semacam itu terus terjadi dalam lapis-lapis generasi sesudahnya, tetapi, ya itulah, STB tetap survive. Alih-alih surut dan keropos, STB malah menjadi biang dari banyak kelahiran kelompok-kelompok teater penting di Kota Bandung hingga zaman kiwari.

STB adalah protoplasma, inti sel yang terus-menerus membelah diri demi dinamika kebudayaan teater, bahkan tatkala pecahan-pecahannya saling melepaskan ikatan satu sama lain dan segera membentuk entitas plasmatik yang baru. Protoplasma, dalam biologi, adalah prakondisi yang mutlak harus dimiliki sesuatu untuk mendapat predikat makhluk hidup.

Selepas kendali generasi pelopor semakin surut, bahkan sebagian telah berpulang dengan penanda besar mangkatnya Suyatna Anirun, 4 Januari 2002, STB sesungguhnya tidak lagi terlalu dihadapkan pada tantangan fraktalitas. Ihwal sesungguhnya dari persoalan STB masa kini adalah pupusnya komitmen mendasar tentang hakikat studi dan organisasi yang menjadi dasar filosofis kelompok. STB kini laiknya gurun pasir tak bertuan, aktivisnya seolah harus bertempur dengan semangat ronin (samurai tak bertuan). Sebab tuan sesungguhnya, organisasi, sedang limpung lantaran didera krisis akut akibat dua arus iktikad yang bertabrakan dengan hebat.

Atau paling banter (meminjam istilah seloroh seorang kawan), STB kini tengah bertengger pada sengkarut dikotomistik "STB struktural versus STB kultural". Yang pertama merupakan representasi dari formalitas organisasi dengan segenap kewenangannya, dan yang kedua mewujud dari tradisi infinitas hasrat kreatif yang juga sama-sama tak hendak menyaksikan pengembaraan estetik STB tiba-tiba mogok dan berakhir di persimpangan zaman. Keduanya boleh jadi bertolak dari rasionalitas yang sesungguhnya tak beda: pengabdian estetik STB mesti diteruskan dan disempurnakan!

Adagium "tak ada yang tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri", tampaknya mesti dicermati secara khusus dalam kaitan untuk meneropong persoalan STB masa kini. STB adalah warisan besar, pusaka agung yang melahirkan sejarah teater modern Bandung dengan anak-pinak multigenerasi plasmatiknya yang terus memecah dan membelah diri, dan eksis.

Beban amat berat terutama mengemuka tatkala generasi pemikulnya seolah diserahi tanggung jawab untuk sanggup menggapai keserupaan yang setara dengan capaian primordialitas estetik generasi pelopor. Padahal zaman berubah. Ilmu dan teknologi berubah. Kecenderungan-kecenderungan manusia pun berubah, hingga mengubah tradisi dan sikap-sikap budaya. Manusia pada zamannya berhak mencipta sejarahnya sendiri. Apa salahnya jika generasi pemikul STB leluasa mencipta sejarahnya sendiri, mungkin dengan kejayaannya yang berbeda atau bahkan kejatuhan sama sekali. Biarkan saja, alam akan menuntun dan menyeleksi. Bukankah kebudayaan senantiasa bersifat plasmatik, sedangkan STB adalah protoplasma dalam kebudayaan teater Bandung? Bukankah spirit STB tetap tumbuh dan berkembang dalam jiwa-jiwa kreatif di banyak tubuh personal dan kelompok-kelompok teater?

Tanggung jawab kepeloporan pada akhirnya adalah ketulusan dan kearifan yang sadrah untuk menggelindingkan proses alih generasi semulus dan setuntas mungkin. Tentu, dengan pemberian kepercayaan penuh dan kewajiban untuk menyampaikan pengingatan yang selalu harus dijaga oleh generasi pemikul tentang arti pentingnya menjaga "khittah" dari azas mendasar dan filosofi kelompok, yakni "studiklub" (studi dan organisasi), bukan fasisme pribadi.

Mudah-mudahan, acara "Temu Kangen Warga STB" nanti (Sabtu, 11 Desember 2010 di Selasar Sunaryo Art Space, pukul 16.00 WIB s.d. 21.00 WIB) yang digagas dua figur generasi pelopor, Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja dan Mohamad Sunjaya, tidak terjebak ke dalam banalitas untuk sekadar kangen-kangenan. Sebaliknya, justru akan sanggup membuahkan solusi konkret untuk menjawab tantangan dan persoalan STB masa kini. Jika tidak, akan sia-sia belaka upaya anggun yang dirintis sungguh-sungguh oleh dua "fosil" ini (kelakar kang Yoyon untuk menyebut generasi tua STB). Akan hampa makna pula, hospitality dan bahkan "kemartiran" perupa Sunaryo dan institusinya, yang bukan kali pertama ia suguhkan dengan tulus untuk STB dan bahkan jagat teater. Semoga!***

Fathul A. Husein, sutradara teater

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010

Keris yang Menikam Batu

PADA dinding, sebuah banjir besar sedang menelan Kota Jakarta. Sedang di sebuah ruang sempit tampak hutan hanya tinggal jejak pepohonan. Daun-daun kering dan tanah yang berwarna kelabu, dan sebuah keran dengan tetesan air yang menggelantung di ujungnya, seolah tetesan air terakhir. Lewat cermin di setiap sisi ruang sempit itu, pemandangan hutan yang hancur tersebut sekonyong-konyong menjadi ruang yang demikian besar. Sehingga pemandangan hutan yang hancur itu tampak begitu memilukan. Ada memang sebatang pohon tampak masih tegak dengan sisa-sisa pokok dan dahannya. Akan tetapi, di pertengahan batangnya, tumbuh dan tegak menjulang tembok beton dan rangka-rangka besi. Sisa semen meleleh di ujung batang pohon.

Di bagian yang lain, sebuah batu tegak dan tampak hening di atas lumpur kering. Permukaan lumpur itu membentuk garis-garis lingkaran dan batu itu tegak sebagai porosnya. Di puncak batu sebilah keris menancap sehingga menyuguhkan pemandangan yang hening sekaligus menyedihkan. Keris yang menikam batu yang menjadi poros dari suatu lingkaran di atas lumpur kering. Keris itu agaknya dihadirkan untuk mengganggu keheningan batu yang menjadi poros di atas lingkaran lumpur. Ia memang menancap dan menciptakan keheningan berikutnya. Itulah titik bumi. Titik yang menjadi pusat dari rasa sakit alam dengan keris yang menjadi representasi dari kuasa manusia.

Kuasa manusia pada alam dipahami telah menjadi tabiat yang merusak. Modernitas telah mengubah cara pandang manusia atas alam. Alam tak pernah lagi menjadi "ibu" atau semacam guru bagi manusia. Tubuh manusia modern adalah tubuh "Aku" yang mengambil jarak dari alam. "Aku" yang tak memberi hak hidup pada tanah, sungai, pohon, dan laut. Demokrasi manusia adalah pertarungan kuasa di antara "Aku", dan alam berada di luar itu. Ia tak punya hak suara untuk menyatakan kehadirannya. Ia tak punya hak untuk didengar, melainkan hanya menjadi sesuatu yang menjadi komoditas.

Oleh karena itu, ketika alam mengeluarkan suaranya untuk didengar, manusia menyebutnya sebagai bencana, "bencana alam". Suaranya tak pernah dimaknai sebagai isyarat betapa alam bisa bersuara dengan caranya sendiri jika ia tak didengar. Suara alam inilah yang diam-diam dianggap sebagai ancaman. Dan inilah yang terus mengintai lewat gunung berapi, tsunami, gempa. Padahal alam tak pernah mengancam. Ia hanya ingin bersuara untuk menunjukkan bahwa ia ada, sekaligus juga mengingatkan bahwa ia disakiti. Ia batu yang hening dan keras dengan keris yang menancap di tubuhnya.

Inilah yang diusung perupa Sunaryo dalam karya instalasi terbarunya "Titik Bumiku". Karya ini dipamerkan Main Lobby, M11 Jakarta Convention Center, Jakarta 18-21 November 2010.

**

SUNARYO dan seni instalasi memang selalu menyuguhkan semacam konsistensi tematik, yakni, manusia dan fenomena kerusakan alam. Paling tidak, seraya membaurkannya dengan latar situasi sosial-politik, manusia dan krisis ekologi selalu menjadi bagian yang tak bisa disendirikan dari kecenderungan karya-karya Sunaryo. Tak hanya dalam karya lukisannya, tetapi terlebih lagi dalam karya seni instalasinya. Dengan mudah, misalnya, orang menyebut sejumlah karya instalasi Sunaryo, mulai dari "Monumen Negeriku" dan "Titik Nadir" (1998), "Puisi Titik Putih" (2000), "A Stage of Metamorphosis" (2001), "Titik Gamang" (2002), hingga seni instalasi gigantik "There is no Space to Bargain" (2003).

Alam dan tabiat manusia tampaknya tak henti-henti menjadi obsesi kesadaran Sunaryo dalam sejumlah karyanya. Lebih dari itu, karya-karyanya selalu merujuk pada konteks aktualitas peristiwa yang tengah terjadi. Karya-karyanya selalu hadir dengan relasi penanda pada fenomena yang tengah terjadi. Alih-alihmenyemburkan semacam sikap perlawanan yang mengepalkan tangan, karya-karya Sunaryo semacam ini lebih hadir sebagai keinginan mengartikulasikan suasana. Lewat suasana inilah Sunaryo memprovokasi kesadaran audiens, tanpa perlu mengajaknya mengepalkan tangan, menggerutu, apalagi berteriak.

Demikian pula dengan "Titik Bumiku". Karya instalasi ini berukuran 6 x 7 meter dengan media kayu, daun, pasir, fotografi, cermin, cat arkrilik, dan panil plywood. Mengambil konsep sebuah wahana, instalasi ini mengajak pengunjung masuk. "Titik Bumiku" merupakan seni instalasi berupa wahana yang mengajak pengunjung untuk masuk ke dalamnya. Dalam setiap ruang terdapat berbagai pemandangan ihwal kerusakan alam dan nasib masa depan manusia. Dalam seni instalasi ini pengunjung tak hanya disuguhi pemandangan tentang kerusakan alam, tetapi juga embusan angin, suara air dan gemerisik dedaunan, peristiwa yang melukiskan kerusakan hutan, serta tenggelamnya sebuah kota.

Pusat dari instalasi ini adalah batu yang tegak sebagai poros garis-garis lingkaran di atas lumpur kering. Di atas batu itu sebilah keris menancap. Inilah titik bumi. Lingkaran-lingkaran di atas lumpur kering tampak menjadi torehan yang memberi kesan gerak. Gerak melingkar yang berlawanan dari arah jam, sehingga lingkaran itu terus mengembang. Atau, bisa juga garis lingkaran itu mengecil ke pusatnya. Akan tetapi apa pun, poros dari lingkaran itu ada sebuah batu yang begitu hening. Suatu pemandangan yang menautkan berbagai elemen sehingga menjadi kesatuan simbol yang menghadirkan suasana. Ada keheningan yang terasa purba sekaligus juga begitu menyakitkan ketika menatap keris itu menancap di atas batu.

Jika sejumlah bagian dalam instalasi ini terasa dihadirkan dengan ungkapan yang terasa cair, pusat dari instalasi ini menohon pengunjuk dengan titik bumi yang hadir sebagai satu metafora. Metafora yang merangkum seluruh pengalaman tubuh pengunjung dalam memasuki wahana karya. Rangkuman inilah yang direpresentasikan sebagai titik bumi, ruang dengan titik kesedihan ihwal hubungan manusia dan alam. Seperti pada karya instalasinya yang lain, Sunaryo amat fasih membangun suasana dan pencekaman yang melatarinya. Batu, keris, pasir, seluruhnya tampak mistis, murung, dan menyakitkan.

**

TITIK bumi bagi Sunaryo adalah titik pencekaman dalam hubungan manusia dan alam. Sebuah titik yang mendebarkan. Meski begitu, dengan titik ini pula Sunaryo menghadirkan gagasan kesadarannya ihwal apa sebenarnya yang tersisa dalam pusat kesadaran manusia ihwal alam. Mungkin soalnya tak beranjak dari fenomena lama tentang tabiat manusia terhadap alam. Kuasa dunia manusia dengan otoritas yang bergerak kelewat jauh. Kesadaran yang telah lama dibaca, dipahami, tetapi juga yang sekaligus tak seorang pun bisa menghentikannya. Demikian pula tampaknya dengan "Titik Bumiku".

Hanya, berbeda dari karya-karya sebelumnya dengan tekanan tematik yang sama ihwal manusia dan krisi ekologi, dalam "Titik Bumiku" Sunaryo lebih terkonsentrasi pada penciptaan bangun suasana. Dengan bangun suasana inilah Sunaryo menghadirkan berbagai idiom yang komunikatif, bahkan pada beberapa bagian terasa cair, verbal, dan harfiah. Penggunaan efek suara untuk mengartikulasikan suasana visual ini menjadi strategi komunikasi yang menarik demi mendedahkan kesadaran ihwal kesakitan alam. Demikian pula cermin yang melakukan manipulasi cerdik untuk melakukan reproduksi metafora kehancuran hutan. Permainan dan pengolahan simbol khas Sunaryo amat terasa pada bagian ini.

Dalam sejumlah judul instalasinya, Sunaryo memang selalu menggunakan kata "titik", seperti, "Titik nadir", "Titik Nadir", atau "Puisi Titik Putih". Tampaknya kata "Titik" merujuk kepada kesadaran sublimasi yang hendak dimaktubkan dalam karya. Ia seolah akhir atau puncak dari suatu permenungan demi mereaksi atas suatu keadaan. Aktualitas memang terkesan selalu menjadi rujukan dalam sejumlah karya Sunaryo. Meski begitu, ia bukanlah hendak sekadar mengulang realitas atas fenomena yang sedang aktual atau untuk mewartakannya. Seniman memang tidak bertugas mewartakan peristiwa atau fenomena.

Dan inilah juga yang tidak dilakukan Sunaryo lewat "Titik Bumiku", meski karya ini hadir di tengah alam yang sedang menyuarakan kehadirannya lewat gunung berapi, tsunami, dan banjir. "Titik Bumiku" sebenarnya membawa aktualitasnya sendiri ihwal tabiat manusia terhadap alam. Alam yang kini hanya menjadi sebongkah batu dan keris yang menikamnya. Setelah di Jakarta, karya ini akan dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) Bandung pada Januari 2011. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010

Anamorfosis "Dari WAK Menuju TU"

SUDAH sangat jarang saya menyaksikan teater di Kota Bandung ini, terlebih sejak tahun 2000-an aktivitas kegiatan teater dapat dikatakan terus surut. Tak ada lagi pementasan-pementasan yang mengejutkan, mungkin hanya ada beberapa grup teater yang konsisten seperti Teater Payung Hitam dan Laskar Panggung, sedangkan STB (Studiklub Teater Bandung) sudah kehilangan spirit. Jika pun ada grup teater lain yang mencoba mementaskan karya-karyanya, ada semacam kejenuhan dalam diri saya, format suguhannya tidak ada perubahan yang signifikan. Standar-standar saja, seperti model-model teater dulu. Lebih banyak teriak-teriaknya daripada pendalamannya.

Tak sengaja, saya mendapat undangan untuk menyaksikan "Dari WAK menuju TU" karya/sutradara Yusef Muldiyana, seniman yang dapat dikatakan memiliki energitas yang tinggi, pantang menyerah, dan selalu percaya diri. Saya termasuk orang yang selalu mengecewakan dia setiap ada pementasannya karena saya selalu pulang sebelum waktunya. Akan tetapi, untuk pementasannya kali ini tidak ada alasan saya untuk meninggalkan pementasan itu, saya menemukan kembali "peristiwa teater".

Sungguh, pertunjukan teater semiopera (teater musikal) "Dari WAK menuju TU" yang dipentaskan Senin (22/11) di Auditorium Pusat Kebudayaan Prancis(CCF) Bandung adalah tontonan menarik. Yusef dalam teaternya ini tidak lagi patuh pada adanya panggung (stage), dia telah melakukan anamorfosis (perubahan bentuk), tidak lagi memisahkan penonton dengan para pelakon teater, semua menyatu dalam "peristiwa teater" di satu ruangan. Walau kisahnya bertutur secara normal, seperti kisah sandiwara pada umumnya, tetapi dalam teater ini tidak lagi mengenal ruang-ruang. Semuanya dibuat imajiner, terbebas dari sekat-sekat. Para pelakon bebas menentukan ruangnya.

Kisah yang bertutur tentang perjalanan hidup Rajabela yang dimainkan dengan karakter yang kuat oleh Deddy Koral, membuat kisah ini begitu hidup. Rajabela yang seorang pemabuk, penjudi, membuat istrinya tercinta Sulastri (Orhien Rina), sebagai mualaf yang soleha, menjadi hancur kehidupannya. Ia jadi korban kekerasan suaminya sehingga minta diceraikan. Perpisahan itu justru membuat Rajabela jatuh miskin dan kesepian. Ia kehilangan dan berusaha mencari pengganti Sulastri, namun tidak mendapatkannya. Ia tobat hingga menjadi ustaz dan ingin kembali ke istrinya. Keinginannya untuk bertemu Sulastri akhirnya tercapai juga. Namun Sulastri sudah sangat berubah, Sulastri malah selama ini terjebak dalam dunia gulita, menjadi pemabuk dan pelacur. Rajabela benar-benar terpukul, bahkan ketika dijumpai di rumah mantan istrinya itu, Sulastri ditemukan sudah tidak bernyawa karena bunuh diri.

Kisah percintaan dalam "Dari WAK menuju TU" tidak saja hanya Rajabela dengan Sulastri, tapi juga Pelukis (Kemal Ferdiansyah) dengan istrinya Dasilva (Jean Marlon) yang mengeruh, juga kisah cintah Janggo (Indrawan Babil) dengan Misda (Sakila Cheqil) yang begitu menggelikan. Kisah-kisah ini berpadu dalam sebuah alur yang tidak tumpang tindih, tetapi saling mengisi dalam adegan-adegan yang mengalir, tidak terkesan terpotong-potong.

Salah satu adegan yang menarik ketika Janggo ke rumah Misda untuk berkencan. Adegan ini justru ruangnya terpisah bersebrangan, walau sebenarnya mereka berhadapan. Dialog pun begitu dinamis seperti tidak terpisah, ketika sikap cunihin Janggo terhadap Misda langsung direponsnya, atau ketika ribut saling pukul pun secara refleks dilakukan Misda. Begitu juga ketika Janggo bertemu Mimi (Ria Ellysa Mifelsa) yang bisu, terjadi dialog yang membuat penonton terbahak-bahak.

Tidak kalah lucunya juga empat peronda (May Ramadhan, John Heryanto, Obos Ridwan dan Untung Wardojo), yang selalu berulah kocak pada setiap adegannya. Khususnya malam itu yang menjadi bintang lucu adalah Untung Wardojo. Kelucuan Untung dalam teater tersebut merupakan karakter sehari-harinya. Ini kejelian Yusef Muldiyana yang mau melibatkan Untung dalam produksinya.

Secara umum lakon ini dimainkan oleh para aktor Laskar Panggung dengan kemampuan terbaik, khususnya kematangan aktor Deddy Koral. Di samping itu, Laskar Panggung juga memiliki Orchien Rina, Sakila Cheqil, Ria Ellysa, dan Indrawan Babil.

Anamorfosis yang terwujud dalam teater ini, khususnya dalam penataan artistik (Luki Lukman) dan penataan pentas (John Heryanto, Freddy Babeh), begitu apik dan imajinatif. Sayangnya, hal ini kurang dimbangi oleh penata lampu yang kurang cermat dan kurang sigap mengantisipasi setiap adegan. Terkadang ada adegan yang gelap tidak tersinari lampu. Namun secara umum, pementasan Yusef Muldiyana yang dibantu Roesli Kelleng ini sukses, mampu memuaskan penonton yang ikut lebur dalam setiap adegan dalam pementasan ini, yang bisa tertawa terbahak-bahak sepanjang berlangsungnya teater semi opera ini.

Hikmah menyaksikan pementasan teater ini, saya kembali ingat apa yang dikatakan George Politzer, teater adalah satu bagian yang secara istimewa, signifikan dengan pengalaman bersama. Hal ini terjadi dalam "Dari WAK menuju TU", kontekstual dengan apa yang terjadi sehari-hari, bukan fantasi. Pengalaman itu diolah kembali menjadi perwujudan baru, perwujudan inilah ketika teater menjadi medium juga wacana pernyataan diri para pelakunya. Dalam hal ini, penonton tidak lagi berada di luar wilayah panggung, tetapi juga menjadi pelaku yang menghidupkan "peristiwa teater". Sukses! (Diro Aritonang

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010

Teater tanpa Kemarahan

-- Taufik Darwis

LASKAR Panggung adalah salah satu kelompok teater yang cukup tua dan produktif di Bandung yang baru saja berulang tahun ke-15. Sejak berdiri pada 20 November 1995, sudah mementaskan lebih dari 400 repertoar. Dua hari setelah ulang tahunnya, di CCF Bandung, kelompok ini menambah jumlah kuantitas produksinya dengan mementaskan naskah "Dari WAK Menuju TU" versi ke-5 karya dan sutradara Yusef Muldiyana. Usaha pemversian "Dari WAK Menuju TU" ini yang bertepatan dengan ulang tahun kelima belasnya menandai proses pencarian artistik Laskar Panggung yang didominasi kerja dan karya Yusef Muldiyana.

SALAH satuadegan dalam lakon "Dari WAK Menuju TU" karya/sutradara Yusef Muldiyana produksi Laskar Panggung Bandung yang dipentaskan di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung, Senin (22/11).* AGUS BEBENG

Auditorium CCF yang tidak begitu luas itu dimanfaatkan dengan mendirikan enam panggung mini Luki Lukman (sekitar 4 x 3 - 3x3 meter) dari beberapa level dibalut kain putih, yang didirikan di setiap sisi ruangan, salah satu diletakan di sudut rungan, tempat di mana aktor-aktor mempersiapkan perannya. Ini membuat penonton diharuskan duduk di lantai yang tidak didirikan panggung. "Dari WAK Menuju TU" pun dimulai olek musik Yayan Katho yang bergaya balada tetapi dengan lirik yang biasa diucapkan prapertunjukan oleh MC, "Para penonton sekalian lakon akan dimulai, HP harap dimatikan atau tanda getar saja. Mau motret boleh saja, asal jangan memakai blitz. Kalau motret memakai blitz nanti silau, silau, nanti silau, silau, silau, silau, nanti silau."

Para aktor di pangung sudut bernyanyi serempak. Mereka menyebut-nyebut Sulastri (Orhien Rina) yang sedang membaca Alquran di panggung lain, sebagai mualaf yang taat beribadah (mungkin Sulastri juga mualaf yang begitu cepat tanggap belajar membaca dan melantunkan ayat-ayat Alquran, dan mungkin sempat masuk nominasi kompetisi MTQ karena sebagai mualaf, Sulastri begitu pandai mengaji). Di tengah penonton Raja Bela (Deddy Koral) si pemabuk, penjudi memanggil-manggil Sulastri agar segera membukakan pintu, serentak lampu yang disorotkan dari ruang operator oleh penataan Aji Sangiaji. Tempat duduk penonton menjadi panggung juga. Sulastri tidak merespons teriakan Rajabela karena sedang mengaji. Keributan Rajabela terhenti karena Sulastri mengatakan bahwa pintunya tidak dikunci, penonton tertawa. Inilah ketajaman Yusef yang merangkai keributan rumah tangga yang familiar dengan guyonan-guyonan hangat. Kedua-duanya (Rajabela dan Sulastri) melangkah ke panggung yang didirikan di tengah, panggung yang lebih besar dari lima panggung lainya. Rajabela muntah-muntah tetapi Sulastri berkata, "Saya iri Mas, saya iri dengan Mas. Seharusnya saya yang muntah-muntah." Penonton tertawa.

Sulastri meminta cerai karena tidak lagi tahan dengan semua kelakuan buruk Rajabela. Lampu padam semua aktor dan pemusik pun dua orang anak kecil bernyanyi dengan Yayan Katho: "Sulastri dan Rajabela kini sedang berjalan di kota mereka berdua pesta, menuju kantor urusan agama. Sulastri dan Rajabela resmi bercerai tetapi belum talak 3." Sekarang Rajabela bekerja sebagai Satpol PP. Perubahan ditandai dengan paduan nyanyian dengan konfigurasi gerak yang berbunyi arahan Roesly Kelleng, "Setelah berpisah dengan Sulastri Rajabela cari kerja sana sini, berbulan lamanya tak ada lowongan lama-lama nasib baik datang juga.

Kini Rajabela telah menjadi karyawan, kini Rajabela telah memakai seragam Rajabela kini telah jadi Satpol PP." Rajabela yang Satpol PP itu ternyata ingin menikahi Da Silva yang seorang aktivis kemanusian. Akan tetapi Da Silva yang berada di panggung yang didirikan di belakang pemusik menolak, karena Satpol PP itu kasar-kasar.

Ternyata adegan-adegan dibuat Yusef agar berbagi panggung. Panggung di belakang pemusik adalah panggung Bi Rasmi dan Da silva yang diperankan oleh satu orang aktor (Jean Marlon) dengan pembedaan karakteristik diksi Ambon dan bahasa Bi Rasmi yang mengurus anak Dasilva (Cecillia), seperti apa yang dikatakan Bi Rasmi ketika Aanak Dasilva mencari ibunya, "Kalau Bi Rasmi ada, berarti Da Silva tidak ada. Yusef pada adegan ini mencoba lebih mengeksplisitkan aktor agar lebih telanjang, menumbangkan relasi ketubuhan antara aktor dengan kedua peran yang harus dimainkannya.

Di panggung di dekat pintu exit tampak Rahmat Berlian (Kemal Ferdiansyah) sedang melukis. Dia adalah suami yang syah bagi Da Silva. Dengan lukisannya ia mempunyai mimpi mulia untuk membuat komplek pemakaman bagi para seniman lengkap dengan upacara perayaannya yang khas seniman. Kalau pemakaman militer menggunakan pistol, upacara pemakaman seniman perlulah ada pertunjukan rampak kendang atau tarian. Akan tetapi Da Silva menolak karena dia juga menginginkan harta dari penjualan lukisan suaminya. Akhirnya Da Silva meminta cerai. Adegan ini mungkin sebuah medan permainan teks belaka, tetapi bisa juga memiliki kemungkinan lebih jauh sebagai orientasi untuk mengganggu kebudayaan tertentu. Dalam konteks lakon ini adalah militer oleh kebudayaan seniman, satu sikap pembudayaan manusia Yusef kepada seniman lain. Usaha memberi ruang pengakuan bagi penonontonnya.

Rahmat Berlian tertegun, dia putus cinta. Dia jadinya melirik Neng Misda (Sakila Cheqil) yang ternyata menolaknya. Datanglah si Janggo (Indrawan Babil) si demonstran, bertamu ke rumah Neng Misda. Akan tetapi secara tubuh peristiwa bertamu ini tidak dipertemukan, Yusef ingin menghadirkan pengalaman menonton bulu tangkis. Janggo diposisikan di panggung yang pernah dipakai oleh adegan Bi Rasmi dan Da Silva, dengan dua buah kursi diposisikan percis seperti di panggung Neng Misda. Empat orang ronda ke adegan (May, John, Obos, Untung) mereka berkali-kali memainkan kalimat yang diucapkan secara duplikatif, tempat, benda, bunyi, dan ingatan dimain-mainkan oleh tubuhnya yang sengaja dijauhkan dengan relasi kemenjadian dan makna. Janggo dan Neng Misda bergantian berbicara dengan ungkap gestural kepada kursi dan tubuh imajinasi mereka, juga pada kulkas yang tadinya adalah ronda dan anatomi pintu yang berubah melalui fragmentasi dialog verbal, tidak dipresentasikan oleh laku gerak transformatif.

Janggo di terminal. Duduk di sampingnya Mimi (Ria Ellsya Mifelsa), saudari Sulastri, seorang gagu. Janggo menanyakan asal Mimi dari mana. Mimi menjawab dengan menunjukan tangannya bahwa hari sedang hujan dan mengeluarkan satu batang lilin dari tasnya. Janggo menyimpulkan dan Mimi membenarkan yang dimaksudnya bahwa apa yang dikatakannya adalah kata Cililin. Di adegan ini Yusef menegaskan kembali teaternya yang ingin melepaskan dari makna dan mengeksplorasi efek dari repetisi aksi dan permainan bahasa.

Identias urban adalah identitas tumpang-tindih. Kini Sulastri hadir di panggung dengan jalan sempoyongan, botol bir di tangan, listik yang berantakan di bibirnya dan menggunakan pakaian mini. Melalui Mimi, Yusef menyusupkan pengalaman publik infotainment, berita Marshanda yang meluapkan tumpukan kesadarannya di situs internet. Sulastri menyatakan, "Eh Masrhanda. Emangnya elo saja yang bisa stres". Sulastri memutuskan mengakhiri hidupnya dengan mengguratkan cutter ke tangannya. Dua aktor (John dan Untung) dari panggung sudut mereka menuju panggung tengah dengan gestikulasi tubuh yang besar dan syair tajam sekaligus humoristik, karena tetap saja dibawakan secara main-main. Mereka akan mencabut nyawa Sulastri dan nyawa penduduk korban Gunung Merapi. Setelah menyelesaikan tugasnya kepada Sulastri, dia (John) berbicara ke telefon genggamnya, "Siap Bos! Ke Merapi Ya! Cing cai lah." Tidak ada adegan tragis dan transenden dalam teater Yusef. Rajabela datang memanggil Sulastri tetapi dengan vokalisasi yang lebih halus. Rajabela yang dulu amoral, kini dengan niat yang sungguh kembali sebagai ustaz. Akan tetapi, tidak ada air mata di tubuh Rajabela ketika melihat Sulastri meninggal dunia. Dia melakukan salat jenazah di panggung tengah dengan dikelilingi tokoh-tokoh lakon lain yang mengikatkan tali pocong di kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba Sulastri terbangun dan dia mengatakan, "Bang...buka pintunya bang..." Efek apakah yang dihasilkan dari akhir pertunjukan seperti ini?

Teater Laskar Panggung Yusef adalah teater ludik. Sebagai tontonan yang bersifat renggang, kekuatan pengucapan dan penajaman estetiknya ada pada kekuatan hal yang remeh temeh, yang nirmakna, melalui diskontinuitas dan jeda dalam proses presentasi. Ini justru dominan ditunjukkan oleh adegan-adegan Sulastri dan Rajabela ketika tidak dihadirkan di atas panggung. Adegan-adegan dipintal oleh aksi gestural dan transitif yang menghasilkan peristiwa di panggung tampak musikal. Yusef tidak memerlukan bunyi sound scape dan surround pada teaternya, sebagai pengimbangnya Yusef membawa musik Yayan Katho yang lebih naratif. Ini menjelaskan bahwa pertunjukan ini tidak diarahkan untuk menjadi teater perlawanan yang bermarah-marah kepada ideologi tertentu. "Dari WAK Menuju TU" adalah waktu yang melingkar. Waktu manusia yang ditakdirkan untuk mengalami kegagalan dan kemenangan berkali-kali. Yusef menekankan ini dengan musik Yayan Katho di akhir adegan, "Hidup hanya semacam impian yang mengapung di atas air pasang. Kemana kita harus melangkah, mengikuti arus sungai dalam. Hidup semacam impian. Mati bangun dari impian."***

Taufik Darwis, mahasiswa teater STSI Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010