SUDAH sangat jarang saya menyaksikan teater di Kota Bandung ini, terlebih sejak tahun 2000-an aktivitas kegiatan teater dapat dikatakan terus surut. Tak ada lagi pementasan-pementasan yang mengejutkan, mungkin hanya ada beberapa grup teater yang konsisten seperti Teater Payung Hitam dan Laskar Panggung, sedangkan STB (Studiklub Teater Bandung) sudah kehilangan spirit. Jika pun ada grup teater lain yang mencoba mementaskan karya-karyanya, ada semacam kejenuhan dalam diri saya, format suguhannya tidak ada perubahan yang signifikan. Standar-standar saja, seperti model-model teater dulu. Lebih banyak teriak-teriaknya daripada pendalamannya.
Tak sengaja, saya mendapat undangan untuk menyaksikan "Dari WAK menuju TU" karya/sutradara Yusef Muldiyana, seniman yang dapat dikatakan memiliki energitas yang tinggi, pantang menyerah, dan selalu percaya diri. Saya termasuk orang yang selalu mengecewakan dia setiap ada pementasannya karena saya selalu pulang sebelum waktunya. Akan tetapi, untuk pementasannya kali ini tidak ada alasan saya untuk meninggalkan pementasan itu, saya menemukan kembali "peristiwa teater".
Sungguh, pertunjukan teater semiopera (teater musikal) "Dari WAK menuju TU" yang dipentaskan Senin (22/11) di Auditorium Pusat Kebudayaan Prancis(CCF) Bandung adalah tontonan menarik. Yusef dalam teaternya ini tidak lagi patuh pada adanya panggung (stage), dia telah melakukan anamorfosis (perubahan bentuk), tidak lagi memisahkan penonton dengan para pelakon teater, semua menyatu dalam "peristiwa teater" di satu ruangan. Walau kisahnya bertutur secara normal, seperti kisah sandiwara pada umumnya, tetapi dalam teater ini tidak lagi mengenal ruang-ruang. Semuanya dibuat imajiner, terbebas dari sekat-sekat. Para pelakon bebas menentukan ruangnya.
Kisah yang bertutur tentang perjalanan hidup Rajabela yang dimainkan dengan karakter yang kuat oleh Deddy Koral, membuat kisah ini begitu hidup. Rajabela yang seorang pemabuk, penjudi, membuat istrinya tercinta Sulastri (Orhien Rina), sebagai mualaf yang soleha, menjadi hancur kehidupannya. Ia jadi korban kekerasan suaminya sehingga minta diceraikan. Perpisahan itu justru membuat Rajabela jatuh miskin dan kesepian. Ia kehilangan dan berusaha mencari pengganti Sulastri, namun tidak mendapatkannya. Ia tobat hingga menjadi ustaz dan ingin kembali ke istrinya. Keinginannya untuk bertemu Sulastri akhirnya tercapai juga. Namun Sulastri sudah sangat berubah, Sulastri malah selama ini terjebak dalam dunia gulita, menjadi pemabuk dan pelacur. Rajabela benar-benar terpukul, bahkan ketika dijumpai di rumah mantan istrinya itu, Sulastri ditemukan sudah tidak bernyawa karena bunuh diri.
Kisah percintaan dalam "Dari WAK menuju TU" tidak saja hanya Rajabela dengan Sulastri, tapi juga Pelukis (Kemal Ferdiansyah) dengan istrinya Dasilva (Jean Marlon) yang mengeruh, juga kisah cintah Janggo (Indrawan Babil) dengan Misda (Sakila Cheqil) yang begitu menggelikan. Kisah-kisah ini berpadu dalam sebuah alur yang tidak tumpang tindih, tetapi saling mengisi dalam adegan-adegan yang mengalir, tidak terkesan terpotong-potong.
Salah satu adegan yang menarik ketika Janggo ke rumah Misda untuk berkencan. Adegan ini justru ruangnya terpisah bersebrangan, walau sebenarnya mereka berhadapan. Dialog pun begitu dinamis seperti tidak terpisah, ketika sikap cunihin Janggo terhadap Misda langsung direponsnya, atau ketika ribut saling pukul pun secara refleks dilakukan Misda. Begitu juga ketika Janggo bertemu Mimi (Ria Ellysa Mifelsa) yang bisu, terjadi dialog yang membuat penonton terbahak-bahak.
Tidak kalah lucunya juga empat peronda (May Ramadhan, John Heryanto, Obos Ridwan dan Untung Wardojo), yang selalu berulah kocak pada setiap adegannya. Khususnya malam itu yang menjadi bintang lucu adalah Untung Wardojo. Kelucuan Untung dalam teater tersebut merupakan karakter sehari-harinya. Ini kejelian Yusef Muldiyana yang mau melibatkan Untung dalam produksinya.
Secara umum lakon ini dimainkan oleh para aktor Laskar Panggung dengan kemampuan terbaik, khususnya kematangan aktor Deddy Koral. Di samping itu, Laskar Panggung juga memiliki Orchien Rina, Sakila Cheqil, Ria Ellysa, dan Indrawan Babil.
Anamorfosis yang terwujud dalam teater ini, khususnya dalam penataan artistik (Luki Lukman) dan penataan pentas (John Heryanto, Freddy Babeh), begitu apik dan imajinatif. Sayangnya, hal ini kurang dimbangi oleh penata lampu yang kurang cermat dan kurang sigap mengantisipasi setiap adegan. Terkadang ada adegan yang gelap tidak tersinari lampu. Namun secara umum, pementasan Yusef Muldiyana yang dibantu Roesli Kelleng ini sukses, mampu memuaskan penonton yang ikut lebur dalam setiap adegan dalam pementasan ini, yang bisa tertawa terbahak-bahak sepanjang berlangsungnya teater semi opera ini.
Hikmah menyaksikan pementasan teater ini, saya kembali ingat apa yang dikatakan George Politzer, teater adalah satu bagian yang secara istimewa, signifikan dengan pengalaman bersama. Hal ini terjadi dalam "Dari WAK menuju TU", kontekstual dengan apa yang terjadi sehari-hari, bukan fantasi. Pengalaman itu diolah kembali menjadi perwujudan baru, perwujudan inilah ketika teater menjadi medium juga wacana pernyataan diri para pelakunya. Dalam hal ini, penonton tidak lagi berada di luar wilayah panggung, tetapi juga menjadi pelaku yang menghidupkan "peristiwa teater". Sukses! (Diro Aritonang
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010
No comments:
Post a Comment