LETUSAN Gunung Merapi telah menarik perhatian seluruh anak negeri. Pejabat dan pengamat pun turut urun suara. Sebagian suara atau komentar tersebut bukannya membuat situasi menjadi lebih tenang, sebaliknya membuat banyak pihak terperangah. Suara tersebut berbunyi: warga di lereng Merapi perlu direlokasi.
Surono yang mengakrabi gunung dan berempati secara mendalam dengan warga kaki gunung mengatakan, ”Saya orang yang mendukung masyarakat Merapi tetap tinggal di sana asal mereka bisa menyesuaikan diri. Terlalu besar kerugian ekonomi yang harus mereka tanggung jika dipindah ke lokasi yang belum tentu juga menjamin kesejahteraannya bisa kembali.”
Sebagai seorang ilmuwan, dia menegaskan, ”Kita tidak bisa perintahkan Merapi tidak meletus, tetapi masyarakat harus siap. Jika risiko itu tidak bisa diperkecil, baru kita pertimbangkan relokasi. Merapi itu harusnya menjadi milik masyarakat sekitar, jangan mereka yang dari luar mengintervensi. Jangan pernah berpikir dan memaksakan relokasi, biarkan masyarakat menentukan sendiri.”
Surono amat respek terhadap kearifan lokal. Masyarakat di sekitar gunung api sebenarnya memiliki kesadaran bahwa gunung yang mereka tinggali bisa meletus meski terkadang jalin-menjalin dengan legenda. Contohnya di Gunung Kelud ada legenda tentang kesatria yang ditipu putri cantik. Kesatria itu diminta membangun sumur di dalam gunung sebagai akal-akalan si putri yang tidak mau dinikahi. Kesatria itu kemudian terkurung di dalam sumur. Ketika kesatria marah, itulah yang dimaknai sebagai letusan Gunung Kelud.
”Perlu ada perimbangan antara rasa dan rasio. Kalau kita terlalu mengandalkan rasa, akan berbahaya. Saya tidak arogan teknologi, tetapi yang namanya mitigasi itu tetap prioritas. Kalau wedhus gembel dibilang tidak berbahaya, itu kan keliru,” ungkapnya.
Peran Surono yang amat krusial karena menyangkut nyawa ribuan orang, dia maknai sebagai tanggung jawab yang rela dia tebus hingga dipenjara sekalipun. ”Dalam kondisi genting, ya harus one command, harus jelas siapa yang tanggung jawab. Kalau saya salah, saya siap masuk penjara, anak buah saya tidak salah. Dalam mengambil keputusan menaikkan status ataupun meluaskan jarak aman, saya mempertimbangkan betul dampak psikologis,” tegasnya. Surono pun amat paham akan dampak sosial, ekonomi, bahkan politis.
Debat saintifik, Surono mengibaratkan ”sudah buka baju”, tidak lagi melihat siapa pejabatnya. Dalam kasus Merapi, selama dilandasi keyakinan saintifik, tekanan (dari luar) akan bisa diatasi. Namun, ada batas-batas yang membuat takluk, yaitu bahwa semua ini bergantung kepada Yang di Atas. Sebelum tanda tangan surat yang menyatakan status Siaga, saya selalu berdoa agar kita diberikan yang terbaik. Tekanan berat, tentu, tapi ada tim yang terdiri dari ahli-ahli terbaik. Yang sulit itu menyajikan data saintifik untuk orang awam, termasuk pemerintah daerah. Saya upayakan rekomendasi yang dikeluarkan Badan Vulkanologi bisa dimengerti oleh orang awam sekalipun untuk dijalankan.
”Sebagai makhluk beragama saya juga sempat down ketika harus mengumumkan status Awas karena terbayang beratnya beban mereka yang mengungsikan maupun yang diungsikan. Apalagi Kabupaten Sleman itu lebih disorot karena ada Mbah Maridjan,” ungkapnya. Dilemanya, kalau diungsikan ternyata tidak meletus, akan jadi soal.
Awalnya dia bersyukur karena masyarakat sempat diungsikan saat letusan pertama terjadi. ”Tetapi, saya langsung lemas ketika tahu ada sebagian masyarakat tetap bertahan. Saya akui ada kegagalan dalam hal membangun komunikasi dengan warga terkait mitigasi bencana. Ini adalah pelajaran yang mahal, yang luar biasa berat dampaknya,” tuturnya menutup percakapan. (DOT/ENG)
Sumber: Kompas, Minggu, 7 November 2010
No comments:
Post a Comment