Pangkal Pinang, Kompas - Tradisi lisan di Nusantara ternyata sangat banyak yang bisa dijadikan mediasi dan transformasi konflik dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Pengelolaan tradisi lisan yang baik diyakini bisa menjamin keharmonisan kehidupan berbangsa di Indonesia.
Salah satu rumusan Seminar Internasional Tradisi Lisan VII yang digelar di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, 20-22 November, mencatat berbagai bentuk tradisi lisan di Nusantara sesungguhnya memiliki kandungan kebijaksanaan lokal tentang bagaimana cara memediasi konflik di antara kelompok masyarakat.
”Tradisi lisan, seperti pidato Pasambahan di Sumatera Barat, menjadi contoh bagaimana konflik di antara kelompok masyarakat sesungguhnya dapat diubah sesuaikan menjadi kemampuan berbahasa yang diwakili setiap kelompok tersebut. Belum lagi jika bicara soal tradisi Pela Gandong di Maluku,” ujar Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti di Pangkal Pinang, Senin (22/11).
Kekayaan tradisi lisan Nusantara yang dapat dijadikan mediasi konflik diakui oleh ahli perbandingan Sastra Indonesia dan Malaysia dari Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang, Malaysia, Muhammad Haji Salleh. ”Seharusnya ada proyek besar untuk mengumpulkan tradisi lisan yang bisa menjadi resolusi konflik di Indonesia ini,” katanya.
Menurut Pudentia, sayangnya banyak hal secara sistematis justru membuat tradisi lisan—yang bisa menjadi mediasi dan transformasi konflik—semakin menghilang dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Dia mencontohkan kebijakan pemerintah soal penggunaan bahasa Indonesia yang justru membuat bahasa daerah semakin hilang.
”Ada rencana balai bahasa hanya membina bahasa daerah yang memiliki penutur minimal satu juta orang. Ini kan justru hegemoni bahasa Indonesia malah membuat bahasa daerah semakin hilang,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah tak memperlakukan tradisi lisan yang bisa dijadikan mediasi konflik tersebut dengan benar. Ketua Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia Mukhlis PaEni menuturkan, tradisi Pela Gandong diperlakukan secara keliru ketika digunakan mendamaikan konflik di Ambon.
”Pemerintah yang menunjuk orang-orang yang dianggap sebagai tokoh untuk datang dalam upacara adat. Sementara masyarakat menganggap mereka bukan tokoh pilihannya. Masyarakat pun menilai, tak ada wakil mereka dalam upacara adat itu,” ungkap Mukhlis yang juga mantan Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Kementerian Pendidikan Nasional ini.
(BIL)
Sumber: Kompas, Selasa, 23 November 2010
No comments:
Post a Comment