-- Sugi Lanus
MAWAS DIRI, yang bersumber dalam kearifan lokal Nusantara, adalah panduan untuk menghindarkan kehidupan kita dari musibah atau bencana.
Kata ”mawas” ini berasal muasal dari bahasa Jawa Kuna, yaitu was. Was > jelas, terang, dan tampak. Tersirat makna ”dengar dengan jelas” atau ”lihat dengan jelas”. ”Mawas” berarti melihat atau mendengar dengan teliti dan sejelas-jelasnya sampai kita mencapai titip pemahaman atau sampai memiliki wawasan.
Bersikap ”waspada” dan ”awas” adalah implementasi mawas diri. ”Awas” dan ”waspada” juga berasal dari akar kata was. ”Awas” berarti senantiasa memakai mata dan pikiran untuk tetap terjaga. Untuk melihat jalan hidup dengan jelas. Iwas dalam bahasa Bali berarti awas; iwasin berarti awasi, perhatikan, atau jaga.
Was+pada lebih jelas lagi sebagai ”petunjuk teknis”; yang di dalamnya terkandung panduan untuk melihat atau memerhatikan (was) gerak langkah kaki (pada). Was > lihat. Pada > kaki. Pada juga berarti tanah atau bumi atau dunia. Waspada, dengan demikian, berarti berhati-hati dalam bertindak, berhati-hati dalam bergerak langkah, tidak lengah mengerakkan kaki (tindak dan tanduk) kita. Juga berarti berhati-hati dalam menangkap fenomena bumi dan alam semesta.
”Waswas” justru berkebalikan dengan mawas. ”Waswas”, jika kita urai dari muasal bentukan katanya, berarti menoleh-noleh (ke belakang). Tidak nyaman, merasa terhantui, atau ketidakpastian akibat ketiadaan wawasan atau pemahaman terhadap apa yang terjadi. Penyembuh waswas adalah wawasan; mereka yang memiliki wawasan akan bisa mengusir rasa waswas.
Pengawasan, diawasi, dan mengawasi adalah beberapa bentukan kata yang berakar kata was atau awas. Kata ”pengawasan” pada zaman Orde Baru bahkan dirangkai dengan kata ”melekat”, muncul istilah ”waskat” (pengawasan melekat), sebuah proyek negara untuk ”memantau dan mengintai” secara intensif orang-orang yang dianggap berbahaya atau merongrong negara.
Mawas atas bencana
Untuk memantau sesuatu, sebuah kantor atau institusi memerlukan sistem pengawasan. Secara fisik, sebuah institusi perlu membuat menara pengawas.
Di ”musim bencana” seperti sekarang, kita dituntut menjadi ”mawas” secara kolektif. Pemimpin dan warga bangsa mesti mawas diri. Pengawasan terhadap titik-titik rawan bencana alam, seperti gunung meletus dan tsunami, perlu diawasi dengan ”waskat” (pengawasan melekat) yang lebih intensif. Titik-titik bencana tersebut memerlukan menara pengawas dan petugas yang sigap.
Petugas dan pemimpin dituntut mawas, awas, serta waspada dan sangat mendesak punya wawasan (ilmu pengetahuan) yang cukup karena mereka bertugas menjaga keselamatan ribuan, bahkan jutaan nyawa manusia.
Di saat ada getar gempa di sebuah lokasi, pengawas, tim yang telah dipersiapkan, harus bergerak seketika. Para pengawas ini harus terhubung dengan orang-orang kunci atau para pemimpin masyarakat. Selanjutnya, informasi tersebut disebarkan kewaspadaan ke seluruh jaringan masyarakat.
Kekuasaan yang Tiwas
Mawas diri, dalam konteks personal, menjaga diri kita agar tak tergelincir ke dalam jebakan keangkuhan diri, takabur, keserakahan, nafsu kuasa, dan seksual. Dalam konteks yang lebih luas, dalam tata pemerintahan, mawas diri bisa menjadi gerakan kewaspadaan nasional. Berjaringan secara strategis dan sistematis memetakan potensi bencana. Memetakan titik-titik rawan yang mengancam warga bangsa, yang merongrong rasa aman warga negara. Mereka harus diperlengkapi dengan wawasan, perangkat, dan sistem pengawasan yang terbaik.
Kata was dekat dengan kata wasa. Was > lihat dan dengar dengan jelas. Wasa > kuasa. Wasa adalah akar kata ”kuasa” dan ”kekuasaan”. Jika kekuasaan (pemerintahan) menjadi kuwasa (aku berkuasa alis arogan), ia akan kehilangan was (kemampuan dan ketelitian untuk mendengar dan melihat). Pemerintahan akan menuju tiwas (berakar dari neti+was > tanpa pengawasan dan tanpa pendengaran, tanpa mata hati). Tiwas berarti lacur, hina-papa, miskin, dan juga menjadi asal kata tewas (tak bernyawa).
Kekuasaan tidak menuju tewas kalau mereka dengan ikhtiar dan kemurnian diri untuk terus-menerus mawas diri. Awas, eling, sadar, dan waspada. Mendengar hati rakyat dan menjadikan suara hati rakyat sebagai wawasan dan pemandu dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Rakyat jadi tak waswas kalau pemimpin punya wawasan dan bermawas diri. Jurang menuju musibah dan bencana (tiwas) sebuah peradaban bisa dihindari dengan mawas diri para pemimpin dan seluruh warganya.
Betapa arif bangsa kita dahulu. Hanya melalui bahasa, bahkan hanya dalam bentukan satu morfem saja, kita bisa membaca diri, mendapatkan substansi, bahkan solusi. Tapi justru, di bagian inilah, di soal bahasa—dan kembangannya—bangsa kita, terutama kaum elite dan penguasanya, tidak berkuasa. Maka jika, bahasa itu adalah kuasa, sungguh kosonglah ruang dalam kekuasaan yang ada di negeri ini. Waspadalah....
Sugi Lanus, Sarjana Bahasa dan Sastra Bali, Bekerja sebagai Peneliti Budaya dan Cultural Map
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 November 2010
No comments:
Post a Comment