-- Yudi Latif
KETIKA pahlawan raib dari panggung publik, lakon politik dimainkan para badut. Penonton yang tak sabar menanti perubahan mendambakan pahlawan kembali tampil, agar kisah derita segera dituntaskan oleh ujung bahagia.
Di Amerika Serikat dan Indonesia, pahlawan yang diharapkan itu bernama Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Keduanya tampil ke pentas kepresidenan dengan dukungan rakyat yang tinggi, mencerminkan tingginya harapan rakyat akan perubahan.
Faktanya, dalam situasi krisis nasional yang akut, ada jarak yang lebar antara harapan dan kenyataan, antara janji kampanye ”sang pahlawan” dan realisasi kinerja perubahan. Kecepatan bertindak menjadi pertaruhan, seberapa lama pahlawan yang diharapkan tetap bertakhta di hati rakyat. ”Bangsa ini menuntut tindakan, bertindaklah sekarang.... Kita harus bertindak, dan bertindak secara cepat,” ujar Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat pada masa depresi besar 1930-an. ”Hanya dalam beberapa pekan,” ujar Walter Lippman, ”bangsa yang telah kehilangan kepercayaan terhadap segala hal dan setiap orang menemukan kembali kepercayaannya kepada pemerintah dan dirinya sendiri.”
Prasyarat kecepatan itu yang tak dipenuhi Obama dan SBY, yang harus dibayar mahal oleh surutnya kepercayaan publik. Bedanya, Obama tampil dengan keberanian memperjuangkan visi besar restrukturisasi ekonomi yang berorientasi kesejahteraan umum dan minta maaf kepada rakyat atas kelambanannya dalam pemulihan ekonomi. SBY tampil dengan visi yang tidak begitu jelas prioritasnya dan tak merasa perlu minta maaf atas kelambanan respons atas berbagai permasalahan bangsa. Beruntung, publik Indonesia bukan pembayar pajak yang sadar akan haknya, yang bisa ”menghukum” Presiden jika tak merealisasikan janji sehingga penurunan popularitas SBY tidak semenukik Obama. Namun, kesabaran rakyat ada batasnya. Apabila keduanya tidak mampu memperbaiki kinerja, mereka yang tampil sebagai pahlawan bisa jadi berakhir sebagai pecundang.
Harapan rakyat yang tak berbalas melahirkan keluhan tentang sebuah negeri murung dirundung malang yang tak kunjung menemukan pahlawan. Untuk mengobatinya, pesan dialog Andrea dan Galileo dalam drama Bertolt Brecht pantas dipertimbangkan. Andrea berkata, ”Negeri murung yang tak punya pahlawan.” Galileo menukas, ”Bukan. Negeri murung yang perlu pahlawan.”
Pahlawan itu selalu ada, tetapi kita tak menyadarinya. Ketika disebut nama pahlawan, yang biasa terbayang adalah kematian dan penantian. Padahal, makna dari suatu kematian adalah warisan kebaikan yang hidup hari ini. Makna dari suatu penantian adalah kebaikan yang ditanamkan untuk masa depan. Makna kemarin dan hari esok, yang berlalu dan berlaju, sangat ditentukan oleh tindakan kepahlawanan yang hidup saat ini. Kepahlawanan bukan untuk dikultuskan atau dinanti sebagai ratu adil, tetapi perlu dihidupkan dalam diri setiap orang; the hero within, menurut psikolog Carl S Pearson.
Kepahlawanan dalam diri inilah yang menggerakkan kepedulian rakyat untuk berbagi kasih dengan korban bencana, mengatasi kelambanan pemerintah dalam menyalurkan bantuan. Kepahlawanan dalam diri ini pula yang membuat rakyat kecil bermental besar, mengatasi kelemahan pemimpin besar yang bermental kecil. Kepahlawanan dalam diri rakyat ini pula yang dapat menambal tenunan keindonesiaan yang robek oleh rebutan kepentingan perseorangan.
Dengan mengikuti Pearson, usaha menghidupkan kepahlawanan dalam diri memerlukan transformasi hidup secara terus-menerus. Manusia harus beringsut dari fase penderitaan (orphan), pengembaraan (wanderer), kependekaran (warrior), komitmen pada kebaikan luhur (altruist), merayakan bersama kehidupan (innocent), dan akhirnya mampu menciptakan kehidupan seperti yang diinginkan (magician).
Memerlukan perubahan paradigma mentalitas, ketika orang bertransformasi dari satu tahap ke tahap berikutnya, yang membawa konsekuensi pada perubahan sikap dan tindakan. Menjadi masalah besar, ketika seorang pemimpin yang diharapkan sebagai magician, yang bisa mengubah keadaan, bahkan belum mencapai mentalitas altruist. Yang berkembang adalah pemimpin wanderer, yang masih suka mengembara lewat studi banding dan pemimpin warrior, yang ”berkelahi” untuk perbaikan fasilitas dan tunjangan bagi kepentingan perseorangan.
Alhasil, kepemimpinan suatu bangsa mencerminkan kualitas rakyatnya. Pahlawan yang dinanti di ruang publik ditentukan oleh kesuburan tanah rakyat bagi persemaian para pahlawan. ”What is our task? To make Britain a fit country for heroes to live in,” ujar David Lloyd George. Apa yang menjadi tugas rakyat Indonesia adalah membuat negara ini tempat yang cocok untuk menghidupkan pahlawan.
Memang benar, politik bisa membuat perbedaan untuk kebaikan dan keburukan. Kepahlawanan seorang pemimpin bisa menjadi pusat teladan. Karena, itu nilai kepahlawanan seorang pemimpin ditentukan oleh kemampuannya untuk menghidupkan jiwa kepahlawanan pada diri rakyatnya.
Untuk itu, pemimpin harus mampu menyelami suasana kebatinan rakyat dan meninggalkan keyakinan dalam diri mereka akan kesanggupannya mengemban perubahan. Bung Hatta mengingatkan, ”Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu ke luar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leiderschap! Pergerakan rakyat tumbuh bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat oleh rakyat mengeluarkannya. Pemimpin mengemudikan apa yang sudah dikehendaki rakyat. Itulah sebabnya, pemimpin lekas dapat pengikut dan pergerakan yang dianjurkannya cepat berkembang.”
Pertemuan Obama dan SBY, di tengah suasana bencana dan peringatan Hari Pahlawan, semoga bisa saling memperkuat kesadaran kepahlawanan.
Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute
Sumber: Kompas, Selasa, 16 November 2010
No comments:
Post a Comment