-- Ilham Khoiri
PENTAS monolog Butet Kartaredjasa (49) telanjur dicap sebagai pentas yang heboh, penuh kritik terhadap isu-isu aktual politik, dan bikin penonton ”ger-geran.” Kini, aktor asal Yogyakarta itu mencoba menekuni monolog sederhana yang lebih menonjolkan kemampuan keaktoran.
Butet Kartaredjasa dalam monolog "Kucing" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 30-31 Oktober 2010. (KOMPAS/ILHAM KHOIRI)
Usaha itu diterapkan pada pentas monolog ”Kucing” di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 30-31 Oktober, kemudian di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, 3-4 November. Pentas serupa bakal digelar keliling di beberapa kota di Indonesia. Naskah karya Putu Wijaya ini digarap sutradara Whani Darmawan dan tata musik Djaduk Ferianto.
Setidaknya semangat kesederhanaan itu tecermin pada tata panggung, musik, cerita, serta permainan Butet yang lebih bersahaja.
Panggung disulap jadi rumah biasa. Ada teras, meja, kursi, pintu, lemari, dan jendela. Ada juga jemuran, kelambu, dan mobil-mobilan mainan anak. Layar kosong.
Butet muncul dengan dandanan pekerja kelas menengah kota. Pulang kantor, dia tampil necis dengan jaket, kemeja panjang warna oranye, dasi, serta celana gelap. Tiba di rumah, pakaian itu diganti dengan sarung dan kaus oblong putih.
Lakon ”Kucing” memang mengisahkan perihal binatang rumahan itu. Diceritakan, sepulang dari kantor, Butet hendak berbuka puasa dengan menyantap ikan bakar rica-rica. Tiba-tiba, seekor kucing milik tetangga menyerobot masuk dan menggondolnya. Lauk itu dilahap habis.
Butet marah dan mengomel. ”Kucing itu mirip koruptor. Kalau dapat kesempatan mencuri sekali saja, pasti akan mengulangi lagi.” Dengan suara ”ngeang-ngeong” yang ribut, kucing diburu dan disabet dengan gagang sapu.
Esok hari, pak RT datang berkunjung. Katanya, pukulan Butet telah membuat kaki kucing pincang. Lewat pak RT pula, tetangga pemilik kucing minta ganti ongkos perawatan binatang itu. Butet terpaksa merogoh koceknya.
Entah bagaimana, kucing pincang tadi datang dan kembali mencuri ikan rica-rica, dan Butet lagi-lagi memburunya. Saat dikejar-kejar, kucing tertabrak mobil dan mati. Sial, tetangga itu malah beli tiga kucing baru dan—lewat pak RT lagi—meminta Butet mengganti biaya pembeliannya.
Butet tampak santai dan menikmati pentas. Enteng saja dia bertutur, berdialog, dan keluar-masuk memerankan beberapa tokoh sekaligus. Meski diperankan seorang diri, tokoh-tokoh itu berdenyut hidup dengan karakter berbeda satu sama lain.
Suatu kali, Butet hadir sebagai seorang pria yang baik-baik—tokoh utama kisah ini. Lain kali, Butet jadi pak RT yang tampak sopan tapi menjengkelkan. Lalu, dia menjelma sebagai istri yang cerewet, anak yang main mobil, bahkan menjadi kucing yang jinak tapi suka mencuri.
Keaktoran
Lakon ”Kucing” yang sederhana itu memang menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan lazimnya monolog Butet sebelumnya. Biasanya, seniman ini hadir dengan menggarap isu-isu sosial-politik aktual, penuh kritik, pemanggungan bersifat besar, sebagian malah dengan permainan visual. Dengan banyak dijejali guyonan, penonton bisa tertawa hampir sepanjang pentas.
Setidaknya itu yang terlihat pada sejumlah lakon, katakanlah seperti Mayat Terhormat (2002), Matinya Toekang Kritik (2007), atau Sarimin (2008). Tak hanya butuh pemanggungan besar, lakon-lakon itu juga dimainkan dengan berbagai trik pentas, bahkan memanfaatkan unsur multimedia. Dalam beberapa hal, monolog Butet juga identik dengan permainan menirukan dialog tokoh-tokoh politik terkenal.
Mungkin saja pilihan ini dapat mengecewakan penonton yang telanjur membayangkan monolog Butet sebagai pemanggungan besar dengan mengumbar tema-tema politik aktual. Namun, di tengah rentetan berbagai peristiwa dramatis yang hadir begitu telanjang dan bertubi-tubi menerkam kita belakangan ini, pentas sederhana semacam itu malah bisa lebih mengena di hati.
Sumber: Kompas, Minggu, 7 November 2010
No comments:
Post a Comment